DAFTAR ISI

PANGAPORA

PANDHAPA

Benarkah Institusi Pendidikan Kita Sudah Berkualitas? : Zeinul Ubbadi

PAMATOR

Surat Dari Pembaca

ARTIKEL TAMU

Menfungsikan Pendidikan Informal dan Nonformal: Upaya MEngembalikan Pendidikan Pada Jalur-Jalur yang Semestinya : Muhammad Idris Jauhari  

ARTIKEL UTAMA

1- Potret Buram Pendidikan Kita :Indah Dwi Qurbani

2- Menuju Pendidikan Berkualitas; Refleksi Atas Sistem Pendidikan Nasional : Achmad Bahrur Rozi*

3- Menggagas Manajemen pendidikan Alternatif Berbasis Nilai-Nilai Pesantren : Fathor Rachman Utsman

4- Kasih Sayang Terhadap Anak Didik; Modal Utama Dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Dli Taman Kanak-Kanak: Hj. SUHARTATIK, S.Pd

5- Mengembangkan Pendidikan Informal Melalui Semi Home Schooling: Basri, S.Pd

WAWANCARA

Abd. A'la : Pendidikan Kita Memang Gagal

ARTIKEL LEPAS

1- Pendidikan Pluralisme Di Pesantren: Kontekstualisasi Sistem Pendidikan Pesantren Yang Inklusif : Mulyadi Wasik, S.Pd.

2- Menggugat Kebijakan Sertifikasi Guru Dan Dosen:. Halimi, S.E, M.Pd.

3- Kecerdasan Spritualitas Sebagai Pijakan Kualitas: A. Maimun Syamsuddin

4- Dominasi Di Balik Teks: Mengungkap Ideologi Dominan Dalam Buku Ajar: A. Dardiri Zubairi, S.Ag, S.Pd.

KOLOM

1- Pendidikan Formal: Berkualitaskah?: Norma Qudsi Abdillah

2- Pendidikan Dan Perspektif Pemberdayaan: Syaf Anton Wr

RESENSI

Sekolah Alternatif, Sekolah Demokratis: Rahmatin (Atin)

 

 

PANGAPORA

Salam….

Salah satu kritik terhadap pendidikan kita adalah masalah kualitas pendidikan yang dinilai masih jauh panggang dari api. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah hasil survei yang menghasilkan kesimpulan sangat menyakitkan bagi dunia pendidikan kita. Hasil survei PERC, kualitas pendidikan kita berada diurutan ke-12 dari 12 negara Asia Hasil survei Balitbang (2003) juga menunjukkan hal yang sama, dari 146.052 SD di Indonesia, hanya delapan SD yang mendapatkan pengakuan dunia dalam katagori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP, juga delapan sekolah yang masuk katagori The Middle Years Program (MYP), dan dari 8.036 SMA, ternyata tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam katagori The Diploma Program (DP).

Hasil survei tersebut, memang tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur yang mutlak, tetapi dari sekian suvei itu, menunjukkan memang ada masalah dengan kualitas dengan dunia pendidikan. Bisa jadi pendidikan kita memang belum berkualitas dan perlu pemikiran yang lebih matang dalam menata proses pendidikan yang ada.

Pada edisi kali, EDUKASI menghadirkan masalah kualitas pendidikan kita secara obyektif sebagai tema utama, sehingga masalah kualitas pendidikan kita yang ‘tampak terus istiqamah’ menjadi masalah akan kita lihat lagi dengan berbagai cara pandang. Dengan ini, diharapkan akan muncul pemikiran yang solutif untuk merumuskan kembali arah pendidikan yang berbasis kualitas, sehingga akan memenuhi harapan kita bersama. Sebab, bagaimanapun hasil survei di atas, secara langsung ataupun tidak, merupakan salah satu bukti sederhana, bahwa kita masih belum ‘bisa’ mengelola pendidikan yang benar-benar berkualitas dan sempurna.

Jumlah lembaga pendidikan formal yang sangat banyak, baik SD, SMP dan SMA, hanya membuktikan kalau kita masih mampu menciptakan kuantitas daripada kualitas. Kita masih terkesan masih terjebak dengan paradigma memperbanyak jumlah lembaga pendidikan, daripada memperbaiki kualitas dengan jumlah lembaga pendidikan yang sedikit.

Untuk itu, beberapa tulisan dalam edisi ini, diharapkan akan menjadi bagi semua pihak untuk membaca kualitas pendidikan kita, guna mewujudkan pendidikan yang memag benar-benar bisa menjadi jembatan pembentukan jati diri bangsa yang utuh. Pendidikan yang berkualitas, hakikatnya merupakan cerminan bangsa yang progresif dan agresif, bukan bangsa beku akibat kungkungan kuantitas, sehingga pendidikan tidak hanya meproduk orang-orang yang lemah!

 

 

 Back To Daftar Isi

PANDHAPA

Benarkah Institusi Pendidikan Kita Sudah Berkualitas?

Oleh Zeinul Ubbadi

 

Selama ini ada keresahan akut yang diam-diam merasuki tokoh-tokoh masyarakat dan segelintir orang yang punya kepedulian terhadap Madura. Mereka merasa bahwa Madura punya banyak potensi dan kekayaan, namun tidak terkelola secara baik. Anak-anak mereka yang mereka harapkan bisa mengelola potensi dan kekayaan Madura, kini sudah tidak mau kembali lagi ke Madura setelah melanjutkan sekolah di kota besar dan negeri seberang. Padahal, dulu mereka disekolahkan dengan harapan bisa kembali membawa sesuatu untuk perbaikan di Madura. Anak-anak itu memilih untuk mengembangkan potensi di kota-kota metropolitan dan melupakan harapan-harapan besar yang sempat berkibar di benak-benak orang tua mereka.

Sayangnya, seresah dan sebesar apapun harapan tentang madura kedepan itu terpancang, mereka tetap tidak bisa memaksa begitu saja anak-anak mereka untuk kembali pulang (sekalipun hanya sekedar untuk harapan agar dapat menjadi pionir keluarga dalam usaha meningkatkan taraf hidup mereka). Mengapa? Sederhana, singkat dan diplomatis “Di kota besar saya bisa bekerja dan hidup lebih baik ketimbang saya pulang ke Madura” jawab anak-anak itu ketika mereka memintanya kembali pulang. Anak-anak itu mengaku terus terang bahwa mereka kebingunan apa yang harus mereka kerjakan jika mereka menetap di Madura.

Dengan bahasa lain, mereka sebenarnya ingin mengatakan bahwa pendidikan yang mereka kenyam melalui biaya yang bapak ibu mereka kirimkan, tidak benar-benar mendidik mereka untuk bisa cerdas, bisa tetap eksis di Madura (apalagi untuk mengembangkan Madura). Pendidikan hanya mengajarkan hal-hal “penting” versi institusi pendidikan sendiri, yang sebenarnya tidak bisa menjawab persoalan-persoalan dan kebutuhan masyarakat lokal.

Dus , belum lagi prilaku dan sopan santun mereka yang sudah mulai berubah. Di mana-mana banyak orang tua dan tokoh masyarakat yang mengeluhkan bahwa anak-anak Madura yang kembali pulang dari kota besar setelah kuliah, bukan membuat mereka semakin etis dalam berprilaku. Kesan yang ada justru semakin arogan dan semakin tidak mengindahkan nilai-niali kearifan yang ada.

Tak cuma anak-anak kuliah, memang. Institusi pendidikan secara umum, kini juga mulai dipertanyakan keseriusannya dalam mengayomi paserta didik. Kasus-kasus amoral yang melanda beberapa lembaga pendidikan di sejumlah wilayah, kini membuat semua orang curiga bahwa kasus yang nampak kini itu adalah puncak dari gunungu es yang sebenar sudah menjadi persoalan akut dan merata di seluruh institusi dan lembaga pendidikan.

Kasus video porno, misalnya. Adegan-adegan mesum yang diperankan oleh siswa-siswi di beberapa sekolah akhir-akhir ini, betul-betul membuat coreng yang tidak sepele di wajah pendidikan kita. Terendus isu bahwa semua itu sebenarnya bukanlah hal baru. Cuma saja, sebelum ada hand phon, perbuatan-perbuatan tidak senonoh itu tidak terdokumentasi dan tidak menyebar luas. Kini setelah ada hand phon penyebarannya lebih mudah dan gampang tercium media massa.

Hendak diakui atau tidak, penyebaran video porno siswa lewat hand phon ini mencerminkan adanya krisis moral serius di tengah-tengah institusi pendidikan kita. Jika tindakan amoral itu kita ukur dari tingkat sejak “berani melakukan” hingga “berani mempublikasikan”... tidakkah ini sudah sampai di titik nadir, di mana siswa yang menjadi tumpuan harapan bangsa sudah tidak lagi malu berbuat cela. Malah bangga dan memamerkannya pada kawan sekelas dan teman-temannya.

***

Walhasil , jika pendidikan hanya membuat orang menjadi asing di tempat kelahirannya sendiri, dan juga hanya menjadi ajang berkembang biaknya prilaku-prilaku amoral, maka tentu tidak salah jika banyak tokoh masyarakat dan orang tua mulai menaruh curiga dan tidak percaya terhadap institusi pendidikan formal.

Kita perlu menelaah ulang, apakah institusi pendidikan kita sudah benar-benar berkulaitas dalam arti yang sebenarnya? Mungkinkah digagas sebuah rumusan baru seperti apa sebetulnya “pendidikan berkualitas” itu? Jika sejak beberapa tahun lalu marak dibicarakan tentang model pendidikan alternatif seperti hoomschooling, sekolah alam dan lain-lain, benarkah ini merupakan jawaban yang tepat bagi persoalan yang menimpa pendidikan formal di mana ia dianggap kaku dan benar-benar formalistik? atau jangan-jangan pendidikan formal sebenarnya sudah berkualitas, cuma saja pemerintah punya persepasi dan keinginan yang berbeda dengan masyarakat tentang pendidikan?

 

  Back To Daftar Isi

PAMATOR

Surat pembaca

Beberapa Kesalahan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pada rubrik wawancara EDUKASI no. 07 terdapat beberapa kesalahan seperti istilah revolusi moral, seharusnya revolusi moril, dan beberapa kekurangan, seperti dampak negatif komputer dan Hp dan lain sebagainya. Mohon dimaklumi dan terima kasih.

 

H.A. Basith AS .

 

JARANG PENULIS PEREMPUAN

Dari sekian edisi yang saya baca, ada satu hal yang terus terang mengganjal saya, yaitu penulis EDUKSI lebih banyak memberikan ruang terhadap kaum laki-laki daripada kaum perempuan. Padahal, membincang pendidikan tidak hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki, kaum perempuan saya pikir juga memiliki andil yang sangat signifikan dalam membicarakan masalah kependidikan.

Oleh karena itu, saya berharap, EDUKASI juga bisa memberikan ruang yang sama bagi kaum perempuan, sehingga tidak terkesan, EDUKASI hanya menjadi ajang ekspresi pemikiran kaum laki-laki an sich, sehingga tidak terkesan EDUKSI masih bias gender. Pada edisi-edisi selanjutnya, saya berharap ruang menulis di EDUKASI sudah bisa seimbang, antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.

Maftuhatul Hasanah

Mahasiswi STIK Annuqayah Guluk-Guluk

 

Redaksi :

Terima kasih masukan saudari pembaca. Perlu diketahui bahwa Edukasi sama sekali tidak pernah memberikan ruang yang sepihak. EDUKASI terbuka bagi seluruh elemen masyarakat untuk menyampaikan ide-idenya tentang pendidikan, tanpa ada diskriminasi gender. EDUKASI mempersilahkan siapapun (kaum laki-laki ataupun kaum perempuan) untuk menulis di EDUKASI sesuai dengan visi dan misi EDUKASI serta layak untuk dipublikasikan.

 

Mohon Bantuan Jurnal EDUKASI

Kami dan teman-teman yang berada di bawah naungan Organisasi Santri Legung (ORSAL), sangat bangga dan berterima kasih kepada pemerintah Kabupaten Sumenep yang telah menerbitkan Jurnal EDUKASI, setidaknya jurnal ini telah memberikan ruang kepada kaum muda untuk juga berkreatifitas. Sebagai santri yang seharusnya mempergunakan waktu untuk belajar dan berkarya, kami sangat berharap bisa mendapatkan jatah setiap kali terbit, sebagai bahan bacaan dan koleksi di organisasi kami. Terima kasih.

 

Didik Hendriyanto

Ketua Pengurus Organisasi Santri Legung (ORSAL)

Alamat. Pondok Pesantren Aqidah Usymuni,

Jl. KH. Zainal Arifin No. 1 Terate Pandian Sumenep

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL TAMU

MEMFUNGSIKAN PENDIDIKAN INFORMAL DAN NONFORMAL

Upaya Mengembalikan Pendidikan Pada Jalur-Jalur yang Semestinya  

Oleh Muhammad Idris Jauhari  

 

“At-Tarbiyah bil-ma’nal ‘aam wal-hayatu syai-un wahid”

Hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup itu sendiri. (Syech Amin Mirsa Qindil)

Pengantar

Berangkat dari berbagai konsep dan teori pendidikan yang disampaikan oleh para pakar, sebenarnya secara sederhana bisa dikatakan bahwa proses pendidikan, sebagai sebuah kerja hidup dan kehidupan, seharusnya mencakup tiga-tiga unsur pada enam dimensi, atau bagaikan sebuah kubus yang terdiri dari 6 sisi yang sama dan masing-masing sisi mengandung tiga unsur utama.

Di sisi pertama, pendidikan harus mencakup upayapembebasan peserta didik dari berbagai belenggu, baik belenggu yang bersumber dari hawa nafsu maupun yang berasal dari godaan, rayuan dan gangguan syetan, pendidikan harus mencakup upayapemberdayaan peserta didik dengan berbagai potensi yang diperlukannya (baca, ilmu pengetahuan dan teknologi), sampai ke tingkat yang paling optimal, dan pendidikan harus mencakup upaya pembudayaan peserta didik dengan budaya-budaya hidup yang positif, konstruktif dan produktif, dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama sebagai landasannya. Dalam ilmu Taswwuf, ketiga upaya tersebut dikenal dengan istilah “takholli, tahalli dan tajalli” (Aboe Bakar Atjeh, 1962).

Di sisi yang kedua, pendidikan harus mencakup upaya pewarisan nilai-nilai ke dalam jiwa peserta didik, yaitu pewarisan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya yang baik dan positif ; baik budaya global, budaya bangsa ataupun budaya lokal, pendidikan juga harus mencakup upaya transformasi ilmu pengetahuan ke dalam otak/pikiran peserta didik, agar memiliki wawasan yang luas, menguasai iptek, dan memenuhi syarat-syarat dasar intelektualisasi, pendidikan harus mencakup upaya pemberian bekal-bekal keterampilan hidup, baik vokasional ataupun non vokasional (Drs. M. Ja’far, 1982). Di sisi yang ketiga, pendidikan harus meliputi ranah afektif, ranah kognitif dan ranah psichomotorik atau Taksonomi Bloom, seperti yang sudah banyak dikenal dan menjadi kesepakatan hampir semua pakar dan praktisi pendidikan (Drs Tamsik Udin.AM, 1987). Di sisi yang keempat, pendidikan harus mengacu pada terciptanya kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang bermakna dan fungsional (Taufiq Pasiak, 2004). Di sisi yang kelima, pendidikan harus mencakup seluruh aspek manusia dan kemanusiaan, (lahir-batin, jasmani-rohani, raga-jiwa, dan dunia-akhirat) (Cholid bin Hamid Al-Hazimi, 2005). Dan di sisi keenam, pendidikan harus bermuatan seluruh ayat dan ilmu Allah swt (baca, agama), baik ayat-ayat yang diturunkanNya, atau ayat-ayat yang dihamparkanNya, maupun ayat-ayat yang diilhamkanNya kepada hamba-hamba tertentu yang dikehendakiNya (Muhammad Idris Jauhari, 2003).

Di negara kita, masalah pendidikan dengan segala dimensinya tersebut, secara yuridis formal sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang legitimate, yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam bab-bab dan pasal-pasal awal undang-undang tersebut tentang Ketentuan Umum, Dasar, Fungsi, Tujuan, dan Prinsip Penyelenggaran Pendidikan diuraikan secara panjang lebar tentang dimensi-dimensi cakupan yang seharusnya terdapat dalam sebuah proses pendidikan seperti disebutkan di atas, baik secara eksplisit maupun implisit. Demikian pula tentang “jalur”, jenjang dan jenis pendidikan. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa, Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal (Pasal 13). Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus (Pasal 15). Jalur, jenjang dan jenis pendidikan diwujudkan dalam bentuk “satuan pendidikan” (tanda petik dari penulis) yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau Masyarakat (Pasal 16) (UUSPN, 2003).

Dari pasal 16 ini jelaslah bahwa ketiga jalur pendidikan (formal, non formal dan informal) seharusnya diselenggarakan oleh Pemerintah dan Masyarakat dalam bentuk “satuan pendidikan” dengan segala perangkatnya. Tapi kenyataannya, satuan pendidikan ini hanya dikonotasikan pada pendidikan sekolah saja. Bahkan hampir seluruh pasal dan ayat dalam UUSPN 2003 hanya menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan jalur pendidikan formal saja, baik tentang kurikulum, tenaga kependidikan, sarana, prasarana dan pendanaan, maupun tentang pengelolaan pendidikan dan peran serta masyarakat di dalamnya. Sampai saat inipun, pemerintah dan kemudian diikuti oleh masyarakat, lebih banyak fokus pada jalur pendidikan formal (sekolah) dan sedikit pada jalur pendidikan non formal (di masyarakat), sementara jalur pendidikan informal (di rumah tangga) justru diabaikan, kalau tidak akan disebut dinafikan. Akibatnya, muncullah asumsi secara luas, bahwa proses pendidikan seakan-akan itu hanya berlangsung di sekolah saja dan seolah-olah hanya pendidikan formal sajalah yang mesti diurus dan diatur oleh pemerintah.

Dalam kesempatan kali ini, penulis mencoba membatasi tulisan sederhana ini tentang “pendidikan informal dan nonformal” saja, karena pendidikan formal sudah begitu banyak menyita perhatian para pakar dan praktisi pendidikan dalam berbagai kesempatan dan aturan, termasuk dalam UUSPN Tahun 2003 tersebut, walaupun sampai sekarang, pendidikan formal ini pun masih carut marut tak karu-karuan dan menjadi masalah yang sangat krusial dan kontroversial hampir pada seluruh aspeknya. Biarlah kita membahas masalah pendidikan formal ini dalam kesempatan lain yang lebih fokus. Insya Allah.

Pendidikan Informal

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan yang dilaksanakan oleh ayah ibu dan keluarga di dalam rumah tangga. Dalam UUSPN Tahun 2003, pendidikan informal hanya disinggung secara sepintas dalam 1 pasal saja yaitu pasal 27, dengan ayat-ayatnya sbb: (1). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. (2). Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3). Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Siapapun yang arif pasti mengakui bahwa rumah dan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Sebab di sini dan pada saat ini, manusia/anak pertama kali mengenal hidup dan kehidupan. Rumah merupakan unit terkecil dan paling pertama dari kehidupan sosial manusia. Antara anak dan keluarga di dalam rumah diikat oleh ikatan darah, kekeluargaan dan kekerabatan yang tidak mungkin dipisahkan oleh apapun, siapapun dan sampai kapanpun. Pada awal kehidupannya, anak sangat tergantung hanya kepada ayah, ibu dan mereka yang ada di dalam rumah, sehingga otoritas mereka jauh lebih besar dari pada orang-orang lain di luar rumah. Langkah-langkah awal dan utama dari proses pendidikan dimulai disini dan saat ini, seperti pemberian makanan, penggunaan panca indera dan akal, penanaman nilai-nilai, pewarisan budaya-budaya hidup, dll. Disini dan saat ini, manusia pertama kali mengenal dan belajar mempergunakan anggota tubuhnya untuk berbagai kegiatan fisik, belajar berbicara, mendengar pembicaraan, menangkap pikiran dan perasaan orang lain, dan memahami konsep awal hubungan sosial antar manusia. Masa orok dan masa kanak-kanak adalah masa-masa yang sangat sensitif, sehingga apapun yang mereka lihat, dengar dan rasakan di sekitarnya akan melekat sangat kuat di dalam jiwanya, bagaikan ukiran di atas batu, sehingga pengaruhnya sangat besar pada akhlaq, sikap, kecerdasan, keterampilan dan prilaku anak setelah dewasa (Amin Mirsa Qindil, 1938).

Dari uraian di atas, kiranya sangat tepat metafora yang dibuat orang bahwa pendidikan di rumah bagaikan “pondasi utama” dari sebuah bangunan besar dan tinggi yang harus terhunjam kuat-kuat ke dalam dasar bumi. Sementara pendidikan-pendidikan lain setelah itu bagaikan tiang, tembok, plafon, atau genting dst… bahkan ada jenis pendidikan yang sekedar bagaikan asesoris pelengkap dari bangunan tersebut. Semakin besar dan tinggi sebuah bangunan, semakin besar pula kebutuhannya akan pondasi yang kokoh dan kuat. Jika tidak demikian, pasti akan muncul dampak-dampak negatif di belakang hari. Karena itu, sungguh sangat naif jika ada yang menganggap bahwa pendidikan informal di rumah hanya sekedar “pelengkap penderita” bagi pendidikan formal di sekolah. Asumsi seperti inilah yang kemudian menimbulkan sikap melecehkan atau mungkin menafikan urgensi pendidikan informal dalam proses pendidikan secara keseluruhan.  

Pendidikan Nonformal

Pendidikan Nonformaladalahjalurpendidikanyang dilaksanakan di luar sekolah, baik oleh pemerintah ataupun masyarakat. Dalam UUSPN 2003 pasal 26 disebutkan bahwa pendidikan nonformal berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majlis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Dalam ayat 6 pun disebutkan bahwa hasil pendidikan nonformal dapat dihargai “setara” dengan hasil pendidikan formal, setelah melalui proses penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (cetak miring dan tanda petik dari penulis).

Dalam prespektif pendidikan, sebagai upaya transformasi ilmu pengetahuan dan pembekalan keterampilan atau dalam ranah kognisi dan psichomotor, apa yang dirumuskan dalam UUSPN tentang pendidikan nonformal tersebut barangkali memang sudah cukup memadai sebagai sebuah teori, walaupun tentu saja masih diperlukan rumusan-rumusan lain yang lebih operasional dan aplikatif. Tinggal bagaimana pemerintah melaksanakan rumusan tersebut dalam proses pendidikan nonformal di tengah-tengah masyarakat, umpamanya dengan membuat Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Daerah (Perda) yang mengikat semua pihak, sesuai dengan amanah UU tersebut, sekaligus menampakkan sikap yang adil dan tidak pilih kasih (undikotomik) antara pendidikan formal dan nonformal, seperti tertulis dalam ayat 6 dan 7 dari pasal tersebut.

Masalahnya sekarang, bagaimana dengan upaya pewarisan nilai-nilai, upaya pembudayaan, serta perhatian pada ranah afektif dan kecerdasan spritual dalam konteks pendidikan nonformal, seperti yang disinggung dalam pengantar di atas? Bukankah pendidikan itu seharusnya direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan, dan dievaluasi secara komprehensif dalam segala aspek kehidupan manusia sepanjang hayatnya?

Memang, pendidikan nonformal bisa diselenggarakan melalui “satuan pendidikan” yang berbentuk kursus-kursus, latihan kerja dan diklat-diklat (media-media yang lebih berkonotasi pada upaya pembekalan keterampilan hidup), atau bisa berbentuk kelompok-kelompok belajar, organisasi-organisasi, pengajian-pengajian atau majlis taklim (yang lebih berkonotasi pada upaya transformasi ilmu pengetahuan). Tetapi, cukupkah itu? Padahal masih banyak unsur dan komponen-komponen lain di masyarakat yang sangat besar pengaruhnya pada pembentukan kepribadian dan akhlaq karimah.

Sekedar ilustrasi, berikut uraian singkat tentang komponen-komponen yang ada di masyarakat yang seharusnya menjadi substansi pendidikan nonformal :

Komponen-komponen tersebut sungguh sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dan kecerdasan anak. Mestinya, para pakar, praktisi dan pengambil kebijakan bidang pendidikan memberikan perhatian yang serius terhadap komponen-kemponen tersebut dalam porsi yang lebih besar, lebih arif, lebih cerdas dan lebih proporsional. Dengan demikian apa yang menjadi harapan kita untuk membangun Masyarakat Belajar (Indra Djati Sidi, 2001) dalam format Pendidikan Berbasis Masyarakat (Zubaidi, M.Ag. M.Pd, 2005) akan segera menjadi kenyataan, seiring taufiq, hidayah dan ma’unah Allah swt. Amien .  

Penutup

Dari uraian singkat diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa jalur pendidikan nonformal dan informal sebenarnya memiliki peranan yang sangat signifikan dan determinan dalam proses pendidikan generasi muda kita menuju terbentuknya masyarakat bangsa yang unggul, berkualitas dan memiliki daya saing global yang kompetetif. Karena itu, para pakar, praktisi, pengamat dan pengambil kebijakan di bidang pendidikan, baik eksekutif ataupun legislatif, khususmya Dewan Pendidikan kiranya perlu mengambil langkah-langkah operasional, antara lain sbb:

  1. Mengubah paradigma lama yang hanya memperhatikan pendidikan formal (sekolah) dan mengabaikan—kalau bukan menafikan—pendidikan non-formal dan informal
  2. Menyamakan visi, persepsi dan komitmen bahwa proses pendidikan harus direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan, dikontrol dan dinilai secara integratif-komprehensif; kapan saja, dimana saja, dan dalam situasi apa saja, dan harus mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; lahir dan bathin, jiwa dan raga, spiritual, mental, intelektual dan skill, serta menghindari sikap-sikap parsial dichotomis
  3. Menyusun Petunjuk-petunjuk Teknis (Juknis) tentang pelaksanaan Pendidikan Informal dan Nonformal yang mudah dipahami dan dilaksanakan langsung oleh masyarakat.
  4. Melakukan kampanye dan pemberian informasi yang sistematis dan efektif kepada seluruh lapisan masyarakat, tentang urgensi pendidikan nonformal dan informal serta tata cara pelaksanaannya, baik secara door to door, melalui tokoh-tokoh masyarakat formal atau informal, melalui partai atau organisasi-organisasi kemasyarakatan, maupun melalui berbagai saluran dan sarana informasi dan komunikasi yang memungkinkan.
  5. Mengadakan pelatihan-pelatihan singkat bagi ayah-ibu dan calon-calon ayah-ibu, melalui KUA umpamanya, serta bagi tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh pemuda yang dianggap sebagai faktor yang menentukan (determinan) dalam proses pendidikan nonformal, baik formal maupun informal.
  6. Mengusahakan agar faktor-faktor yang merusak perkembangan anak, di rumah atau di masyarakat, langsung atau tak langsung, bisa diminimalisir secara bertahap melalui pendekatan hukum dan kekuasaan.
  7. Mengkondisikan agar setiap anak di masyarakat tidak sekedar menjadi anak dari orang tuanya (son of his parent), tapi sekaligus menjadi anak dari masyarakat lingkungannya (son of his society), sehingga proses pendidikan bagi anak menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama dari segi pengawasan.
  8. Membuat Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Daerah (Perda) tentang pendidikan nonformal dan informal sebagai implementasi dari amanah undang-undang, dengan catatan, bahwa PP dan Perda tersebut harus mengakomodir nilai-nilai dasar, proses-proses dan tujuan-tujuan pendidikan yang integratif-komprehensif, tapi sekaligus aplikatif operasional (mudah dilaksanakan). Kemudian menyosialisasikannya kepada seluruh lapisan masyarakat dan melaksanakannya di lapangan dengan sungguh-sungguh. Wallahu a’lam

Demikianlah sedikit pemikiran yang bisa penulis sampaikan. Walaupun mungkin sangat sederhana, tapi mudah-mudahan besar manfaatnya bagi upaya kita mengembalikan pendidikan pada jalur-jalur yang semestinya. Amien.

AL-AMIEN PRENDUAN, 02 Mei 2007

 

Daftar Pustaka

Aboe Bakar Atjeh, H. Sedjarah Sufi dan Tasawwuf, Tjerdas, Bandung, 1962

Al-Hazimi, Kholid bin Hamid, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Daruz Zaman, Medina, 2005

Amin Mirsa Qindil, Ushul at-Tarbiyah wa Fann at-Tadris, Lajnah at-Ta’lif wa at-Tarjamah wa an-Nasyr, Cairo, 1938

Halimah Ali Aburizq, DR, Al-Madkhol ila at-Tarbiyah, Ad-Dar as-Saudiyah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadl, 1998

Tamsik Udin AM, Drs, Bidang Pengajaran Ilmu Pendidikan untuk SPG/KPG/SGO, Epsilon Grup, Bandung, 1987

Indra Djati Sidi, Ph.D. Menuju Masyarakat Belajar, Paramadina dan PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001

Muhammad Idris Jauhari Daa, Generasi Rabbi Rodliyya, Pustaka Hikmah Perdana, Surabaya, 2005

M.Ja’far, Drs. Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Al-Ikhlas Surabaya, 1982.

Taufiq Pasiak, Revolusi IQ / EQ / SQ, Antara Neurosains dan Al-Quran, Mizan, Bandung, 2004

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Citra Umbara, Bandung, 2003

Zubaidi, M.Ag, M.Pd, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

 

Biodata

Muhammad Idris Jauhari  Lahir di Prenduan, 28 November 1952: SR/MD (1958-1964), KMI Gontor (1965-1971), menjadi salah satu pengasuh di PP Al-Amien Prenduan (1971-sekarang).

 

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL UTAMA

Potret Buram Pendidikan Kita

Indah Dwi Qurbani

Pendahuluan

Masyarakat seringkali baru menyadari fungsi terpenting pendidikan ketika mengalami serangkaian kegagalan. Kesadaran ini selalu aktual bagi masyarakat kebanyakan. Iming-iming pendidikan murah, anggaran pendidikan 20 persen, kecerdasan bangsa, dan jargon pendidikan yang kerap dikampanyekan pemerintah, hanyalah iming-iming yang tidak pernah terealisir. Perjalan sejarah kebangsaan kita yang sudah setengah abad lebih, memang telah meletakkan landasan yang cukup sistemik untuk memanusiakan rakyat melalui pendidikan. Sayang, landasan itu seolah berada di atas menara gading, tanpa diimbangi kesanggupan penyelenggara Negara untuk membumikannya.

Alokasi anggaran pendidikan Indonesia pada 1980 yang hanya 1,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dan yang mengenaskan, angka itu malah turun menjadi 1,0 persen dari PDB pada 1990 dan turun menjadi 0,8 persen dari PDB pada 2000. Kemerosotan itu tetap hingga 2003. Kala itu pengeluaran pemerintah untuk pendidikan tinggi Rp 13 triliun atau sekitar 7 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau 0,8 persen dari PDB.

Sementara itu pada kurun waktu yang sama, Malaysia justru menyediakan anggaran yang lebih besar pada 1990, yakni 5,5 persen dari PDB, dan 5,8 persen dari PDB pada 2000. Itulah alasan mengapa saat ini Malaysia jauh lebih maju dibandingkan dengan Indonesia.

Vietnam tak kalah agresif dalam mengembangkan pendidikan. Pada 2000, saat anggaran pendidikan Indonesia berkutat sekitar 10 persen dari total anggaran belanja nasional, anggaran pendidikan Vietnam saat itu sudah mencapai 15 persen dari total anggaran belanja dan ditargetkan menjadi 20 persen pada 2010.

Vietnam juga sukses membuat gerakan wajib belajar untuk anak usia 6-14 tahun sejak 2000. Kala itu angka anak yang lulus sekolah dasar cuma 70 persen pada 2000 meningkat menjadi 80 persen pada 2005 dan ditargetkan 2010 anak yang lulus SD mencapai 90 persen.

Indonesia memang belum sehebat Malaysia, namun kita boleh sedikit terhibur ketika segelintir pelajar meraih penghargaan lewat berbagai kompetisi sains internasional, seperti olimpiade fisika dan olimpiade biologi. Itu memang bukti bahwa kualitas anak didik kita tak kalah gemilang. Namun, prestasi berkilau itu belum dapat dijadikan gambaran umum mengenai kondisi peserta didik lain. Sebab, masih banyak anak didik yang tarafnya jauh lebih rendah. Bahkan, untuk lulus ujian akhir nasional yang standar kelulusannya cuma nilai 4 pun mesti ditolong praktek curang para guru.

Blundernya sikap pemerintah dalam dunia pendidikan, justru pada saat bersamaan dijadikan media untuk meraih keuntungan. Industrialisasi lembaga pendidikan yang kerap dipertontonkan dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, yang tidak sepadan dengan kualitas dan produk pendidikan yang dihasilkan. Menjamurnya bimbingan belajar diberbagai sekolah disatu sisi nyaris mempertegas eksistensi industrialisasi lembaga pendidikan itu. Sementara pada sisi lain, pendidikan anak-anak yang hidup dilingkungan sosial sederhana semakin tertinggal. Dalam kondisi yang demikian, pendidikan menurut Paulo Friere tidak lagi berperan sebagai media pembebasan dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, melainkan skandal-skandal pembodohan terhadap peserta didik secara sistemik telah dihamparkan didepan mata.

Pendidikan yang sejatinya diperuntukkan bagi pertumbuhan untuk memunculkan manusia paripurna, justru kerap berujung pada obral ijazah, jual beli nilai, bongkar pasang kurikulum, guru tidak berkualitas dan orientasi bisnis dalam pendidikan merupakan bukti konkrit akan perilaku pembodohan. Pembodohan siswa yang telah menjadi biang keladi gagalnya pendidikan peserta didik yang berkualitas. Lembaga yang bernama sekolah tidak lagi dapat berkutik untuk menjadikan manusia yang tangguh menghadapi tantangan intelektual apalagi moral.

Pembodohan pendidikan merupakan kata lain dari pembunuhan karakter putra-putra bangsa. Perdebatan perubahan kurikulum, sertifikasi guru, kompetensi siswa, mahalnya biaya sekolah, rendahnya penghargaan terhadap guru adalah sederatan dilema dunia pendidikan yang berhasil di potret.

Kompleksitas persoalan pendidikan semakain absurd, ketika justru problem pendidikan telah menghasilkan problem lebih baru lagi. Sekolah kini menjadi lembaga legal yang semakin memperlebar jurang pemisah antar si kaya dan si miskin. Beberapa lembaga pendidikan telah terang-terangan mematok harga yang sulit dijangkau masyarakat miskin. Beberapa sekolah yang tergolong murah, justru pada titik tertentu tidak dapat masuk pada persoalan-persoalan khas siswanya. para siswa yang sesudah sekolah harus peras keringat untuk membantu orang tuanya mencari nafkah, atau mereka yang belajar di bawah temaram lampu jarak, atau mereka yang terpaksa harus jalan kaki berkilo-kilo meter ke sekolah, selalu disamakan (perlakuannya) dengan siswa-siswa sekolah yang notabene anak orang kaya.

Absurditas ini menegaskan, bahwa sekolah bukan lagi merupakan lembaga pendidikan yang dapat menjalankan proses pendidikan dan pembelajaran dengan benar. Bahkan tak jarang, sekolah justru kerap membelenggu kreativitas, mengasingkan siswa dari realitas, mengerdilkan idealisme, membuat bingung, cemas serta lemah bagi peserta didik. Karena sekolah tidak hanya terkesan elitis tetapi juga sangat rapuh.

Pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia, sehingga pengertian pendidikan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal di sekolah melainkan juga melalui pendidikan informal. Pendidikan sebagai sebuah proses penanggulangan masalah-masalah serta penemuan dan peningkatan kualitas hidup pribadi serta masyarakat berlangsung seumur hidup. Namun, mengingat saat ini sekolah (seperti) kehilangan monopolinya dalam proses transformasi ilmu, pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk memahami lebih dalam tentang arti dan tujuan pendidikan itu sendiri dengan maraknya pendidikan alternatif dengan prinsip membimbing anak untuk belajar sesuai motivasi dan keinginannya, menjadikan kita mempertanyakan kembali arah pendidikan kita dalam situasi kultural-politis seperti sekarang ini, menjadi kian aktual dan mendesak. Karena hakikat dari pendidikan sesungguhnya adalah untuk pemerdekaan, bukan pembodohan.

Pengelakan Tanggung Jawab

Amandemen UUD 1945 yang telah menetapkan biaya pendidikan 20 % dari total anggaran Negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945, "setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu kemudian dipertegas di dalam Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".

Sebagai turunan dari kebijakan pendidikan tersebut pemerintah telah mempertegas di dalam Pasal 1, Bab 1 UU No 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, "Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah". Dan di dalam RPP penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".

Sayangnya penegasan di atas justru dianolir dengan pasal-pasal selanjutnya, yaitu Pasal 9 UU 20/2003 Tentang Sisdiknas, "masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan“. Pasal 11 ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun". Dan Pasal 12 ayat 2 (b) Peserta didik berkewajiban: ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengelakan tanggungjawab yang dilakukan Negara dapat pula dilihat dari Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar Pasal 13 Ayat (3), "Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".

Pengelakan tanggungjawab ini semakin nampak dalam pasal per/ pasal Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang terkesan kurang mempertimbangkan implikasinya di kemudian hari. Karena itu tak heran bila yang terjadi kemudian justru kontroversi dan bahkan sejumlah gugatan dilontarkan. Di berbagai media telah banyak diekspos keberatan berbagai pihak terkait dengan isi dan arah pengembangan pendidikan yang dicoba digagas dalam RUU ini.

Keinginan Departemen Pendidikan Nasional untuk membagi dua jalur pendidikan atas dasar kemampuan akademik dan ekonomi siswa, serta pengelolaan pendidikan dengan model korporasi dalam bentuk badan hukum pendidikan, selain dikhawatirkan akan menghilangkan semangat kolektivisme dalam masyarakat, juga membuat pendidikan jadi makin mahal sehingga eksklusif bagi masyarakat miskin.

Namun, sungguhpun berkali-kali telah disanggah Menteri Pendidikan Nasional, akan tetapi substansi pasal-pasal di RUU BHP, terkesan kuat bahwa pengelolaan sekolah akan lebih diarahkan pada bentuk korporasi dan privatisasi, sehingga cepat atau lambat akan menghilangkan ciri dan idealisme pendidikan. Bahkan, di tengah situasi dan iklim persaingan antarsekolah yang makin kompetitif, tidak mustahil terjadi sekolah perlahan-lahan akan berubah layaknya institusi bisnis dan dalam konteks seperti ini tak pelak murid kembali akan menjadi korban pungutan.

Secara hukum, dalam RUU itu sebetulnya telah tegas-tegas disebutkan bahwa sekolah adalah lembaga ‘nirlaba’. Namun, karena proses implementasinya nanti pemerintah cenderung mereposisi perannya dari penyelenggara menjadi fasilitator, cepat atau lambat sekolah niscaya akan membebankan kebutuhan dana pendidikan kepada masyarakat, khususnya wali murid.

Pada batas-batas tertentu, benar bahwa dengan dikelola secara profesional dan berorientasi bisnis, sekolah akan dapat lebih mandiri dan kompetitif. Tapi, karena tidak didukung perangkat operasional yang jelas dan cenderung hanya sebagai salah satu upaya pemerintah untuk lepas tangan dari tanggung jawab membangun kualitas pendidikan, jika RUU BHP itu benar-benar disahkan nantinya, pelan-pelan pendidikan pun niscaya akan berubah menjadi industri yang berskala massal, bersifat komersial, dan bahkan menjadi komoditas.

Dua kecenderungan yang menonjol bakal terjadi adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan cenderung terjerumus dalam proses komersialisasi; pendidikan berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan atau diperdagangkan dan dikelola seperti layaknya dunia industri, yang cenderung hanya berorientasi pada keuntungan.

Selama ini, jujur harus diakui bahwa wajah pendidikan yang seharusnya tampil populis dan humanis ternyata sudah semakin langka, bahkan setiap tahun ajaran baru tiba tidak sedikit orang tua peserta didik yang resah, terpaksa harus "mengemis" ke sana-kemari untuk mencari sekolah bagi anak-anaknya, dan mereka pun jauh-jauh dari harus menabung untuk membayar uang pangkal, uang gedung, dan biaya pendidikan lain yang makin mahal.

Tidak berbeda dengan dunia industri yang serba impersonal dan tak segan bersaing berebut pangsa pasar, dalam dunia pendidikan pun kini tidak lagi ada rasa malu ketika sekolah satu dan yang lain berlomba menawarkan kelebihan masing-masing--asalkan konsumen bersedia membayar dengan uang ratusan ribu, jutaan, atau bahkan puluhan juta rupiah. Di jenjang perguruan tinggi, untuk fakultas tertentu yang jadi favorit, biaya pendidikan yang mesti ditanggung publik justru melonjak hingga ratusan juta rupiah.

Kedua , pendidikan yang makin komersial hanya akan melahirkan proses superiorisasi sekolah yang makin kebablasan dan bahkan mengalienasi anak didik. Yang dimaksud dengan superiorisasi adalah proses sekolah menjadi makin digdaya, angkuh, berjarak, dan menekan orang tua siswa, baik dengan cara yang halus maupun terang-terangan.

Dalam praktek, pendidikan yang berubah menjadi industri cenderung akan mengalami proses pereduksian makna, terdegradasi hanya menjadi kegiatan produksi dan berorientasi jangka pendek dengan mengasah keterampilan siswa menghafal dan mengerjakan soal-soal ujian. Sama sekali tidak ada empati untuk membangun kecerdasan dan potensi akademik siswa dengan cara-cara yang humanis.

Siapakah yang harus dipersalahkan? Apa sebenarnya kekeliruan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita sehingga tujuan esensial pendidikan yang seharusnya memampukan manusia dan memanusiakan manusia ternyata justru melahirkan hasil-hasil yang kontraproduktif?

Pada titik ini, mau tidak mau yang harus dilakukan dan dibutuhkan adalah kesediaan kita untuk menakar ulang tujuan dan bahkan membongkar isi pasal-pasal dalam RUU BHP, yang tampaknya banyak salah arah. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi bila pendidikan yang semula dimaksudkan untuk memberdayakan dan meningkatkan plastisitas (daya kenyal) masyarakat dalam menghadapi tekanan kehidupan ternyata justru membebani dan menjadi masalah baru bagi warga masyarakat karena makin sulit terjangkau rakyat?

Pendidikan secara substansial sebetulnya adalah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang dewasa-susila. Driyarkara (1980) menyatakan, pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perbuatan fundamental dalam bentuk komunikasi antarpribadi, dan dalam komunikasi tersebut terjadi proses pemanusiaan manusia muda--dalam arti proses hominisasi (menjadikan seseorang sebagai manusia) dan proses humanisasi (pengembangan kemanusiaan manusia).

Pendidikan di era otonomi sekolah seperti sekarang ini kita sadari tidak sekadar menuntut adanya keterlibatan dan peran aktif masyarakat. Hasil dari penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan juga dituntut mampu memecahkan berbagai problem masyarakat. Dalam bahasan yang lebih teknis, pendidikan yang berbasis masyarakat diharapkan dapat menghasilkan--meminjam istilah Ignas Kleden (2001)--linking sekaligus delinking.

Yang dimaksud linking menunjuk pada keadaan ketika seorang anak manusia punya kesinambungan dengan lingkungan sosialnya. Sedangkan delinking adalah upaya pendidikan untuk mengajari peserta didik agar tetap bersikap kritis dan senantiasa mengambil jarak dengan realitas di sekitarnya agar tidak terjerumus dalam hegemoni yang dikonstruksikan oleh negara, kelas yang berkuasa, atau siapa pun pihak yang superior.

Terlepas dari banyaknya persoalan yang ditimbulkan oleh konspirasi pendidikan global (Unesco), akan tetapi dalam kaitan ini sesungguhnya pemerintah c.q. Ditjen Dikti, Depdiknas telah mengembangkan kurikulum yang in line dengan visi dan aksi pendidikan tinggi di abad XXI menurut dalam The World Converence on Education for All di Thailand pada 1990 Unisco menegaskan, 17 butir dari progres report The International Commision on Education for The Twenty-first Century guna peningkatan kapasitas PT. Butir-butir itu antara lain berisi; Pertama, harapan ke depan; Jangkauan dari komunitas lokal ke komunitas global, perubahan kohesi sosial ke partisipasi demokratis yaitu berupa pendidikan dan krisis kohesi sosial-pendidikan Vs exlusion-pendidikan dan desakan pekerjaan di masyarakat-pendidikan civic dan praktek kewarganegaraan

Kedua , asas pengembangan pendidikan;berupa empat pilar pendidikan meliputi; Learning To Know, Learning To Do yang bermakna pada penguasaan Kompetensi dari pada pengusaan keterampilan menurut klasifikasi ISCE (International Standart Clasification of Education) dan ISCO (International Standart Clasification of Occupation) dematerialisasi pekerjaan dan kemampuan berperan untuk menanggapi bangkitnya sektor layanan jasa, dan bekerja dikegiatan ekonomi, Learning to Live Together (with others), Learning To Be, serta belajar sepanjang hayat (learning throughout life) sebagai wujud (i) Imperative for democracy. (ii) pendidikan multidimensional. (iii) munculnya New Times, Fresh Fields. (iv) kebutuhan sinergi dalam pendidikan

Ketiga, arah pengembangan pendidikan;Kesatuan pendidikan dasar sampai PT: (i) pendidikan dasar sebagai ‘pasport’ untuk kehidupan, (ii) pendidikan menengah sebagai persimpangan jalan menentukan kehidupan, (iii) pendidikan tinggi dan pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan Tinggi sebagai tempat pembelajaran dan suatu sumberdaya pengetahuan. Peran PT untuk menanggapi pasar kerja. PT sebagai pusat kebudayaan dan pembelajaran terbuka untuk semua. Dan Pendidikan untuk wahana kerjasama internasional

Sayangnya implementasi dari ketiga butir Unisco tersebut belum dipersiapkan secara fundamental. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari ketidaksiapan lembaga pendidikan untuk menerapkan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang kini telah ditinjau ulang. Sementara itu disisi lain pemerintah terlihat gagap sehingga lebih memilih untuk melayani kepentingan global yang pasti akan berujung pada prifatisasi dan liberalisasi pendidikan.

Institusi pendidikan yang nyaris berbentuk korporasi ini akan menutup peluang peserta didik untuk dapat berkembang secara kreatif, berjarak pada realitas, berpikir kritis, dan bernalar inovatif cenderung lebih tertutup, karena di mata sekolah mereka tak lebih dari sekadar konsumen, bahkan sekadar target pungutan atas nama kepentingan biaya penyelenggaraan pendidikan.

Di lingkungan sekolah yang dikelola atas dasar kalkulasi untung-rugi, risiko yang paling fatal yang mesti ditanggung siswa bukan sekadar makin menurunnya posisi tawar mereka di hadapan sekolah. Yang benar-benar mencemaskan adalah hilangnya hak peserta didik untuk memperoleh apa yang terbaik yang seharusnya mereka terima sebagai manusia merdeka.

Ketiga , dampak terbesar dari munculnya RUU BHP pada akhirnya seluruh satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), sebagaimana telah dipertegas dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.

Berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar negeri, yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain pada akhirnya akan lepas tanggungjawab.

Dampak negatif dari pelaksanaan RUU ini tidak bisa dianolir dengan apologi pemerintah yang mengatakan (a) Untuk dapat bersaing dengan universitas negeri yang kini sudah menjadi BUMN, perguruan tinggi swasta perlu mencari terobosan dan kiat memanajemen dan mengelola pendidikan secara lebih dinamis, efektif dan mumpuni. ''Dengan Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan di harapkan dapat menjadi payung bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia sehingga memiliki dasar hukum yang kuat. (b) walaupun dalam RUU BHP, peran yayasan tidak ada lagi. Selain itu, para pengurus yayasan yang notabene merupakan stakeholders pendidikan, akan mendapatkan tempat yang lebih terhormat dalam sebuah institusi tertinggi di universitas bernama Majelis Wali Amanah, yang di Amerika atau Eropa dikenal dengan istilah Board of Trustee. (c) Masuknya pendidikan pada agenda GATS (General Agreement on Trade in Services) 7 mei 2005 bagaimanapun harus dihadapi dengan cara melakukan maksimalisasi profesionalitas PT. (d) Sebagaimana tertuang dalam UU 20/2003 Bab Ix Standar Nasional Pendidikan Pasal 35 (1)  Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. 

Rekomendasi di atas jutru menjadi pintu masuk diterapkannya prifatisasi pendidikan. Bahwa atas nama profesionalitas negara mereduksi rekomendasi tersebut pada model pendidikan selanjutnya. Sertifikasi guru dan dosen yang ditentang berbagai kalangan merupakan kebijakan turunan dari konspirasi dan globalisasi pendidikan. Model pendidikan semacam ini sungguh menafikkan kondisi budaya bangsa yang multikultural. Pada akhirnya, praktek-praktek pendidiikan yang selama ini dikembangkan lebih cenderung merupakan peniruan apa yang dilakukan bangsa lain, tanpa mempunyai kesanggupan untuk menerapkan model pendidikan yang linier dengan budaya bangsa. Bila pemerintah tidak memiliki kesanggupan untuk mengembangkan pendidikan multikultural, dan bahkan terjebak dalam konspirasi global dunia pendidikan yang berujung pada privatisasi dan semakin mahalnya sekolah, maka ’descholing society’ atau Masyarakat Tanpa Sekolah akan benar-benar muncul. Publik tidak akan percaya terhadap dunia pendidikan yang dulunya mereka yakini mampu untuk mencerahkan dan mencerdaskan. Publik akan mengembangkan pola pendidikan sendiri yang diangap mewakili kegelisahan mereka.

Pendidikan Alternatif

Banyaknya kalangan yang mencap bahwa perkembangan lembaga pendidikan formal (sekolah)  tidak sanggup menjadi media pembebas bagi masyarakat. Nilai-nilai yang ditanamkan disekolah justru mewujud menjadi dinding tebal antara peserta didik dengan lingkungan sosialnya. Kondisi ini diperparah, bahwa sekolah nyaris hanya melakukan transfer of knowladge dan tidak sanggup untuk melakukan transfer of value yang sesungguhnya lebih dibutuhkan siswa. Sistem pendidikan yang tidak dialogis dan sistemik adalah sebab selanjutnya yang menjadikan bakat, kreativitas, dan kemampuan belajar anak-didik terbengkalai. Model pendidikan, kualitas pengajar, out-put yang dihasilkan, infrastruktur, kapitalisme global, serta peran negara yang hegemonik dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dari fakta-fakta yang terekam, terlihat bahwa institusi sekolah di negeri kita telah melahirkan banyak kesalahan fatal dalam menjalankan perannya sebagai sebuah lembaga pemberdayaan dan pemerdekaan masyarakat, sehingga tak pelak dapat kita lihat negara Indonesia dalam urusan kualitas pengetahuan masyarakat semakin jauh tertinggal dari negara-negara dunia ketiga lainnya.

Eksistensi sekolah tidak lagi menjadi lembaga yang representatif dalam pengelolaan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara dinamis dan simultan. Instansi sekolah tak lagi menjadi lembaga kepercayaan yang dapat dipertanggung jawabkan perannya. Begitu juga dengan pesatnya gelombang globalisasi, yang tidak boleh tidak kita maklumi sebagai gejala yang akan terus melaju, semakin menuntut pemberdayaan masyarakat secara konsisten dan progresif. Jika kepercayaan terhadap lembaga sekolah telah terkikis, maka lembaga pendidikan alternatif perlu digairahkan. Maraknya pendidikan berbasis komunitas (Community Based Education) disetiap lapisan masyarakat (khususnya diperkotaan) merupakan pertanda hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan formal.

Seorang antropolog dari Norwegia Oyind Sandbunkt, yang pernah mengadakan penelitian pada suku Kubu di Jambi mengungkapkan tentang sosialisasi, transmisi pengetahuan pengetahuan tentang kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ditunjukkan oleh Oyind bahwa suku yang dianggap primitif atau terasing ternyata memiliki pengetahuan yang mengagumkan tentang lingkungan hidupnya di hutan tropis. Pengetahuan mereka menjadi satu paket untuk siap hidup di hutan belantara, tentunya proses pendidikannya memerlukan proses yang panjang dan dikukuhkan dalam ”kurikulum”. Ketika sebagian suku Kubu ”dimukimkam” kembali dengan masyarakat lainnya dan anak-anak mereka diperkenalkan dengan pendidikan formal seperti masyarakat pada umumnya, maka tiba-tiba mereka tercerabut dari akar kehidupan mereka yang paling dalam.

Disini dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu wilayah yang rawan bagi kontaminasi ideologi, cara pandang dan pembentukan kesadaran. Anak-anak suku Kubu adalah anak-anak pedesaan, anak-anak pedalaman yang terbiasa belajar sambil bekerja, maka pendidikan yang hendak membebaskan manusia dari ketertindasan materiil dan ideologis sudah sepatutnya mengkondisikan peserta didik untuk terlibat langsung pada realitas dan lingkungan.

Kegagalan pendidikan formal terhadap anak-anak suku Kubu tersebut di atas lebih disebabkan karena kegagalan membangun sistem pendidikan yang berakar pada tradisi asli. Selama ini praktek pendidikan formal lebih cenderung merupakan peniruan dari bangsa-bangsa lain. Model peniruan memang bukan suatu kesalahan manakala didasarkan pada kearifan lokal yang bersumber dari tradisi yang dibangun oleh bangsa kita sendiri. Praktik pendidikan formal hanya menyentuh wilayah teori dan doktrin moral, tanpa keterlibatan peserta didik dan guru terhadap peristiwa yang melatar belakangi sebuah teori dan doktrin moral. Teori iptek dan moralitas hanya menjadi bahan kajian, bukan sebagai wahana pembelajaran tentang kelahiran sebuah teori dan nilai moral yang membuka ruang bagi keterlibatan kesadaran peserta didik dan guru di dalamnya. Harus disadari persoalan pendidikan bukan sekedar meningkatkan jumlah warga ”melek sekolah” dan bertitel sarjana.

Pendidikan alternatif (non formal) yang dilakukan oleh Dik Doank seorang presenter dan musisi dengan membentuk sekolah alam kandank jurank doank yang bertujuan menciptakan lingkungan yang lebih baik dimana semua anak dapat menikmati pendidikan sehingga dengan bekal pendidikan tersebut mereka dapat hidup dengan damai dan berdampingan adalah salah satu contoh riil bagaimana merumuskan suasana belajar yang menyenangkan dan menjadikan anak sebagai subjek pembelajaran. Konsep pembelajaran yang memerdekakan kepentingan belajar anak yang pada akhirnya akan menciptakan anak yang cerdas, kreatif, mandiri dan mempunyai karakter yang positif.

Sekolah alam kandank jurank doank merupakan sekolah alternatif dengan konsep pendidikan realitas dimana ruang kelasnya tidak seperti sekolah formal yang kita tahu selama ini. Ruang-ruang kelas berganti dengan lapangan sepak bola yang berumput hijau, tumbuh-tumbuhan menjadi tembok kelasnya, perpustakaan layaknya tempat pementasan teater, rumah panggung menjadi tempat berkumpul dan berdiskusi. Di sekolah alam kandank jurank doank anak-anak diajarkan bersentuhan langsung dengan alam agar dapat mengoptimalkan potensi alam untuk direproduksi menjadi sebuah karya. Siswanya hanya dibatasi pada tingkatan Sekolah Dasar (SD) dan Taman Kanak-kanak (TK) dengan argumentasi bahwa dalam pembentukan karakter anak sebaiknya dilakukan sejak dini. Dalam proses pembelajarannya mereka dikenalkan pada realitas yang dipadukan dengan teori pendukung, yang nantinya diharapkan menghasilkan suatu aplikasi baru sesuai dengan prespektif dirinya sendiri. Sistem pembelajaran yang diberlakukan adalah yang membebaskan yaitu dengan mengedepankan kepentingan anak, belajar sambil bermain sehingga anak akan lebih mudah memahami dalam proses menjadi, sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Metode pembelajaran yang diterapkan berbeda sama sekali dengan sekolah-sekolah konvensional. Mereka diajari bagaimana membangun hubungan sosial di masyarakat yang nantinya akan menimbulkan perilaku saling menghormati, saling membantu, punya rasa empati terhadap sesama, jujur, bertanggung jawab dan mudah bergaul. Tenaga pengajarnya beragam dari petani hingga menteri semuanya berdasarkan materi yang didiskusikan bersama.

Contoh pendidikan alternatif berikutnya adalah Lembaga Qaryah Thayyibah yang didirikan oleh masyarakat Kalibening, Salatiga, Semarang yang dikomandani Bahruddin adalah salah satu contoh lembaga alternatif yang terlahir dari keprihatinan atas problem pendidikan yang kian kronis . Lembaga ini mencoba mengembangkan tradisi, kurikulum, prinsip serta model pembelajaran yang berbeda dengan mainstream institusi sekolah pada umumnya. Lembaga ini dengan konsep dan dinamika pembelajaran yang menarik dan tidak menjemukan anak-didik bertujuan membentuk out put yang tangguh dan mempuni dalam mengelola sumber daya berdasarkan prinsip kesetaraan, keadilan dan keseimbangan alam.

Lembaga yang berdiri sejak Juli 2003 ini cukup mendapat apresiasi positif dari berbagai kalangan masyarakat dan memantik para peneliti dari dalam maupun luar negeri. Sistem pendidikan yang sangat birokratis dan sentralistik, komersialisasi lembaga pendidikan, yang membuat warga miskin tidak dapat menjangkau merupakan satu hal yang melatarbelakangi berdirinya lembaga ini.

Pijakan Qaryah Thayyibah adalah manifestasi semangat pembebasan, semangat perubahan, semangat pemberdayaan, metodelogi yang menyenangkan, basis konpetensi, serta komunikatif. Prinsip inilah yang kemudian diturunkan dalam konsep pendidikan alternatif yang mengatur bagaimana seharusnya menjadi guru, bagaimana menjadi pengelola pendidikan, bagaimana mendudukkan siswa, bagaimana mengupayakan sarana penunjang pembelajaran, bagaimana mengoptimalkan wali siswa dan masyarakat, serta bagaimana semua elemen itu berinteraksi dengan baik.

Disisi lain model pendidikan alternatif yang selangkah lebih maju sanggup membedakan dirinya dengan lembaga pendidikan formal yang pada umumnya masih menganggap bahwa kreatifitas merupakan pembawaan manusia sejak lahir, sesuatu yang tidak dapat dipelajari, dan merupakan pemberian dari Tuhan.

Perlawanan terhadap pandangan semacam ini sesungguhnya telah dilakukan sejak kurun 1400-1600, saat dunia mengalami apa yang belakangan ini disebut dengan quot renaissance atau jaman "kelahiran kembali". Dalam jaman renaissance, kebudayaan klasik dihidupkan kembali. Kesusasteraan, seni dan filsafat mencapi inspirasi mereka dalam warisan Yunani-Romawi. Filsuf-filsuf terpenting dari zaman rainassance antara lain; Nicollo Macchiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626). Pembaharuan terpenting yang terlihat dari era renaissance itu antara lain "antroposentris". Pusat perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti dalam jaman kuno, atau Tuhan, sebagaimana Abad Pertengahan, melainkan manusia.. Karena itu renaissance dianggap telah berhasil membebaskan dunia dari apa yang disebut dengan “zaman kegelapan”.

Seiring dengan perkembangan renaissance, para pakar pendidikan alternatif yang telah mengalami pencerahan menganggap bahwa sekolah-sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang tidak memiliki peraturan yang mampu mendorong siswa untuk mengembangkan kekuatan kreativitasnya. Sebab mitologi yang berkembang disekolah berkecenderungan mengklaim bahwa anak adalah obyek pendidikan yang tidak dapat menentukan kualitas ilmu yang akan diraihnya.

Kecenderungan lembaga pendidikan formal yang ada di Indonesia disadari atau tidak acap kali menempatkan siswa sebagai obyek yang harus dipoles, dimotivasi, dan diarahkan. Karena itu menjadi benar bila dikatakan sistem pendidikan yang ada di Negara ini taklebih dari sebuah opera pendidikan yang mengarahkan para siswa untuk mengikuti apa yang dikatakan guru. Sang guru meniru apa yang dilakukan gurunnya, gurunya mengikuti apa yang dilakukan kakek gurunya, dan seterusnya yang terus terjebak dalam ritus geneologi guru yang menyesatkan .

Seiring dengan perkembangan kecerdasan manusia, kini pendidikan alternatif mengenal paradigma baru pendidikan. Mitos-mitos lama kini telah digantikan dengan kesadaran baru yang menempatkan sisiwa sebagai manusia yang mampu berpikir kreatif dan kritis. Berpikir kreatif adalah suatu proses yang melibatkan rasa ingin tahu dan bertanya. Semua orang memiliki kapasitas untuk menggunakan pikiran dan imajinasinya secara konstruktif untuk menghasilkan serta merumuskan sebuah ide baru yang lebih cemerlang. Pembelajaran didesaind seirama dengan ritme otak untuk dapat menghasilkan makna yang menghubungkan muatan akademik dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari.

Sistem pembelajaran yang diterapkan model pendidikan alternatif ini sesungguhnya merupakan salah satu topik terhangat dalam dunia pendidikan. Bila sistem ini dilaksanakan dengan benar, sudah dapat dipastikan akan menjadi sebuah revolusi radikal dunia pendidikan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang paling serius dalam lembaga pendidikan formal.

Sistem pembelajaran ini didasarkan pada filosofi bahwa seorang pembelajar atau siswa akan mau dan mampu menyerap materi pelajaran bila mereka dapat menangkap makna dari materi yang diajarkan. Dengan sistem ini siswa diarahkan agar menemukan arti di dalam proses pembelajarannya

Dalam sistem ini siswa juga dianjurkan membuat hubungan-hubungan penting yang dapat menghasilkan makna, dengan cara mengantur intensitas pembelajarannya sendiri, bekerja sama, berpikir kritis, kreatif, menghargai orang lain, mencapai standar tinggi, serta berperan serta dalam tugas-tugas penilaian autentik. Membangun keterkaitan untuk menemukan makna merupakan kunci utama dari sistem pengajaran dan pembelajaran kontekstual. Dengan begitu siswa akan dapat bekerja keras untuk mencapai tujuan pembelajaran melalui penggunaan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya untuk membangun pengetahuan baru.

Ketika siswa dapat mengaitkan sisi mata pelajaran akademik, maka mereka akan menemukan makna. Makna ini pada akhirnya akan memotifasi siswa untuk belajar. Mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan siswa semacam ini akan dapat menjadikan proses belajar lebih hidup, dan keterkaitan inilah inti dari model pendidikan alternatif.

Pendidikan alternatif yang merupakan kata lain dari ‘pembelajaran mandiri’ akan dapat memberikan kesempatan luar biasa pada siswa untuk mempertajam kesadaran lingkungan. Pembelajaran mandiri memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan positif bagaimana mereka mengatasi kegelisahan dan kekacauan dalam kehidupan sehari-hari sehingga memungkinkan siswa bertindak berdasarkan inisiatif mereka sendiri dalam membentuk lingkungan social yang diinginkan.

Guna membantu siswa mengembangkan potensi intelektualnya, pendidikan alternatif mengajarkan langkah-langkah yang dapat digunakan dalam berpikir kritis dan kreatif serta memberikan kesempatan untuk menggunakan keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi dalam dunia nyata.

Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah secara sistemik, menghadapi berjuta tantangan dengan cara yang terorganisir, merumuskan pertanyaan inovatif, serta merancang solusi orisinal. Apabila siswa diberi kesempatan untuk menggunakan pemikiran dalam tingkatan yang lebih tinggi disetiap tingkat kelas, pada akhirnya siswa akan terbiasa membedakan antara kebenaran dan kebohongan, penampilan dan kenyataan, fakta dan opini, pengetahuan dan keyakinan.

Sementara itu komunitas guru yang telah mengalami pencerahan tidak lagi terjebak pada ritus, bahwa kecerdasan siswa hanya dapat diukur melalui hasil ujian, tetapi juga mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang penting untuk belajar selama hidupnya. Beberapa karakteristik guru yang tercerahkan antara lain; Pertama, Guru mengetahui, menghargai setiap materi yang diajarkan. Setiap tujuan akademik yang diharapkan dapat dikuasai murid, telah dikuasai guru lebih dahulu. Kedua, Guru memperhatikan siswa dengan kasih sayang dan kebaikan hati yang tulus. Ketiga, seorang guru akan selalu memahami keadaan unik para siswa baik di dalam maupun di luar sekolah. Keempat, Mengenal dan berhubungan dengan setiap siswa dengan cara yang tepat merupakan dasar prestasi akademik seorang guru pada semua tingkatan. Kelima, Guru yang tercerahkan adalah mereka yang menyadari bahwa setiap anak sesungguhnya memiliki delapan jenis kecerdasan yang berbeda-beda, misalnya dalam bidang linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik-tubuh, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.

Catatan Akhir

Inovasi pendidikan alternatif sebagaimana contoh di atas sejatinya sanggup menyita perhatian pemerintah. Pendidikan alternatif yang telah mnjelma menjadi lembaga terbuka untuk semua kalangan, peran memanusiakan manusia, dan semangat perubahan, yang kini telah hilang dari roh institusi pendidikan formal di negeri ini, sepatutnya menjadi bahan kontemplasi bagi pengambil kebijakan. Bahwa cepat atau lambat ramalan Ivan Illic di era 1970-an tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah) akan terjadi bila potret hitam pendidikan kita kian kelam. Ketika tingkat pengetahuan dan kedewasaan masyarakat telah berkembang lewat elemen sosial dan budaya, maka institusi sekolah (menurut Illich) tidak lagi dibutuhkan.

Pada akhirnya, model pendidikan alternatif sebagaimana di atas akan menemukan momentumnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan model pendidikan yang selama ini dianggap alternatif itu justru akan mawujud menjadi model pendidikan utama yang sangat dibutuhkan masyarakat, sebagai jawabapan atas menyeruaknya potret buram pendidikan kita. Nah, ada pertanyaan !!.

 

_ Steven M. Chan, 2002. Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah, disadur oleh, Abdul Munir Mulkhan dan Umi Yawisah, Kreasi Wacana, Jogjakarta, hal; 23

_ Paulo freire, 1999. Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan pembebasan, Pustaka Pelajar, Jo0gjakarta, hal; 89

_ Imam barnadib, 1986, Filsafat pendidikan, Suatu Tinjauan, Andi Ofset, Jogjakarta, hal; 54

_ Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM, halaman IV.26-4)

_ Abd. Munir Mulkhan, 2003, Strategi Sufistik Semar, 2003, Kreasi Wacana Jogjakarta, hal; 183

_ Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Di Publikasikan Ditjen Dikti 2005

_ Higher Education in The Twenty-first Century; Vision and Action. World Conference on Higher Education. UNISCO. Paris 5-9 Oct 1998

_ Naskah lengkap dalam Learning: The Treasure Within, 1996. Report to UNESCO of The International Commision on Education for The Twenty First Century. UNESCO Publishing/ The Australian National Commision for UNESCO

_ Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran...Op.cit

_ Bases for Comparing Approaches to Curriculum Development, In; Curriculum Development A Comparative Study (1994) Eds. P.H. Taylor And M. Johnson. NFER Publishing Company, Ltd. Great Britain.

_ Eko Prasetyo, 2003, Orang Miskin dilarang sekolah, Resist Book, Jogjakarta, ha; 12

_ Sujono Samba, 2007. Lebih Baik Tidak Sekolah , LKiS, Yogyakarta, hal; 65

_ A. Bahruddin, 2007, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, LkiS, jogjakarta, hal; 54

_ Elaine B. Johnson, 2006, Contextual Teaching & Learning, MLC, Bandung, hal; 223

 

Daftar Bacaan

Steven M. Chan, 2002. Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah, disadur oleh, Abdul Munir Mulkhan dan Umi Yawisah, Kreasi Wacana, Jogjakarta

Paulo freire, 1999. Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan pembebasan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta

Imam barnadib, 1986, Filsafat pendidikan, Suatu Tinjauan, Andi Ofset, Jogjakarta

Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM, halaman IV.26-4)

Abd. Munir Mulkhan, 2003, Strategi Sufistik Semar, 2003, Kreasi Wacana Jogjakarta

Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Di Publikasikan Ditjen Dikti 2005

Higher Education in The Twenty-first Century; Vision and Action. World Conference on Higher Education. UNISCO. Paris 5-9 Oct 1998

Naskah lengkap dalam Learning: The Treasure Within, 1996. Report to UNESCO of The International Commision on Education for The Twenty First Century. UNESCO Publishing/ The Australian National Commision for UNESCO

Bases for Comparing Approaches to Curriculum Development, In; Curriculum Development A Comparative Study (1994) Eds. P.H. Taylor And M. Johnson. NFER Publishing Company, Ltd. Great Britain.

Eko Prasetyo, 2003, Orang Miskin dilarang sekolah, Resist Book, Jogjakarta

Sujono Samba, 2007. Lebih Baik Tidak Sekolah , LKiS, Yogyakarta

A. Bahruddin, 2007, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, LkiS, jogjakarta

Elaine B. Johnson, 2006, Contextual Teaching & Learning, MLC, Bandung

 

Biodata

Indah Dwi Qurbani; Bukan seorang penulis, tidak pernah baca buku, dan tidak pernah mendengarkan ceramah para pakar, namun sebagai Dosen FH unija Madura yang Kini sedang menempuh Study Ilmu Hukum di Program Pasca Sarjana UNEJ, saya tahu betul betapa buramnya potret pendidikan kita. Bila ini dibiarkan ” Deschooling Society” atau masyarakat tanpa sekolah yang pernah dikhawatirkan Ivan Illic di era 1970-an, akan terjadi

 

 

 

 Back To Daftar Isi

Menuju Pendidikan Berkualitas

Refleksi Atas Sistem Pendidikan Nasional

Oleh Achmad Bahrur Rozi*

Konon, di Amerika pernah terjadi kasus pembunuhan yang sempat menggemparkan dunia pendidikan Amerika. Seorang guru dibunuh siswanya sendiri dengan cara ditembak. Yang memprihatinkan, tindakan itu justeru dilakukan oleh siswa yang dikenal cerdas di sekolahnya. Dalam penyelidikan, diketahui tindakan itu dilakukan karena alasan yang sangat sepele. Ia tidak puas dengan nilai yang diberikan gurunya. Menurut dia, gurunya telah berbuat tidak adil terhadapnya. Kemampuannya menjawab ujian tidak sepadan dengan nilai yang didapatnya. Jelas ia kecewa. Dan kekecewaannya itu menyebabkan emosinya meluap sehingga berujung pada kesimpulan untuk membunuh gurunya. Na'uzubillah min dzalik.

Di negeri kita, di Indonesia, mungkin belum ada kejadian semacam di atas, siswa membunuh gurunya (atau bisa saja karena tidak terjangkau media). Tapi kita tidak boleh metutup mata bahwa banyak kasus-kasus lain yang membuat hati kita miris melihat realitas pendidikan di negeri ini. Siswa bunuh diri (di antaranya karena tidak bisa melunasi SPP), pencabulan dan pelecehan seksual (yang bahkan banyak di antaranya dilakukan oknum guru), video porno (yang kebanyakan dilakonkan oleh siswa dan mahasisawa) adalah sekian dari realitas pendidikan kita yang memprihatinkan. Akan lebih parah lagi jika kita menengok kembali output pendidikan dalam masyarakat. Korupsi yang menggurita di kalangan elit negara justeru dilakukan oleh orang-orang yang terdidik. Tawuran antar anggota Dewan yang terhormat (DPR) di Senayan. Yang paling hot baru baru ini, kasus amoral video porno anggota DPR.

Realitas di atas cukup, bahkan lebih dari cukup, untuk mempertanyakan kembali kualitas pendidikan kita. Apa sebenarnya yang telah disumbangkan oleh pendidikan pada bangsa ini. Atau jangan-jangan, sebenarnya pendidikan telah gagal. Pendidikan perlu dikoreksi dari awal hingga akhir, dari A sampai Z. Ada yang salah dari sistem pendidikan kita. Kesalahan yang sangat fundamental. Bahwa kita mungkin terlena dengan kuantitas, jumlah, sarana, fasilitas, formalitas, mengabaikan kualitas atau tujuan.

Saya yakin, bahwa semua telah maklum, pendidikan adalah salah satu agenda penting dan strategis. Pendidikan adalah faktor penentu kemajuan bangsa di masa depan. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi (human investment), yang akan menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Sayangnya, itu semua hanya jorgan yang kerap diteriakkan pakar pendidikan juga pemerintah, tanpa ada keinginan sungguh sungguh untuk merubahnya. Kerikulum kita tidak ngena, nyasar, dan salah alamat. Delapan kali bongkar pasang kurikulum dari 1947, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 (KBK), hingga yang terakhir kurikulum 2006 (KTSP), hasilnya bisa kita lihat sendiri.

Kita patut bertanya, benarkah kurikulum-kurikulum itu, sebelum diterapkan, telah dikaji matang-matang? Apakah benar-benar berangakat dari filosofi dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Bukan jiplakan, contekan, atau latah terhadap kurikulum negara lain yang dianggap berhasil? Tak ada salahnya kita menyitir sajak Rendra berikut ini:

"Pendidikan di negeri ini berkiblat ke Barat

Di sana anak-anak memang disiapkan

untuk menjadi alat dari industri."

(Rendra, dalam Sajak Anak Muda 1977)

Untuk menghindari apa yang dikatakan Rendra, ke depan mungkin kita perlu menggagas sebuah sistem pendidikan yang benar-benar mengakar pada nilai-nilai sendiri. Pendidikan yang memberi peluang peserta didik seluas-luasnya untuk mengembangkan diri. Sistem tersebut harus berorientasi menunjang individu agar berkembang semua potensinya, dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap dan seimbang. Sehingga diharapkan produk-produk pendidikan kita berkembang menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Beberapa yang dikemukakan berikut ini diharapkan mampu membuka jalan ke arah pendidikan yang diharapkan.

 

Beralih Ke Pendidikan Multiple Intelligences

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) no. 20 tahun 2003 menegaskan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan negara.

Tak perlu panjang-panjang berteori, bunyi undang-undang di atas cukup konkrit menggambarkan apa yang disebut dengan pendidikan berkualitas, yaitu pendidikan yang mengacu pada pemberdayaan seluruh potensi kemanusiaan, terutama aspek spiritualitas, emosi, kepribadian, dan moral. Jadi, pendidikan kita tidak sekedar ingin mewujudkan kecerdasan intelektual (IQ). Bukan sekedar nilai rapor dan hasil ujian saja.

Lalu kita lihat realitasnya. Undang-undang tinggal undang-undang. Kita terlalu berbangga karena setiap tahun beberapa pelajar kita berhasil menyumbangkan medali emas setiap kali olimpiade fisika dan matematika. Sementara setumpuk penyakit sosial ditambah multi krisis akibat pendidikan yang gagal terus-menerus tersaji di hadapan kita.

Cukup lama sekolah lebih menekankan NEM dan gelar. Siswa mencari dan mengusahakan mati-matian untuk mendapatkan nilai yang tinggi dengan segala macam les dan privat. Biro les dan kursur-kursus tumbuh menjamur di mana-mana untuk mendongkrak ingatan siswa. Tujuannya sederhana, agar siswa dapat lulus ujian dengan nilai yang memuaskan, terutama nilai matematika dan fisika. Tak peduli moral dan keagamaan menjadi korban.

Ini masih pada satu aspek saja. Masih terdapat aspek-aspek lain seperti jual beli gelar, sekolah atau kuliah demi mengejar status sosial dan kenaikan pangkat. Sadar atau tidak, pendidikan kita telah menghasilkan produk-produk yang materialistis, bertujuan rendah mengejar pangkat dan kedudukan.

Akibatnya, banyak pendidikan teknik diunggulkan, kedokteran menjadi idola. (jangan berpikir yang tak berduit dapat mengenyam pendidikan di situ). Hal ini tampak dengan berlomba-lombanya orang untuk masuk IPA meski sebenarnya tidak punya bakat dan kesenangan di sana. Orang tua sekuat tenaga mendesak anaknya masuk jurusan IPA agar nantinya dapat belajar teknik yang langsung dapat digunakan. Lupa kalau nanti dalam pekerjaannya dia dapat menjadi korup dan jahat pada sesamanya.

Sangat jelas bahwa nilai manusia diredusir hanya pada kemampuna intelektual (IQ) saja. Mungkin telah saatnya disadari bahwa manusia perlu dihargai sebagai pribadi, apa pun keadaannya yang menjadi potensinya. Pendidikan bukan hanya tepat guna, tetapi juga pendidikan yang mengembangkan daya pikir, daya rasa, daya imajinasi, daya seni, dan daya-daya yang lain. Pendidikan harus memberdayakan secara seimbang aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik.

Ada banyak bakat potensial manusia yang dapat digarap oleh pendidikan. Linda Campbell dkk, dalam Multiple Intelligences, Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan, mendeskripsikan setidaknya tujuh macam kecerdasan dalam diri manusia yang bisa dikembangkan:

  1. Linguistic intelligence (kecerdasan linguistik) adalah kemampuan untuk berpikir dalm bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks. Pengarang penyair, jurnalis, orator memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi.
  2. Logical-matematical intelligence (kecerdasan logika-matematika) merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur, mempertimbangkan proposisi, hipotesis, menyelesaikan operasi-operasi matematis. Ilmuwan, ahli matematik, insinyur, dan programer komputer menunjukkan kecerdasan logika-matematika yang kuat.
  3. Spatial intelligence (kecerdasan spasial) membangkitkan kepasitas untuk berpikir dalam tiga dimensi seperti yang dilakukan oleh pilot, pelaut, pemhat, pelukis, dan arsitek. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal dan internal.
  4. Bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestik-tubuh) memungkinkan seseorang untuk menggerakkan objek dan keterampilan-keterampilan fisik yang halus. Jelas kelihatan pada diri atlet, penari, ahli bedah dan seniman yang mempunyai keterampilan teknik.
  5. Musical intelligence (kecerdasan musikal) jelas kelihatan pada orang yang memiliki sensitivitas pada pola titinada, melodi, ritme, dan nada seperti komposer, konduktor, dan musisi.
  6. Interpersonal inttelligence (kecerdasan interpersonal) adalah kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Terlihat pada guru, pekerja sosial, politisi.
  7. Intrapersonal intelligence (kecerdasan intrapersonal) merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengerahkan kehidupan seseorang seperti ahli agama, psikolog, dan filsuf.

Dengan potensi-potensi kecerdasan di atas, pada dasarnya tidak ada orang lebih cerdas atau lebih bodoh satu sama lain. Semuanya memiliki tingkat kecerdasan walaupun berbeda-beda. Tergantung pada faktor lingkungan dan sosial yang mempengaruhinya. Jika seseorang kebetulan lahir di lingkungan pemusik, maka sangat mungkin kecerdasan yang dominan adalah kecerdasan musikal dan lemah pada kecerdasan yang lain. Karena itu pendidikan harus memiliki pendekatan berbeda dalam menghadapi siswa yang beragam. Masing-masing berguna dan masing-masing dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang luhur.

 

Menyeimbangkan Pendidikan Ilmu Alam dan Ilmu Sosial

Telah dipaparkan, bahwa pendidikan kita cenderung sains sentris. Sementara pendidikan humaniora, karena tidak langsung dapat digunakan, atau tidak tepat guna, dianggap tidak punya arti. Pendidikan ini menjadi pendidikan kelas dua. Akibatnya, kebanyakan produk yang dihasilkan adalah produk robot, atau berwatak robot. Tidak mempunyai kepekaan rasa, kepekaan sosial, dan miskin nilai-nilai kritis.

Dalam pendidikan alam atau teknologi biasanya hanya menggembleng siswanya dengan ilmu pengetahuan yang sudah jadi dan tak bisa ditawar kebenarannya. Hasilnya tidak lain adalah pemahaman legal dogmatis dan lenyapnya sikap kekritis siswa. Mereka tidak tergelitik lagi bertanya semacam mengapa dan bagaimana.

Pola pikir teknologi sama sekalit tidak tersentuh persoalan-persoalan yang sifatnya teoritis, karena itu selalu siap menerima keyakinan-keyakinan instan yang simpel dan sederhana. Al-Jabiri, pemikir asal Maroko, memberikan komentar yang mengejutkan dalam bukunya al-mas'alah as-saqafiyah, bahwa menurutnya, lembaga-lembaga perguruan tinggi sains justeru menjadi faktor yang paling berperan melahirkan radikalisme agama dan terorisme. Hal ini disebabkan karena orang-orang sains menerima dan mempersepsi keyakinan agama melalui prinsip-prinsip sains yang baku, positivistik, dan antikritik.

Untuk membuktikannya, saya perlu mengemukakan pengalaman saya sendiri belajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (dulu IAIN). Tempat pendidikan ini nampaknya dinilai oleh sebagian orang sebagai lembaga yang produktif melahirkan pemikir-pemikir sekuler dan liberal. Respon pun bermunculan dari bergai pihak. Pihak yang pro mengatakan bahwa fenomena tersebut merupakan indikasi kemajuan lembaga perguruan tinggi agama semacam UIN, sementara pihak yang kontra menyebutnya sebagai fenomena "pemurtadan". Sebaliknya, lembaga seperti UGM dan UNY justeru menjadi tempat menjamurnya pemikir-pemikir radikal dan konservatif dalam beragama.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan sains tidak penting dan berbahaya. Hanya saja, diperlukan penyeimbangan dalam suatu lembaga pendidikan antara materi-materi saintifik dengan materi-materi humaniora. Sistem persekolahan di negeri ini, dari sekolah tingkat menengah hingga perguruan tinggi, kadung terbagi menjadi dua kutub, antara kutub ilmu-ilmu sains dan kutub ilmu-ilmu sosial. Diharapkan dengan adanya penyeimbangan akan melahirkan teknisi-teknisi cerdas yang memiliki kepekaan sosial, bermoral, jujur, spiritualis, dan igaliter. Begitu juga sebaliknya, sarjana agama dan humaniora yang tidak hanya saleh ritual, saleh sosial, dan mempunyai sikap kritis, namun juga memiliki kecerdasan teknologikal yang tinggi.

 

Prioritaskan Pendidikan Moral

Secerdas apapun dan secanggih apapun otak seseorang jika dia tidak bermoral, hasilnya nonsen. Negeri ini tidak miskin cerdik pandai. Secara intelektual dan kecerdasan metematik, Habibi menunjukkan kelebihannya, atau paling tidak, kesetaraannya dengan orang-orang Jerman. Banyak pelajar-pelajar kita diterima diperguruan tinggi-perguruan tinggi dan universitas-universitas ternama di belahan dunia. Suatu bukti bahwa kita bangsa yang tidak kalah dengan bangsa lain dalam hal intelektualitas.

Pertanyaannya, mengapa kita tertinggal? Merebaknya dekadensi moral, maraknya korupsi, suburnya kriminalitas, merebaknya teror, dan sebagainya. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional, suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah-darah tahun 1997. Bukti nyata lemahnya pendidikan moral bangsa kita.

Dewasa ini banyak buku ditulis guna menemukan inovasi bahkan revolusi dalam bidang pendidikan. Ada The Learning Revolution, Multiple Intelligences, Quantum Teaching, dan sederet buku-buku inovatif lainnya. Sayangya, dari keseluruhan buku-buku tersebut, pendidikan moral kurang mendapat perhatian.

Kelemahan lainnya, di sekolah-sekolah (utamanya di madrasah-madrasah) pendidikan budi pekerti, pendidikan akhlak, atau pendidikan moral menekankan materi-materi moral baku. Bahwa prilaku A baik, prilaku B Baik, maka selain prilaku A dan prilaku B jelek atau tidak baik. Sebenarnya secara tidak langsung telah terjadi simplifikasi terhadap makna pendidikan moralitas pada persoalan-persoalan praksis sempit dan relativitas kultural tertentu. Pada kebudayaan tertentu suatu tindakan bisa baik, tetapi bisa tidak baik dalam kebudayaan lain.

Mestinya, pendidikan moral di sekolah-sekolah dimaknai sebagai teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan prilaku manusia (Etika). Etika adalah ilmu, bukan ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada pada level yang sama. Etika atau pendidikan moral tidak mengatakan bagaimana seseorang harus hidup. Tetapi merupakan cara pandang filosofis bagaimana mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pluralitas ajaran moral.

Jadi, tujuan utama pendidikan moral bukanlah memberikan petunjuk praktis secara detail terhadap aturan-aturan moral seperti bagaimana seharusnya kita bertindak dalam suatu kejadian tertentu, melainkan memberikan pengetahuan yang bersifat krusial menyangkut dilema baik dan buruk tersebut.

Selama ini, praksis pendidikan moral, dalam artian filosofinya, hanya dipelajari di perguruan-perguruan tinggi. Itupun terbatas pada fakultas-fakultas humaniora. Hasilnya sudah tersaji di depan kita. Malpraktik, aborsi ilegal, pemalsuan surat keterangan dokter, dan lain-lain adalah akibat nyata dokter yang tidak mengerti etika kedokteran. Pencemaran lingkungan, polusi udara, longsor, banjir tahunan, adalah bukti teknokrat dan sarjana lingkungan yang tidak faham etika lingkungan dan teknologi. Birokrasi yang korup, politisi mesum, dan sederet lagi prilaku immoral cukup membuktikan gagalnya seluruh aspek pendidikan hanya karena satu faktor, rusaknya moral.

 

Tingkatkan Kreativitas Mengajar

Ivan Illich, dalam bukunya Deschooling Society, mengemukakan beberapa faktor yang membuat sistem pendidikan formal kurang efektif. Pertama, sistem pendidikan formal dapat menyebabkan keterasingan siswa yang diderita akibat selalu berada dalam sistem persekolahan yang ketat. Kedua, sekolah lebih mengutamakan kompetisi untuk mengejar nilai daripada pendidikan kepribadian, bahwa sekolah mengerdilkan kepribadian siswa karena terkurung selama beberapa tahun.

Tentu, bukan berarti kita harus pesimis dengan pendidikan formal. Di antara tujuan pendidikan dalam UU no. 20 tahun 2003 menegaskan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana……. Ini berarti bahwa pendidikan harus berjenjang, bertingkat dari yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi, dari TK sampai dengan PT. Dengan sistem tersebut diharapkan perkembangan dan kemajuan siswa dapat diukur dan dievaluasi. Di antara langkah konkritnya adalah dibuatnya kurikulum untuk mengarahkan tujuan pendidikan ke arah pendidikan yang diharapkan.

Tetapi realitas menunjukkan bahwa kita tidak perlu bergantung sepenuhnya pada kurikulum. Yang paling kita butuhkan saat ini adalah kreativitas, sehingga dampak-dampak negatif di atas dapat dinetralisir. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan, seperti pentingnya, suatu saat, guru menyelenggarakan pembelajaran di luar kelas (outdoor). Sekolah alam mungkin menjadi solusi pendidikan yang terkesan tidak membumikan siswa dengan lingkungannya.

Selain itu, pentingnya penyelenggaraan pendidikan dengan sistem dialog. Mendidik, hingga zaman reformasi ini, kerap dipahami sebagai guru mentransfer ilmu pengetahuan pada siswa. Guru superior di atas siswa. Pendidikan disampaikan secara monolog dan satu arah. Meskipun pada hakikatnya guru dan siswa tidak identik, namun dalam proses pendidikan mereka perlu dialog. Dengan dialog, mereka sejajar sebagai individu yang saling menghargai dan saling belajar, sehingga terjadilah apa yang disebut komunikasi.

Habermas, salah seorang filsuf terkemuka Mazhab Frankfurt, dengan Teori Tindakan Komunikatifnya, membedakan antara pekerjaan dan komunikasi. Menurutnya, pekerjaan adalah tindakan instrumental, jadi tindakan merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan tujuan komunikasi adalah saling pengertian (mutual understanding).

Kokoh Prihatanto memberikan ilustrasi yang tepat mengenai Teori Komunikasi Habermas. Menurutnya, ketika ada seorang tuan dan seorang budak suatu saat bicara bersama-sama memikirkan pemecahan suatu masalah, maka komunikasi mereka sebenarnya bukan lagi antara tuan dan budak, melainkan sama-sama sebagai manusia. Dengan demikian komunikasi mengandaikan kesetaraan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.

Dalam komunikasi, para partisipan ingin membuat mitranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai klaim-klaim kesahihan (validity claims): agar komunikasi dapat berhasil, orang harus berbicara dengan jelas, benar, jujur, dan tepat. Seseorang yang mampu berkomunikasi dalam arti menghasilkan klaim-klaim itu, disebut memiliki kompetensi komunikatif".

Dalam kaitannya dengan pendidikan, teori tindakan komunikatif dapat dierjemahkan ke dalam metode pembelajaran dialogis. Pendidikan, jika dilihat dari konteks komunikasi ala Habermas, bukanlah sekedar kumpulan subsistem-subsistem teknis, tetapi merupakan tindakan demi mencapai pemahaman. Dalam pendidikan semacam ini akan terjadi suatu ideal role taking. Artinya, setiap individu, baik guru maupun siswa, dapat saling mengambil alih peran masing-masing melalui proses komunikasi dan dialog yang kritis.

Tentu tidak hanya terbatas pada dua metode di atas. Masih banyak terobosan-terobosan baru yang bisa dilakukan oleh seorang guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita. Guru harus tetap aktif belajar. Membaca buku-buku inovasi dan revolusi pembelajaran, serta tidak bosan-bosan mengujicobakannya di lingkungan sekolah.

Potensi siswa beragam. Seorang guru harus pandai-pandai membaca potensi itu, kemudian mengarahkannya pada hal-hal yang positif. Konon, Albert Einstein kecil suka melamun. Guru-gurunya di Jerman mengatakan bahwa dia tidak berhasil di bidang apapun. Pertanyaannya seringkali merusak disiplin kelas. Tetapi ternyata sejarah membuktikan dia menjadi salah satu ilmuan terbesar dalam sejarah.

Thomas Alva Edison juga demikian, dikenal sebagai siswa yang banyak bertanya. Begitu sering dihukum dan puncaknya dikeluarkan dari sekolah. Tetapi sejarah menunjukkan bahwa Thomas Alva Edison menjadi penemu paling produktif sepanjang zaman. Dan banyak lagi tokoh-tokoh dunia seperti Winston Churchill (pemimpin dan orator), Pablo Picasco (pelukis besar), William Shakespeare (penulis fenomenal), dan lain-lain.

Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Winston Churchill, dan lain-lain memiliki gaya belajar khas yang tidak sama dengan gaya yang diterapkan pada biasanya. Yang diperlukan oleh pendidikan kita adalah keterampilan dan kreativitas bagaimana pembelajaran menjadi sesuai dengan gaya masing-masing siswa.

Kebanyakan sekolah kita diselenggarakan berdasarkan asumsi setiap orang itu identik. Lebih buruk lagi, kebanyakan diselenggarakan dengan sebuah sistem evaluasi dan ujian yang hanya menghargai hanya sejumlah kecil kemampuan.

 

Reformasi Sistem Penilaian

Mungkin tidak keliru jika negeri ini disebut sebagai negeri yang aneh. Negeri yang serba jungkir balik. Yang seharusnya di atas ada di bawah, dan yang seharusnya di bawah ada di atas. Banyak siswa lebih pandai dari gurunya, mahasiswa lebih intelek dari dosennya. Yang bodoh lulus ujian, yang pandai tidak lulus. Orang jahat berkuasa, yang baik dikuasai. Yang jujur miskin-melarat, yang tidak jujur mewah bergelimang harta.

Bangsa ini menjadi bangsa yang zalim, menyerahkan segala urusannya pada yang bukan ahlinya. Kalau mau menelusuri, mari kita telusuri dari pendidikan. Setiap tahun, di berbagai media, kita rutin disuguhkan ribut-ribut pengumuman hasil ujian nasional (Unas). Ada yang lulus dan ada yang tidak lulus. Tidak masalah. Tapi bagaimana jika yang tidak lulus itu ternyata siswa yang pandai. Bahkan beberapa di antaranya adalah siswa terpandai di sekolahnya dan telah mendapat jaminan lulus diperguruan tinggi negeri tertentu. Sementara siswa yang kemampunnya sedang-sedang saja, bahkan ada bodohnya minta ampun, lulus dengan mulus.

Pemerintah memang memeberikan solusi dengan memberikan kesempatan sekali lagi pada siswa yang tidak lulus untuk mengikuti ujian susulan. Bahkan ada usul agar mereka yang gagal di Unas mengikuti ujian paket C. Namun, menurut saya, persoalannya tidak berhenti sebatas mereka lulus lalu melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Bukan juga standar nilai yang ditentukan pemerintah yang terlalu tinggi. Lebih dari itu, masalahnya adalah masalah reduksi terhadap makna kualitas berdasarkan nilai ujian.

Orang yang indek prestasinya (IP) tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk diterima dalam setiap rekrutmen daripada yang indek prestasinya lebih rendah. Padahal banyak faktor mengapa nilai ujian seseorang itu rendah atau tinggi. Bisa saja, karena faktor psikologis atau karena faktor-faktor lain, siswa atau mahasiswa yang pada dasarnya berkualitas tiba-tiba terpuruk nilai ujiannya. Lalu ia divonis tidak berkualitas.

Pada sisi lain, kita melihat dampak jangka panjang dari sistem ini. Seperti disebutkan di atas, lahirnya sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang kacau balau. Pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak cakap, aparat (TNI-POLRI) yang tidak profesional, guru dan dosen yang tidak berkualitas, adalah sederetan fakta yang menggambarkan kelirunya sistem penilaian.

Kalau boleh dikatakan, salah satu faktornya adalah gagalnya sistem evaluasi dan ujian yang hanya dibatasi pada beberapa aspek materi pelajaran, seperti fisika, matematika, dan bahasa. Sistem penilaian semacam ini sebenarnya sangat memihak pada satu aspek kecerdasan saja. Pendidikan ke depan di harapkan mampu memberikan porsi yang seimbang antara kualitas kognitif, kualitas afektif, dan kualitas psikomotorik yang potensinya berbeda pada masing-masing individu. Untuk itu, reformasi sistem penilaian merupakan langkah yang mutlak untuk segera diwujudkan.

 

Linda Campbell, Bruce Campbell, dan Dee Dickinson, Multiple Intelligences, Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan, Inisiasi Press, 2002, hlm:

M. Abed al-Jabiri, al-Mas'alah as-Saqafiyah, Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, Bairut, 1994, hlm: 163-164

Baca Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1987, hlm: 14. Baca juga Y. Vernon Bourke, Ethics, The Micmillan Compani, New York, 1966, hlm: 13

Ivan Illich, Deschooling Society, New York: Harrow Books: Harper and Row, Publishers, 1972, Bab I.

Mazhab Frankfurt termasuk dalam kategori neo-Marxisme, di samping Gyorgy Lukacs, Gramsci, Karl Korsch. Mereka sebenarnya kelompok yang tidak puas terhadap Marxisme Ortodoks, namun tetap menggunakan landasan berpikir dari Karl Marx. Mereka melakukan perombakan atau penafsiran ulang ajaran Karl Marx. Karena itu, mereka melahirkan konsep-konsep yang berbeda dari Marxisme yang telah dibakukan menjadi ideologi. K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX; Inggris-Jerman, Penerbit Gramedia, Jakarta, 1990, hlm: 177

Kokoh Prihatanto, Membaca Pemikiran Jurgen Hebermas, Makalah disampaikan di Benteng Vredeburg-Yogyakarta, 24 Maret 2005.

Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos, Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolustion), Bagian II, Sekolah Masa Depan, Kaifa, Bandung, 2001, hlm: 343

 

Biodata

Achmad Bahrur Rozi adalah santri Annuqayah 1993-1999. Antara 1999-2003 melanjutkan sekolah ke UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (dulu IAIN), baru menyelesaikan sekolahnya di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta awal tahun 2007.

 

 

 Back To Daftar Isi

Menggagas Manajemen Pendidikan Alternatif

Berbasis Nilai-nilai Pesantren

Oleh : Fathor Rachman Utsman

 

Fathor Rachman Utsman, Pria kelahiran Pademawu Pamekasan ini adalah alumnus STIK-An-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep yang kini sedang menyelesaikan studi lanjutnya di Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Program Studi Manajemen Manajemen dan Mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Sumenep. Menulis di sejumlah media, baik lokal dan nasional seperti BERNAS Jogja, SOLOPOS,  BALI POST, Media Indonesia, Seputar Indonesia (SINDO), Suara Merdeka, Sinar Harapan Jakarta, KOMPAS Jatim, Banjarmasin Post, AULA NU Jatim, dan Surabaya Post

 

Pengantar Wacana

Pendidikan merupakan investasi peradaban, begitulah adagium atau jargon klasik yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi dunia pendidikan. Sebab di dalamnya tersirat suatu pesan ideologis-edukatif bahwa pendidikan yang akan menentukan masa depan dan dinamika peradaban dunia. Life is education, hidup adalah pendidikan, begitulah ‘orang modern’ menyebut dunia pendidikan. Pendidikan, selain sebagai wahana strategis merubah masa depan, ia juga mempunyai hubungan dialektikal dengan transformasi sosial dan arah pembangunan bangsa. Seringkali muncul ungkapan bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas pendidikan yang dikembangkan. Mulyasa (2003: 4) menyatakan bahwa pendidikan merupakan icon yang sangat signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa, dan wahana yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak atau karakter bangsa ( Nation Character Building). Tentu saja, kebanggaan tersebut harus tetap dipertahankan dan dikembangkan seiring dengan perkembangan peradaban dunia, lebih-lebih dalam era industrialiasasi modern yang ditandai dengan pesatnya kamajuan dunia teknologi dan informasi yang semakin canggih yang pelan-pelan juga telah merasuk ke dalam dunia pendidikan. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan menggeser signifikansi peran pendidikan tersebut, sehingga menuntut pendidikan untuk terus berbenah diri guna mempertahankan posisi strategisnya tersebut.

Seiring dengan isu globalisasi, humanisasi, dan demokratisasi serta tuntutan dunia global yang terus bergulir mempengaruhi dunia pendidikan, menyebabkan dunia pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia, terus berupaya memformulasi dan memikirkan ulang terhadap sistem pendidikan yang selama telah ini dijalankan. Telah banyak upaya perubahan dan inovasi sistem pendidikan yang telah diusahakan pemerintah untuk mendongkrak mutu pendidikan demi mengimbangi berbagai kebutuhan kehidupan masyarakat modern maupun tuntutan perkembangan dunia global. Mulai dari bongkar pasang kurikulum, dari CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), hingga KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), perubahan paradigma manajemen pendidikan mulai dari konsep Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management), manajemen life skill, hingga Manajemen Berbasis Masyarakat (Community Based Management). Bahkan telah melahirkan berbagai macam Undang-Undang dan Peraturan  Pemerintah tentang pendidikan, mulai dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), hingga Peraturan Mendiknas No. 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sebagai dasar lahirnya KTSP. Tetapi sayang, pelbagai upaya tersebut bukan malah memperbaiki kualitas dan sistem pendidikan yang ada. Justru sebaliknya, sistem pendidikan nasional sering mengalami disorientasi dan kehilangan visi, bahkan kadang menimbulkan kontroversi yang tidak kunjung selesai. Akibatnya, dunia pendidikan nasional terus mengalami masalah yang sampai detik ini pun belum jelas solusi alternatifnya yang pasti, bahkan seringkali kebijakan di dalamnya mendapatkan kritik dan gempuran dari berbagai pihak karena sering tidak populis dan penuh kontroversial, seperti kebijakan kontroversial dengan tetap mempertahankan adanya pelaksanaan UN (Ujian Nasional), penyempurnaan kurikulum dengan lahirnya KTSP baru-baru ini, dan lain semacamnya.

Fenomena tersebut menjadi indikasi faktual bahwa sistem pendidikan nasional perlu mencari upaya pembenahan dan penilaian ulang terhadap tujuan pendidikan, kurikulum, proses pendidikan, serta restrukturisasi manajemen (Tilaar, 2004: 5). Bahkan sangat diperlukan adanya format baru sistem pendidikan yang lebih memihak rakyat dan mampu memberikan jalan kebebasan terhadap masyarakat kelas bawah (grass root) untuk mengenyam pendidikan dalam segala bentuknya.

Kondisi ini, diperparah lagi dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang ternyata sama sekali tidak berpihak pada masyarakat miskin yang jumlahnya sekira 79,4 juta, atau 39,1% dari total penduduk Indonesia (Pikiran Rakyat, edisi 19/052005). Bukti kongkretnya, anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, sampai kini tak kunjung terpenuhi. Alasan pemerintah, banyak pos lain yang juga butuh pembiayaan besar. Janji pemerintah, alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN baru akan direalisasikan pada 2009. Selama ini pemerintah kita sibuk dengan persoalan perebutan kekuasaan. Pendidikan bukanlah prioritas bagi mereka. Pernyataan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas negara sesuai amanat UUD ‘45 hanya ada dalam wacana. Sebagai kosekuensinya, banyak masyarakat kita yang tidak bisa menikmati indahnya bersekolah, bahkan tidak jarang ditemukan banyak siswa yang putus sekolah akibat dari mahalnya biaya sekolah. Kecenderungan mahalnya biaya pendidikan ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah swasta, sekolah negeri pun secara terselubung tidak jauh berbeda meski praktek bisnisnya tidak jelas terlihat, sehingga secara otomatis tidak semua masyarakat dapat menjangkau kebutuhan pendidikan secara layak.

 

Pendidikan Alternatif Sebagai Pilihan

Ketika sekolah-sekolah formal (negeri dan swasta) terjebak dalam hegemoni negara dan tidak berdaya untuk mengakhiri gejala dehumanisasi yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, dan ketika lembaga-lembaga pelatihan non-formal (kursus dan lembaga bimbingan belajar) ikut terjebak industrialisasi dan komodifikasi ilmu pengetahuan dan keterampilan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat memprakarsai sekolah-sekolah alternatif yang diharapkan bisa menembus kebekuan dan status quo dalam sistem pendidikan nasional seperti diurai di atas. Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap benda adalah ilmu menjadi konsep dasar dan prinsip penyelenggaraan pendidikan alternatif, guna mengatasi masalah pendidikan di negara ini, termasuk bisa menjadi solusi atas ketidakmampuan pemerintah memenuhi kewajibannya membiayai pendidikan dasar warga miskin. Di mana sistem pendidikan nasional tidak mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat miskin di negara ini. Setidaknya, melalui pendidikan alternatif, orang miskin jadi bisa sekolah sekaligus menepiskan kekhawatiran UNICEF (Lembaga PBB untuk urusan anak-anak dan pendidikan). Bahwa anak-anak miskin akan menjadi "the lost generation" akibat kekurangan makanan, penyakitan, dan tidak berpendidikan. Sebaliknya, melalui pendidikan alternatif, anak-anak miskin yang semula hidup dalam kebodohan menjadi berpengetahuan. Sebab, substansi sekolah adalah untuk belajar.

Dan belajar, tidak harus berseragam atau di gedung megah. Maka, lahirlah beragam pendidikan model pendidikan alternatif di berbagai daerah untuk memenuhi semua keinginan di atas, seperti home schooling atau free schooling, kelompok belajar, sekolah-sekolah alam, dan bahkan ada yang sudah sangat formal, yaitu SMP Alternatif Qoryah Thoyyibah, Salatiga, sebagai salah satu contohnya. Tentu masih banyak bentuk-bentuk lain yang telah berkembang di berbagai daerah dengan segala bentuknya yang bervariasi dan bisa disebut dalam konteks ini. Jumlah sekolah alternatif semacam ini, pasti tidak sebanyak sekolah formal yang dikelola negara, yayasan, ataupun pengusaha yang lembaganya menginduk ke Departemen Pendidikan Nasional.

Akan teta, kehadiran mereka, layak diberi support secara terus menerus. Pemikiran ini, nyatanya memang memperoleh penguatan dari pakar pendidikan Mochtar Buchori. Menurut Mochtar, pendidikan alternatif, layak disebut alternatif jika institusi, manajemen penyelenggaraannya, kurikulum, metode pendidikan dan metode evaluasinya juga bersifat alternatif. ( http://www.parasindonesia.com). Hal ini diperkuat lagi oleh pernyataannya Ella Yulaelawati, selaku Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas, yang menyatakan bahwa Komunitas belajar tidak harus dalam bentuk PKBM, sehingga mereka bisa didaftarkan sebagai komunitas belajar pendidikan non-formal dan pesertanya bisa mengikuti ujian kesetaraan Paket A (setara SD), B (setara SMP), atau C (setara SMA) tanpa harus bergabung dalam pusat kegiatan belajar masyarakat alias PKBM. Meskipun sampai saat ini pemerintah sendiri belum memiliki acuan pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan alternatif. Akan tetapi, pada dasarnya mereka bisa mendaftarkan diri ke dinas pendidikan sebagai komunitas belajar, bahkan sudah terakomodasi dalam sistem pendidikan nasional (sisdiknas) (Kompas. 4/4/2006).

Di sisi lain, menurut Prof. Dr. Djohar, MS, selaku Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakakarta, sistem pendidikan alternatif ini perlu dikembangkan dan diterapkan di Indonesia untuk memerdekakan pendidikan yang selama ini terjebak dalam belitan birokrasi yang sebenarnya justru merugikan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan, justru kehilangan arah dan tujuan utama yakni menciptakan manusia yang berbudaya. Bahkan standar pendidikan nasional yang diterapkan secara tidak masuk akal dan menyamaratakan semua siswa, menjadikan sekolah sebagai institusi pendidikan formal yang bahkan tidak menyentuh sisi pendidikan dan mementingkan pembelajaran. Akibatnya, tujuan utama pendidikan menjadi terlupakan. Orangtua dan siswa serta para guru menjadi mengedepankan nilai dibanding kualitas pribadi dan minat siswa (Suara Karya, 30/08/2005). Inilah yang banyak terjadi dalam pendidikan sekolah yang justru sangat mengkhawatirkan masa depan dunia pendidikan (khususnya sekolah-sekolah formal) selama ini. Sekolah sebagai institusi pendidikan tidak memiliki kebebasan untuk mengelola sendiri sekolahnya.   Untuk memperbaiki semua itu, kita harus berani keluar dari sistem pendidikan nasional yang sebenarnya banyak berorientasi pada aspek kognitif (baca: nilai akademik) dari ketiga aspek pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) yang seharusnya berjalan bersama-sama. Di sisi lain, kita juga harus berani angkat kaki dari pengelolaan pendidikan yang lebih mengarah pada tertib administrasi saja, bukan filosofi pendidikan seutuhnya yang seperti seharusnya ada dalam ruh dunia pendidikan. Bila tidak, maka yang terjadi sistem pendidikan nasional akan terus mengalami masalah dalam upaya mendongkrak mutu pendidikan, yang pada gilirannya nanti -pelan tapi pasti- akan menghancurkan bangsa ini sendiri.

 

Perlunya Manajemen Pendidikan Alternatif

Mencermati perkembangan pengelolaan pendidikan nasional yang carut marut, birokratik, hegemonik, dan bahkan masih sentralistik seperti diuraikan di atas, mengindikasikan bahwa persoalan pendidikan tidak hanya terletak pada minimnya anggaran, kualitas SDM yang lemah, dan kaburnya visi pendidikan nasional. Lebih dari itu, ternyata manajemennya juga masih simpang siur dan sangat membutuhkan penataan dan perbaikan dengan sistem institusional-organisasional yang lebih akseptabel, comfortable, dan akuntabel. Lebih dari itu, Penyakit patologi birokrasi yang terus menjangkiti dunia pendidikan di Indonesia mengakibatkan pendidikan tidak menemukan formulasi manajemen yang tepat dan relevan di tengah-tengah rendahnya kualitas dan mutu pendidikan. Terbukti berbagai upaya inovasi dan perbaikan sistem serta manajemen pendidikan mulai dari desentralisasi pendidikan, otonomi sekolah, hingga manajemen berbasis sekolah (MBS) yang telah digagas pemerintah sampai saat ini ternyata tidak mampu mendongkrak mutu pendidikan nasional. Akhirnya yang terjadi daya saing output pendidikan kita tergolong lemah dibandingkan dengan negara-negara lain.

Pertanyaannya kemudian, apa yang salah dengan manajemen pendidikan kita? Ada apa sebenarnya dengan sistem pendidikan nasional kita? Mengapa banyak upaya dari berbagai pihak untuk menyelenggarakan pendidikan alternatif dengan klaim sebagai jawaban dari buntunya sistem pendidikan nasional kita?, dan mengapa pendidikan sekolah outputnya tidak berkualitas? Dari berbagai pengamatan, hasil penelitian, dan analisis akhirnya Prof. Husaini Usman (2006: 44-45) menyimpulkan bahwa ada tiga penyebab utama amburadulnya system dan manajemen pendidikan kita. Pertama, kebijakan dan manajemen pendidikan nasional yang terlalu asyik menggunakan pendekatan educational production function atau input-output analysis dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal dengan berfikir pendekatan sistem, baik input, proses, output, maupun outcome semuanya harus diperhatikan secara profesional dan proporsional.

Kedua, manajemen pendidikan nasional masih cenderung dikelola dengan pendekatan biroktratik-sentralistik sehingga kebebasan pelaksana atau manajer pendidikan sangat bergantung pada keputusan birokrasi yang sangat berbelit-belit dan sarat hegemonik, sehingga banyak sekali kebijakan pemerintah yang tidak sesuai –untuk tidak mengatakan bertentangan- dengan keinginan para penyelenggara satuan pendidikan di tingkat daerah.

Ketiga, peran serta orang tua/wali siswa atau masyarakat dalam manejemen pendidikan sistem sekolah selama ini sangat minim. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat sangat lemah. Sehingga pengelolaan pendidikan terbiasa menerapkan pola inward looking dan upward looking. Kalangan di luar birokrat seakan-akan dipandang tidak bernilai. Yang menentukan nasib pendidikan adalah para birokrat dan atasannya, peran serta masyarakat dianggap tidak berguna. Nampaknya, pola-pola pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang seperti itulah yang mengakibatkan kesemrautan manajemen pendidikan terus berlangsung dan belum ditemukan solusi alternatifnya yang signifikan. Pada gilirannya, usaha-usaha pemerintah yang terus melahirkan kebijakan tentang perbaikan sistem pendidikan seperti diurai di bagian pengantar tulisan ini hilang percuma dan tenggelam begitu saja seiring dengan banyaknya masalah yang menimpa negeri ini.

Di sinilah perlunya juga kita menyiapkan rumusan manajemen pendidikan alternatif yang benar dan tepat, di samping adanya gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan alternatif yang selama ini marak diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Tetapi tentu saja gagasan tentang manajemen pendidikan alternatif ini dicarikan juga landasan atau basis pengelolaan pendidikan yang lebih relevan dalam konteks kehidupan yang lebih demokratis dan humanistik.

Secara sederhana, pengertian manajemen pendidikan dapat dikatakan sebagai upaya mobilisasi segala sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan. Atau lebih singkatnya lagi seperti yang diungkap oleh Bush & Coleman (2000: 4) dalam pernyataannya bahwa; "educational management is a field of study and practice concerned with the operation of educational organizations".

Lebih mendalam lagi, seperti ungkapan Husaini Usman (2004: 6) manajemen pendidikan dapat kita rumuskan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Mengingat cakupan sumber daya pendidikan yang sangat luas meliputi 7M + 1i (man, money, material, machines, methods, marketing, and minutes + information), tentu manajemen dimaksud meliputi berbagai aspek dan fungsi-fungsi manajemen, mulai dari proses perencanaan (planning) hingga proses pelaksanaan dan evaluasinya. Semua komponen tersebut akan berjalan efektif dan efisien jika diatur dengan mekanisme organisasi dan administrasi yang profesional dan bertanggungjawab.

Tentu tidak mudah mensinergikan semua aspek itu tanpa adanya konsep dan perencanaan yang matang dalam penyelenggaraan suatu pendidikan, apalagi semacam pendidikan alternatif, jika kita ingin betul-betul mendapatkan output dan outcome pendidikan yang berkualitas dengan daya saing yang cukup tinggi pula. Sebenarnya, salah satu strategi dan kebijakan pemerintah dengan melahirkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) masih cukup strategis diaplikasikan dan diimplementasikan dalam pengelolaan suatu pendidikan. Tetapi sayang, konsep itu tidak didukung dengan sosialisasi yang optimal serta peraturan yang tegas, termasuk pelaksanaanya di lapangan, sehingga manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh lembaga sekolah yang telah memiliki infrastruktur dan suprastruktur yang kuat dan mapan. Ditambah lagi, UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS ternyata tidak menyebutkan secara eksplesit bagaimana manajemen pendidikan nasional harus dikembangkan dan dilaksanakan. Akhirnya yang terjadi usaha pemerintah itu tidak maksimal dan pudar seiring dengan makin banyaknya masalah yang menimpa negeri ini. Dari sinilah gagasan untuk mencari landasan pengelolaan pendidikan alternatif lahir sebagai bentuk solusi alternatif pula bagi penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang birokratik-sentralistik dan serba hegemonik sebagaimana disinggung di atas.

 

Bagaimana Dengan Pendidikan Pesantren?

Pondok Pesantren, merupakan salah satu dari sekian model dan sistem pendidikan yang telah lama berkembang pesat di Indonesia, selain sistem pendidikan Sekolah dan Madrasah. Konon, menjelang kemerdekaan, Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro pernah mengusulkan agar “pendidikan pesantren menjadi sistem pendidikan nasional”. Menurut beliau, selain karena pesantren sudah begitu melekat kuat dalam hati manusia Indonesia, sistem pendidikan pondok pesantren merupakan kreasi atau budaya asli (indigenous  culture) bangsa Indonesia yang tidak terdapat di belahan dunia lainnya, bahkan di negara-negara Islam sekalipun, sehingga karenanya perlu dipertahankan dan dikembangkan (Nurcholis Madjid, 1997: 3). Walaupun akhirnya obsesi beliau ini tidak menjadi kenyataan, antara lain karena warisan pemikiran kolonialisme, tetapi apa yang beliau sampaikan ini merupakan suatu pengakuan tulus yang tentunya bersumber dari ketajaman daya analisis terhadap kelebihan sistem pendidikan pesantren dibandingkan sistem-sistem pendidikan lainnya.

Upaya untuk menjadikan pesantren dengan segala tradisi dan nilai-nilainya sebagai solusi alternatif dalam menjawab kebobrokan sistem dan manajemen pendidikan nasional memang cukup lama menjadi wacana dan perdebatan, mulai sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Termasuk juga perlunya pondok pesantren dimasukkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS). Tetapi sayang, perdebatan-perdebatan itu hanya bersifat semu dan just lips service belaka. Karena akhirnya yang terjadi, pesantren tetap saja tidak mendapatkan keadilan dan posisi yang sewajarnya. Padahal kalau difikir secara jernih, justru dari pesantren-lah banyak lahir intelektual-intelektual dan tokoh-tokoh nasional yang sangat besar konstribusinya terhadap perkembangan dan kemajuan peradaban bangsa ini. Bukankah bangsa Indonesia pernah memiliki seorang Presiden yang berlatar belakang pendidikan pesantren?

Sistem pendidikan pesantren, diakui atau tidak, memang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan sistem pendidikan lainnya yang ada di Indonesia. Sebab di dalamnya terdapat prinsip-prinsip dan nilai-nilai filosofis-edukatif yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan lain. Prinsip-prinsip kejuangan, pengabdian, pengorbanan,  jihad,  ijtihad, dan mujahadah yang dijiwai oleh nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, percaya diri dan kemandirian, persaudaraan, dan kebersamaan, serta kebebasan berfikir positif dan produktif menjadi landasan utama manajemen pendidikan dan pengembangan berbagai jenis pendidikan yang dikelola di dalamnya. Di samping itu, di dalam manajemen pendidikan pesantren terdapat prinsip-prinsip filosofis-edukatif lain yang telah lama mengakar seperti competence oriented (bukan sekedar content oriented), life skill, social skill dan bahkan memiliki metode pembelajaran yang pupil centered atau student centered (bukan teacher centered). (Muhammad Idris Jauahri, 2002: 25). Anehnya, prinsip dan nilai-nilai filosofis-edukatif ini sangat relevan dengan paradigma baru pendidikan nasional yang selama beberapa tahun ini marak diperbincangkan dalam konsep KBK, MBS, maupun KTSP yang berkembang belakangan ini. Telah banyak sebenarnya pondok pesantren yang telah mengembangkan sistem pendidikan alternatif dengan pengelolaan yang berbasis pada nilai-nilai pesantren yang ada di dalamnya. Seperti di antaranya Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang menyelenggarakan lembaga pendidikan TMI (Tarbiyatul Mu’allimien al-Islamiyah), Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dengan KMI (Kulliyatul Mu’allimien Al-Isalmiyah), termasuk juga SMP Alternatif Qoryah Thoyyibah, Salatiga Jawa Tengah. Penulis pikir ketiga lembaga itu merupakan salah satu model dari sekian bentuk model pendidikan alternatif yang sebenarnya telah lama berkembang. Ketiga lembaga itu menjadi unik oleh karena punya kebebasan tersendiri untuk mengembangkan sendiri lembaga pendidikannya, mulai dari sistem pendidikan, kurikulum, metode dan teknik pembelajarannya, serta sistem evaluasinya, tanpa terikat dengan aturan dan mekanisme birokratis sistem pendidikan nasional oleh Depdiknas maupun Depag.  

Ketiga lembaga ini berupaya membangun paradigma pendidikan dengan pola sistem pendidikan pesantren diintegrasikan secara total ke dalam sistem pendidikan sekolah. Sebaliknya, sistem sekolah diintegrasikan secara total ke dalam sistem pesantren. Kedua sistem tersebut disatukan, dipadukan, dan digabungkan secara harmonis dan komprehensif, sehingga menjadi satu sistem pendidikan dengan pengelolaan yang benar-benar unik dan menarik dengan tetap tidak lepas dari nilai-nilai filosofis-edukatif dan tradisi-tradisi kepesantrenan. Selama bertahun-tahun pesantren-pesantren tersebut tetap mempertahankan model pendidikan alternatif tersebut dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai kepesantrenan yang menjadi orientasi kependidikannya di tengah-tengah berbagai upaya sentralisasi dan uniformasi sistem pendidikan nasional serta stigmatisasi sistem pendidikan pesantren. Bahkan tetap saja dikembangkan dan dipertahankan meskipun seringkali mendapatkan tekanan dari pemerintah, dan di saat bergemuruhnya beberapa pesantren memasukkan dan mengembangkan sistem pendidikan dengan model sekolah seperti Mts/SMP dan MA/SMA.

Oleh karenanya, sangat menarik jika manajemen pendidikan dengan berbasis pada nilai-nilai pesantren dijadikan basis alternatif pengelolaan suatu pendidikan dan dihadirkan ke tengah-tengah kita. Bahkan kalau perlu dikembangkan dan dijadikan solusi alternatif perbaikan manajemen pendidikan di saat sistem pendidikan nasional masih mencari jati diri dan solusi di tengah-tengah keterpurukannya.

 

Nilai-Nilai Pesantren Sebagai Basis

Manajemen Pendidikan Alternatif Secara konseptual, sampai detik ini memang belum ada teori komprehensif mengenai bagaimana mengelola sistem pendidikan alternatif dengan berlandaskan pada nilai-nilai pesantren sebagaimana telah disebutkan di atas. Tetapi gagasan-gagasan yang berupa ‘serpihan’ ide-ide tentang kemungkinan nilai-nilai pesantren dijadikan dasar pijakan pengelolaan satuan sistem pendidikan telah banyak dikemukakan oleh beberapa pakar sebagai lontaran wacana yang tentunya perlu diperdebatkan dan diteliti relevansinya.

Wacana menjadikan nilai-nilai pesantren sebagai teologi dan basis manajemen pendidikan alternatif tentu saja berangkat dari adanya ‘kebuntuan’ sistem pendidikan nasional untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas akibat dari terjadinya krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia. Lebih-lebih krisis moral dan identitas yang terus mewarnai perilaku elit bangsa pada khususnya dan keseluruhan lapisan masyarakat pada umumnya. Di sisi lain, derasnya dinamika zaman akibat permainan politik global dan arus informasi dan industrialisasi dengan segala implikasinya, tentu semakin mengancam identitas kemanusiaan yang pada gilirannya akan terus melahirkan manusia yang ‘bejat’ dan kehilangan kendali. Maka, dunia pendidikan menjadi harapan bersama untuk membendung semua itu agar melahirkan manusia yang betul-betul ber-nurani manusia, bukan manusia yang ber-nurani tikus yang rakus, dan lain semacamnya.

Pesantren, dengan karateristik nilai-nilai dan tradisi yang dimilikinya mempunyai potensi besar untuk dijadikan “pelarian” dalam rangka menyikapi globalisasi dan persoalan-persoalan lain yang menghadang pesantren, secara khusus, dan dunia pendidikan secara umum. Setidaknya, menurut Abd A’la (2006: 9) nilai-nilai pesantren berupa kemandirian, keikhlasan, dan kesederhanaan merupakan nilai-nilai yang dapat melepaskan masyarakat dari dampak negatif globalisasi dalam bentuk kebergantungan dan pola hidup konsumerisme yang lambat tapi pasti akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia, terutama anak didik di sekolah.

Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa nilai-nilai pesantren seperti keikhlasan, kesederhanaan, keteladanan, dan kemandirian adalah asset (kekayaan) moral yang dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan pendidikan untuk menghentikan proses penghancuran manusia yang pada intinya berawal dari kemandulan sistem dan pengelolaan pendidikan dewasa ini yang tidak memiliki landasan moral-institusional yang jelas.

Tentu saja nilai-nilai pesantren tersebut perlu dikontekstualisasikan dan dicarikan rumusan dalam suatu pola manajemen pendidikan yang sistematis dan komprehensif dalam konteks perkembangan pendidikan dewasa ini. Bahkan secara tegas Lily Zakiyah Munir (2005) selaku Direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), menyatakan bahwa pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan dan transformasi sosial yang dikenal sangat kokoh menjaga nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Selain nilai-nilai di atas, eksistensi pendidikan pesantren menjadi kokoh karena dijiwai oleh apa yang dikenal dengan “panca-jiwa” pesantren. Imam Tholkhah & Ahmad Barizi (2004: 55) merinci panca-jiwa pesantren tersebut yaitu; jiwa keikhlasan, jiwa sederhana, jiwa kemandirian, jiwa kebebasan, dan jiwa ukhuwah Islamiyah (sikap penuh keakraban, dialogis, penuh kompromi, dan toleransi).

Nilai-nilai itulah yang seringkali mengemuka ketika membicarakan pendidikan alternatif, yaitu bagaimana anak didik diberi kebebasan untuk mengembangkan minat dan bakatnya melalui kebebasan berfikir, belajar, berkreasi, dan berbuat. Tetapi, tetap mengembangkan jiwa kemandirian, kesederhanaan, dan menghargai perbedaan dan keragaman dalam kelompok belajar ataupun dalam sistem pendidikan.

Persoalannya kemudian, pola manajemen pendidikan seperti apakah yang bisa dijadikan pendekatan untuk mengkontekstualisasikan nilai-nilai pesantren tersebut dalam suatu bentuk pendidikan alternatif? Di sinilah Muhammad Idris Jauhari (2002, 29-30) memberikan tawaran tahapan-tahapan sistematis yang dapat dipilih sebagai pola manajemen pendidikan alternatif. Pertama, pola penggantian total (revolutionary design), yaitu dengan mengganti sama sekali sistem pendidikan sekolah yang selama ini menjadi satu-satunya sistem formal pendidikan nasional dengan sistem pendidikan berbasis pesantren, seperti yang pernah diusulkan oleh Ki Hajar Dewantoro di atas. Tentu saja perlu kodifikasi, penyempurnaan, dan penyesuaian. Tetapi penulis yakin pola ini sangat sulit dan tidak mungkin bisa diterapkan dalam dunia pendidikan kita, mengingat beragamnya budaya dan begitu besarnya pluralitas bangsa Indonesia. Sehingga untuk merubah dan menyeragamkan sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan alternatif berbentuk pesantren sangatlah naïf dan tentu saja sangat bertentangan dengan kemajemukan bangsa Indonesia.  

Kedua, pola integrasi (integrative design) yaitu dengan upaya sistem pendidikan pesantren diintegrasikan secara total ke dalam sistem pendidikan sekolah, atau sebaliknya sistem sekolah diintegrasikan secara total ke dalam sistem pendidikan pesantren. Artinya dari kedua sistem tersebut disatukan dan dipadukan secara harmonis dan komprehensif sehingga menjadi satu sistem pendidikan yang benar-benar baru dan unik, tetapi tentu dengan nilai-nilai pesantren sebagai basis ideologi pendidikannya. Pola ini cukup menarik, dan barangkali dengan pola ini pendidikan alternatif dapat menemukan ruang gerak yang cukup signifikan.

Ketiga, pola konvergensi (convergentive design), yaitu dengan cara sistem pendidikan pesantren dikonvergensikan dengan sistem pendidikan sekolah, atau sebaliknya sistem pendidikan sekolah dikonvergensikan dengan sistem pendidikan pesantren. Artinya kedua sistem ini diarahkan ke satu titik pertemuan dan kemudian dilaksanakan bersama-sama, tanpa menghilangkan unsur dan cirinya masing-masing. Nampaknya pola konvergensi inilah yang telah banyak dilakukan pesantren dan sekolah pada dekade terakhir ini. Antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan MI, Mts, MA atau bahkan SD, SLTP, SMU/ SMK, dan PT, di mana kurikulum dan sistem pendidikannya mengacu pada sistem sekolah/madrasah yang ditetapkan oleh pemerintah (Depdiknas dan Depag), kemudian dikonvergensikan dengan nilai-nilai dan tradisi pesantren. Bahkan akhir-akhir ini banyak pula sekolah -bahkan Universitas- yang melaksanakan pola konvergensi ini dengan cara membuka “sekolah dengan sistem asrama” atau boarding school. Sebuah sistem pendidikan yang terinspirasi dari sistem pendidikan pesantren, meskipun nilai-nilai pesantren di dalamnya sama sekali kurang tampak mendapatkan perhatian.

Dengan demikian, mengupayakan pola dan sistem pendidikan alternatif dengan manajemen alternatif berbasis pada nilai-nilai pesantren pada prinsipnya merupakan sebuah usaha dan upaya yang tidak mudah, apalagi harus mencari formulasi yang dapat memuaskan segala pihak yang berkepentingan dengan dunia pendidikan. Tetapi ini harus tetap diupayakan demi terwujudnya suatu sistem pendidikan yang dapat memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan bangsa Indonesia untuk menjadi masyarakat terdidik, dan demi lahirnya suatu sistem pendidikan yang mampu melahirkan manusia-manusia yang berdaya dan berkualitas. Bukankah kita sudah muak dengan terpuruknya pendidikan bangsa Indonesia?.            

 

Daftar Pustaka  

Abd A’la. (2006) Pembaruan Pesantren. Cet. I. Yogyakarta: LKiS- Pustaka Pesantren. 

Bush, Tony & Coleman, Marianne (2000). Leadership and strategic management in education. (1 st. ed.). London: Paul Chapman Publisihing Ltd.  

Harian Kompas, edisi 4/4/2006, Pendidikan Alternatif Diakui Dalam Sisdiknas. ( http://www.kompas.com/kompas-cetak/html ).  

Harian Pikiran Rakyat, edisi Kamis 19 Mei 2005, Program Pendidikan Alternatif Bagi Anak Miskin ( http://www.pikiran-rakyat.co.id ).  

Harian, Suara Karya, edisi Selasa, 30 Agustus 2005, Home Schooling Tren Model Pendidikan Alternatif ( http://www.suarakarya.com ).   http://www.parasindonesia.com,Pendidikan Alternatif Untuk Si Miskin Dan Bangsa  (31 Januari 2007).  

Husaini Usman. (2006). Manajemen: teori, praktik, dan riset pendidikan. cet. I. Jakarta : PT Bumi Aksara,  

­­­­­­_____________.(2004). Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),  

Imam Tholkhah & Ahmad Barizi. (2004). Membuka jendela pendidikan, mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam. cet. I. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.  

Lily Zakiyah Munir. (12 Desember 2005). Pesantren harus pertahankan jati dirinya, (http://islamlib.com/id/index.php=article&id).  

Muhammad Idris Jauhari. (2002). Sistem pendidikan pesantren: Mungkinkah menjadi sistem pendidikan nasional alternatif?. cet. I. Al-Amien Prenduan: Penerbit Mutiara.  

Mulyasa, E,. (2002). Manajemen berbasis sekolah: konsep, strategi, dan implementasi. cet. IV. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.  

 

Nurcholis Madjid. (1997). Bilik-bilik pesantren: sebuah potret perjalanan. Jakarta: Paramadina.   Tilaar, H.A.R,. (2004). Manajemen pendidikan nasional, kajian pendidikan masa depan. Cet. VII. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Back To Daftar Isi

KASIH SAYANG TERHADAP ANAK DIDIK

MODAL UTAMA DALAM MENINGKATKAN MUTU PEMBELAJARAN DI TAMAN KANAK – KANAK

 Oleh: Hj. SUHARTATIK, S.Pd.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diamanatkan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Potensi yang dikembangkan tersebut mencakup aspek jasmani, ruhani dan budi nurani peserta didik. Dengan tugasnya yang demikian itu, di mata masyarakat memikul tugas terhormat dalam mengantarkan peserta didik menuju dewasa. Harapan yang tidak pernah sirna dan selalu menjadi tuntutan guru adalah tugas dan tanggung jawab guru sebagai petugas profesi bidang pendidikan untuk dapat memberdayakan anak didik sebagai individu unik dan memiliki karakteristik tersendiri sampai mampu menjadikan anak didiknya mencapai dewasa sesuai dengan tujuan pendidikan pada satuan pendidikan TK.

Guru adalah unsur terpenting dalam pendidikan dan sebuah figur manusia sumber yang menempati posisi vital dan memegang peranan menentukan dalam pendidikan. Di sekolah guru hadir untuk mengabdikan diri kepada anak didik; dan kehadirin garu di kelas merupakan kebahagiaan bagi anak didik. Apalagi bila figur guru itu selalu menebar senyum untuk menciptakan anak didik TK merasa senang dan gembira.

Guru dan anak didik adalah dua sosok manusia yang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Pada hakikatnya guru dan anak didik itu bersatu bagaikan mata uang, mereka satu jiwa terpisah dalam raga. Menjadi Guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah mudah tetapi menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa atau tuntutan hati nurani adalah tidak gampang karena kepadanya lebih banyak dituntut suatu pengabdian kepada anak didik.

Guru yang mendasarkan pengabdiannya karena panggilan jiwa, merasa jiwanya lebih dekat dengan anak didiknya. Figur yang memiliki kasih sayang yang tulus dan ihlas dengan segala kemulyaannya; rela menyisihkan waktu demi kepentingan anak didik untuk menasihati, membantu dalam segala hal yang bisa meningkatkan aktifitas belajar, merasakan bersama-sama pada waktu senggang, berbicara bersenda gurau dengan anak didik. Dengan keadaan guru yang semacam itu, akan terlahir atau tercipta guru kasih sayang. Ironisnya, dalam era yang semakin maju banyak guru yang tidak memiliki kasih sayang pada anak didik. Dengan semakin langkanya kasih sayang guru kepada anak didik merupakan tanda bahaya. Berdasarkan kondisi seperti ini, semua pihak dituntut untuk melakukan instropeksi.

SOSOK DAN PENTINGNYA GURU KASIH SAYANG

Guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. Orang tua dan anak adalah sosok insan yang diikat oleh tali jiwa . Belaian kasih dan sayang adalah naluri jiwa orang tua yang sangat diharapkan oleh anak; sama halnya dengan belaian kasih dan sayang seorang guru kepada anak didik. Ketika guru hadir bersama-sama anak didik di sekolah di dalam jiwanya sudah tertanam niat untuk mendidik agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan, mempunyai sikap dan watak yang baik, cakap, terampil, bersusila dan berakhlak mulia.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, kasih sayang adalah gabungan dua kata yang memiliki arti yang sama, yaitu merupakan perasaan cinta, suka kepada sesuatu hal. Dengan demikian, kasih sayang terhadap anak didik adalah perasaaan cinta, suka , peduli, perhatian, menyayangi, kelembutan yang tulus dan ikhlas dari seorang guru kepada anak didik.

Sosok guru TK yang memiliki kasih sayang, selalu menghadapi anak didik dengan segenap kasih sayang yang tulus dan ikhlas. Di dalam hati seorang guru yang memiliki kasih sayang, tumbuh rasa senang, cinta, kasihan dan tanggung jawab serta tahu tentang tugas tugasnya sebagai guru.

Guru yang memiliki kasih sayang mampu mengembangkan dan mengarahkan potensi, bakat dan minat anak agar mencapai kematangan yang optimal. Guru dapat mengarahkan dan menuntun anak dalam belajar; menanamkan nilai-nilai kehidupan yang berhubungan dengan masa depan anak; serta dapat pula mengalihkan pengetahuan kepada anak agar memiliki penguasaan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan. Dengan memberikan keterampilan-keterampilan kepada anak didik yang dibutuhkan berarti guru telah melakukan tanggung jawabya dengan baik (Sardiman, 1996).

Guru yang memiliki kasih sayang dalam membimbing, mendidik, mengajar dan melatih di sekolah menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Menarik simpati sehingga menjadi idola para anak didiknya. Pelajaran yang diberikan dapat menjadi motivasi bagi anak didiknya dalam belajar. Bila seorang guru tidak memiliki kasih sayang dalam bertugas, maka kegagalan pertama adalah sulitnya mencapai sukses dalam melakukan pembelajaran kepada para anak didiknya. Pelajarannya tidak dapat diserap optimal (Usman, 1996).

Guru yang memiliki kasih sayang dalam melakukan interaksi pembelajaran dengan anak didik dapat mengendalikan kemandirian, memupuk kemampuan anak didik dan dapat membentuk akhlaq anak. Ditambahkan oleh Joni (1991) , bahwa terdapat pengaruh positif antara guru yang memiliki kasih sayang terhadap mutu pendidikan murid-muridnya. Proses pembimbingan, pengajaran, pendidikan dan pelatihan oleh guru yang memiliki kasih sayang sangat efektif dalam membentuk kepribadian anak.

Guru kasih sayang adalah bapak spiritual atau pemberi semangat bagi anak; dialah yang memberikan santapan kejiwaan dengan ilmu, membimbing dan meluruskan akhlaq kepada anak, sehingga menghormati dan memberi nilai lebih pada guru, sebab dengan gurulah anak didik hidup wajar dan dengan guru pulalah anak-anak bisa bangkit dengan catatan apabila guru tersebut betul-betul melaksanakan tugasnya secara baik.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Semiawan (1987), bahwa guru yang memiliki kasih sayang memberi makna paling menetukan dalam mengantarkan anak didik mencapai prestasi optimal. Ada kaitan positif antara guru yang memiliki kasih sayang terhadap prestasi belajar yang dicapai anak.

Dengan sentuhan guru yang kasih sayang tersebut, kebutuhan anak didik dapat terpenuhi. Kasih sayang adalah kebutuhan utama bagi perkembangan anak. Akibat kurangnya kasih sayang dari guru khususnya, anak akan menentang, keluar dari aturan-aturan sebagai refleksi untuk mendapatkan perhatian dari seorang guru. Karena itu, guru TK yang memiliki kasih sayang mutlak keberadaannya.

Melalui sentuhan guru yang memiliki kasih sayang, tujuan pendidikan TK akan dapat terwujud dengan baik yakni untuk membantu anak didik mengambangkan berbagai potensi baik fisik maupun psikis meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa menuju kemandrian dan siap memasuki pendidikan sekolah dasar (Kurikulum 2004 Standar Kompetensi TK/RA).

 

GURU KASIH SAYANG : PERAN, MEMILIKI KETERAMPILAN DAN BERTANGGUNG JAWAB

Peranan Guru TK

Guru TK memiliki peran penting; dan keberadaannya amat menentukan dalam mengembangkan seluruh potensi, kreativitas, imajinasi, pengetahuan yang dimiliki oleh anak didik. Melalui peran yang dimainkan oleh guru TK yang memiliki kasih sayang, maka potensi jasmani dan ruhani anak didik dapat berkembang secara maksimal.

Guru TK berperan sebagai pendidik. Guru sebagai pendidik adalah menjadi tokoh, idola dan panutan bagi anak didik; serta sebagai pendidik harus memiliki kepribadian matang. Kepribadian matang guru merupakan unsur yang menentukan keakraban hubungan guru dengan anak didik. Kepribadian guru akan tercermin dalam setiap perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Menurut Meikel John (1971), “tidak seorangpun yang dapat menjadi guru yang sejati (mulia) keculai bila dia menjadikan dirinya sebagai bagian dari anak didik yang berusaha untuk memahami semua anak didik”.

Dalam pembimbingan, proses pembelajaran dilakukan baik dalam kelas maupun luar kelas. Peranan guru sebagai pembimbing adalah untuk mengarahkan anak didik menjadi manusia dewasa susila dan cakap. Dengan kedewasaan anak, ketergantungan anak didik semakin berkurang dan menjadikan anak mandiri dalam mengatasi persoalan yang dihadapi.

Guru yang penuh kasih sayang selalu membimbing dengan tulus ikhlas. Ketika ada anak yang bertanya “Bu guru bagaimana caranya “ aku tidak tahu ? guru kasih sayang tidak langsung membentak, akan tetapi penuh perhatian, serta didekati anak tersebut dengan dedikasi, serta diberitahukan cara mengerjakan dan memberikan reinsforcemen kepada anak sampai akhirnya anak dapat bekerja.

Dalam membimbing guru kasih sayang tidak pernah mengenal putus asa / letih berbuat; dan dengan segenap kasih sayangnya ia selalu mencoba dan mencoba lagi sampai sukses mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh anak didik, dan tidak pernah terlintas kata-kata yang menyakitkan pada anak.

Guru TK berperan sebagai informator dan Fasilitator. Peran guru yang memiliki kasih sayang berperan sebagai informator. Dengan peranannya sebagai informator, guru mentransformasikan materi pelajaran. Dengan mentransformasikan materi pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak, dimungkinkan anak didik bertambah pengetahuannya dan bertambah dalam wawasannya..

Sebagai fasilitator, guru TK dituntut menyediakan fasilitas yang memungkinkan kemudahan kegiatan belajar; memberikan perhatian mendalam terhadap anak, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, mengatur ruangan belajar dengan bagus, menyediakan alat peraga yang dibutuhkan, berdedikasi, memiliki kreativitas untuk menciptakan alat peraga dari bahan yang ada di lingkungan anak atau memanfaatkan bahan bekas.

Dengan fasilitasi dari guru yang cukup saat pembelajaran dilangsungkan, anak didik dapat belajar dengan penuh makna; anak memiliki pengetahuan yang konkret, sehingga mudah dipahami sesuai dengan anak usia TK. Guru TK yang memiliki kasih sayang menyediakan pula kegiatan-kegiatan yang menantang agar anak dapat berpikir kritis. Hal ini merangsang kognitif, psikomotor, imajinasif rasa ingin tahu anak kepada sesuatu hal.

Guru TK berperan pula sebagai motivator. Sebagai motivator, guru TK yang memiliki kasih sayang dapat mendorong anak didik untuk bergairah dalam berkreasi, aktif belajar, mendorong anak bereksplorasi, berimajinasi, dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Motivasi ini dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan anak didik dan dilakukan penuh kasih sayang.

Guru dalam memotivasi anak didiknya disertai kepedulian. Ketika anak mengungkapkan ketidakmengertiannya, guru kasih sayang tanggap dan tangkas dan menjauhi sikap dan tindakan yang dapat mematikan kreativitas anak.Tekanan-tekanan, bentakan, kata-kata kasar yang terlontar dari seorang guru membuat anak kerdil, dan menggangu psikologis anak didik sangat dijauhi oleh guru yang penuh kasih sayang.

 

Keterampilan Mengajar Guru TK

Kasih sayang pendidik sangat diperlukan dalam upaya mengambangkan potensi di masa kanak-kanak awal. Upaya pengembangan tersebut harus dilakukan melalui kegiatan bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Dengan bermain anak memiliki kesempatan untuk berekplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, belajar secara menyenangkan. Selain itu, dengan bermain membantu anak mengenal dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya. Keadaan ini menuntut keterampilan tinggi bagi seorang guru yang memiliki kasih sayang.

Guru yang menyayangi anak didiknya memiliki berbagai macam keterampilan. Keterampilan merancang pembelajaran, melakukan proses pembelajaran sampai pada mengevaluasi pembelajaran. Keterampilan yang dimiliki tersebut terus diasah dan dikembangkan sesuai dengan kemajuan, dan tidak kenal henti belajar untuk terus menerampilkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Setiap akan melakukan pembelajaran, guru yang memiliki kasih sayang, senantiasa mempersiapkan diri dan merancang pembelajaran dengan tepat. Diawali dengan memahami standar kompetensi, kompetensi dasar, diteruskan kemampuannnya dalam merumuskan indikator, menyusun pengalaman belajar, mengorganisasikan materi, menyediakan bahan, menetapkan multimetode, menyediakan media dan alat peraga sampai pada penyediaan alat penilaian.

Dalam melakukan proses pembelajaran, guru yang kasih sayang pada anak didik benar-benar memilkiki keterampilan maksimal sesuai dengan standar proses penyelenggaraan pembelajaran, mulai membuka pelajaran sampai dengan menutup pelajaran. Pada proses pembelajaran yang justru mendapatkan perhatian utama guru yang penuh kasih sayang pada anak didiknya.

Penanganan dan perlakuaan pada anak didik berposes secara sehat dalam suasana saling menerima, menghargai, akrab, menyenangkan, terbuka, dan hangat. Melalui interaksi pembelajaran, anak didik terinspirasi, termotivasi, tertantang, terberdayakan, dan tersedia ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai bakat, minat dan karakteristik anak didik, melalui interaksi yang bermakna, dan pembaharuan secara terus menerus serta peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan atau percepatan sesuai kondisi anak didik. Ketika menutup pelajaran disuasanakan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari oleh anak dari awal sampai akhir serta tidak lupa memberikan evaluasi pembelajaran secara benar agar diketahui tingkat keberhasilan peserta didiknya ( Depdiknas, 2004) .

 

Tanggung Jawab Guru TK

Guru yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik membentuk pribadi susila yang cakap adalah yang diharapkan pada diri setiap anak didik. Karena besarnya perhatian dan tanggung jawab yang diembannya, guru yang penuh kasih sayang tidak pernah memusuhi anak didik yang berbuat kurang sopan. Anak didik yang tidak segera mengerti, namun berkat rasa kasih sayanglah, menjadikan guru tetap penuh kesabaran, bijaksana, lembut memberikan nasihat, bimbingan cara bertingkah laku yang sopan dan atau cara mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dilakukan anak didik.

Guru seperti itulah yang diharapkan untuk mengabdikan diri di lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak. Karena anak TK adalah manusia yang memiliki karakteristik dan potensi yang perlu dipengaruhi dengan sejumlah norma kehidupan, maka tanggung jawab dari guru yang memiliki kasih sayang adalah menanamkan nilai sampai menjadi milik anak didiknya.

Guru yang memiliki kasih sayang dituntut memiliki kesabaran, kebijakan, kepedulian dan perhatian terhadap anak didiknya. Dalam benaknya selalu terbersit sebuah pertanyaan mengapa serta bagaimana; serta dalam implementasinya mempunyai bentuk kepedulian tinggi disertai pengorbanan yang besar sesuai dengan kedudukan guru.

Dalam kasih sayang, masing-masing pihak, guru dan anak didik dituntut adanya tanggung jawab, pengorbanan, kejujuran, saling percaya saling pengertian, dan saling terbuka sehingga keduanya seakan-akan merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Salah satu unsur tersebut di tas hilang, boleh jadi akan retaklah keutuhan hubungan keduanya dan hal ini tidak boleh terjadi dalam pendidikan di TK.

 

Daftar Literatur :

Kurikulum. 2004. Standar Kompetensi TK dan RA Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Tahun 2004.

Majalah PADMA Media Komunikasi dan Pendidikan Guru TK No. 03 Tahun I – 1994.

Majalah Psykologi ANDA No. 93 – 1984.

Moeslichatoen R. Tahun 1999. Metode Pengajaran di Taman Kanak-Kanak. Penerbit Renika Cipta Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Mulyasa. 2005. Menjadi guru profesional menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2002. Strategis Belajar Mengajar. Renika Cipta

 

Biodata

Hj. SUHARTATIK, S.Pd. lahir di Sumenep 4 Oktober 1967 Jabatan Kepala TK PGRI Kalianget. Prestasi yang pernah diraih Guru TK Teladan Juara I TK Kabupaten Sumenep tahun 1999; Guru TK Teladan juara II TK II Provinsi Jawa Timur tahun 1999. Aktif diorganisasi profesi sebagai Ketua Gugus I TK Kecamatan Kalianget, Pengurus IGTKI Kabupaten Sumenep periode tahun 2005 – 2009; Pengurus PPLP PGRI Kabupaten Sumenep tahun 2006 – sekarang; Sekbid Pendidikan Prasekolah PGRI Kabupaten Sumenep 2000-2005; dan Sekbid Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan PGRI Kabupaten Sumenep 2005-2010 serta Dosen STKIP PGRI Sumenep tahun 2003 – sekarang

 

 

 

 Back To Daftar Isi

MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN INFORMAL

MELALUI SEMI HOME SCHOOLING

Oleh. Basri, S.Pd

(Penulis lahir di Sumenep, 02 Oktober 1978, tepatnya di desa Cangkreng Lenteng. Selain mengajar di SMP Negeri 1 Giligenting dan MA Miftahul Ulum Lenteng, ia juga aktif mengikuti kegiatan, antara lain : Penataran PTBK kabupaten Sumenep 2006, dan Work Shop SMPT di Surabaya 2007)

 

 

 

MENCARI ALTERNATIF SISTEM BELAJAR

 

If You Want To Be Rich and Happy,

Don`t Go to School? “

(Robert T. Kiyosaki)

Ketika pertama kali saya membaca kata-kata yang dituliskan oleh Robert T. Kiyosaki “If You Want to Be Rich and Happy, Don`t Go to School?” dalam bukunya Rich Dad Poor Dad, hati saya panas dan pikiran saya berkecamuk. Alasannya sederhana saja, karena saya adalah seorang guru dan otomatis saya bekerja pada sebuah instansi yang bernama “sekolah”. Saya benar-benar penasaran dan ingin tahu lebih jauh pemikiran apa yang sebenarnya ditawarkan ke publik oleh seorang Robert Kiyosaki. Buku itupun akhirnya saya baca dari awal sampai akhir tanpa “loncat-loncat” (sebab biasanya saya baca buku suka loncat-loncat). Dan sayapun akhirnyamengakui akan kualitas pemikirannya, kritik-kritik yang tajam terhadap sistem sekolahan yang dia lontarkan sungguh sangat menarik untuk disimak dan dipikirkan oleh kaum pendidik/guru.

Di dalam UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, non formal dan informal yang saling melengkapi dan memperkaya. Selanjutnya di dalam pasal 26 ayat 3 ditegaskan bahwa pendidikan non formal salah satunya adalah pendidikan kecakapan hidup (life skills).

Merujuk dari pasal tersebut diatas, sebenarnya belajar dapat dilakukan dimana saja, baik secara formal, non formal maupun informal. Belajar dapat dilakukan di sekolah (formal), di rumah (informal), maupun ditempat kursus, ditempat umum, dan ditengah-tengah masyarakat (non formal). Belajar itu tidak harus setiap pagi dengan segala tegang, stres, bawa tas berat dan semacamnya. Proses belajar dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, ini dapat dilakukan oleh setiap anak asalkan dalam suasana menyenangkan.

Dr. Seto Mulyadi dalam majalah Umi Edisi Khusus 1 Tahun 2004, mengatakan bahwa belajar adalah proses mengubah,menambah dan membentuk suatu perilaku. Perilaku yang dimaksud tentu saja terkait dengan semua aspek baik kognitif, afektif maupun psikomotorik. Selanjutnya dikatakan pula bahwa anak tidak mesti datang ke sekolah untuk belajar. Jika belajar dikaitkan dengan proses pendidikan maka pendidikan yang sebenarnya justru dalam keluarga, tidak dilembagakan . Maksudnya pendidikan itu harus idividual bukan klasikal atau massal, karena setiap anak memiliki keunikan dan kecepatan berbeda dalam belajar. Mendidik anak harus sampai bisa (efektif), sementara sistem pembelajaran di sekolah berkejaran dengan waktu dan target-target (efisien).

Menurut Drs. Fahmy Alaydroes, P.Si, M.M, M.Ed, Ketua Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia, menyatakan bahwa ada banyak persoalan yang harus dibenahi dalam sistem sekolah di Indonesia, mulai dari soal kurikulum yang over load, aturan yang ketat, guru yang kurang mampu menguasai materi, fasilitas yang kurang memadai, hingga metode dan model pembelajaran yang monoton dari tahun ketahun. Akibatnya anak tidak mencapai sasaran pendidikan, bahkan cenderung delay motivated, tidak termotivasi utuk menjadi pembelajar yang baik yang bergairah. Lebih keras lagi dikatakan oleh Drs. Fahmi Alaydroes, kalau model yang seperti itu terus begitu rupa tanpa adanya suatu perubahan, beliau memberikan istilah “ the school is death”, sekolah itu sudah mati, perlu ditinggalkan!.

Pendapat lain yang senada dikemukakan oleh Robert T. Kiyosaki dan Sharon Lechter, dalam bukunya “Rich Dad, Poor Dad” sebagai berikut :

“Saya suka Belajar, tapi saya benci sekolah”.

“Saya bukannya tidak menyukai sekolah, saya membencimya, memasuki ruang kelas seperti memasuki sebuah penjara. Saya benar-benar benci dipaksa duduk dan mendengarkan selama berbulan-bulan tentang topik yang sama sekali tidak saya minati. Saya duduk dengan gelisah, tidak bisa diam/konsentrasi, menimbulkan masalah dibelakang ruang kelas, kecuali saat keluar kelas, bukannya masuk”.

Dari beberapa pendapat di atas , maka perlu dicari alternatif baru yang mampu mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter anak, sesuai dengan kondisi atau kecenderugan-kecenderungan psikologi anak. Akhir-akhir ini muncul sekolah-sekolah alternatif yang mencoba menutupi kekurangan sistem yang ada. Antara lain muncul sistem sekolah terpadu, sekolah unggulan, sekolah kreatif, sekolah boarding atau sekolah alam. Dalam sistem ini, anak tetap berangkat ke sekolah, namun faktor-faktor yang membuat anak mengalami kendala mencapai tujuan belajarnya diminimalisir sedemikian rupa. Sistem-sistem sekolah tersebut pada akhirnya bermuara pada peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) sesuai dengan potensi dan bakat yang dimiliki oleh masing-masing anak.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada sistem dimana anak tidak perlu berangkat ke sekolah? Mungkinkah anak belajar di rumah? Dapatkah orang tua menjadi menjadi agen pembelajaran bagi anak-anak mereka di rumah?.

 

Semi Home Schooling : Sebuah Alternatif Model Pembelajaran Yang Inovatif

“ Rumah, pantai, hutan, tempat bermain,

Kebun binatang, museum dan daerah petualangan

Adalah sekolah-sekolah terbaik di dunia “

(Gordon Dryden dan Jeannete Vos)

 

Pergi ke sekolah pada hakekatnya adalah pergi untuk belajar/ menuntut ilmu pengetahuan. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sekarang sudah dapat diakses dimana-mana, di Kantor sampai kerumah-rumah, dari kota sampai kedesa-desa, maka pertanyaannya haruskah belajar mesti disekolah? Bisakah orang tua mengajari anak-anaknya sendiri di rumah?

Diluar negeri istilah “Home Schooling” bukanlah hal baru. Istilah ini merujuk pada aktivitas pembelajaran anak yang dilakukan dirumah oleh orang tua atau orang dewasa lain di rumah. Orang tua yang memberlakukan model ini tidak mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah, tetapi dengan disiplin mengelola proses belajar mengajar dirumah. Bukan sekedar belajar, tetapi belajar yang terstruktur, sistematis dan tetap mengacu pada kurikulum standart.

Bagaimana dengan di Indonesia? Untuk saat ini melaksanakan home schooling di Indonesia masih terbatas pada sebuah wacana. Tetapi tidak menutup kemungkinan tahun- tahun mendatang home schooling dapat dilaksanakan. Perangkat hukumnya sudah ada yakni UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Memang sudah ada beberapa orang tua yang sudah mampu melaksanakan “home schooling” maupun “semi home schooling” (istilah penulis). Di Indonesia orang yang pertama kali tidak mau menyekolahkan anaknya adalah Haji Agus Salim. Dan hasilnya anak-anak beliau pinter-pinter semua. Di Bandung juga pernah ada. Anaknya diajari diperpustakaan sendiri karena tidak percaya pada sekolah, tapi akhirnya berantakan.

Indra Djati Sidi mengatakan bahwa masyarakat kita belum siap. Kita level of disiplinnya itu belum jalan. Jangan sampai home schooling itu merupakan “escape” untuk berbuat seenaknya. Prof. Dr. Malik Fajar mengatakan bahwa dengan adanya model KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), sebenarnya home schooling bisa saja dilakukan, nanti tinggal teknik registrasinya saja dikelompokkan kepada terbuka atau individual.

Dari dua pendapat di atas, dapat kita ambil jalan tengahnya saja. Kalau untuk melaksanakan “full home schooling” mungkin masih terlalu dini dan berat bagi masyarakat kita, kapabilitas para orang tua dan perangkat yurisdiksinya belum mendukung sepenuhnya. Seperti perangkat legalitasnya, perangkat kurikulumnya, akreditasinya sampai pada mekanisme pelaksanaannya. Juga faktor dari masyarakat/para orang tua kita, mungkin hanya sebagian kecil saja yang dapat melaksanakannya karena terbentur dengan waktu, biaya, pengetahuan dan fasilitas penunjang lainnya di rumah.

Jalan tengahnya barangkali adalah dengan melaksanakan “semi home schooling”, artinya bahwa anak-anak tetap berangkat ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan formal (untuk memperoleh ijazah), tetapi disatu sisi para orang tua (di rumah) juga menyediakan fasilitas untuk anak-anak belajar dan mengembangkan diri guna memperoleh ketrampilan hidupnya (life skills). Jadi, para orang tua sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya harus siap memfasilitasi anak-anak mereka untuk dapat melakukan kegiatan belajar dilingkungan keluarga (dirumah).

Mengapa semi “home schooling” menjadi sebuah alternatif baru dalam membelajarkan anak-anak kita?. Pasal 27 UU Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Kegiatan Pendidikan Informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Pasal ini memberikan semangat bagi para orang tua bahwa apa yang dilakukannya di rumah dalam usaha membelajarkan anak-anak mereka secara hukum telah diakui. Apresiasi yang telah diberikan oleh pemerintah melalui UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 terhadap pendidikan informal, seharusnya dapat merubah paradigma bagi para orang tua bahwa sistem pembelajaran yang ada mulai banyak pergeseran, pembelajaran tidak hanya dapat terjadi di dalam sekolah saja, tetapi sudah meluas sampai kerumah-rumah dan hasilnya juga diakui. Hal tersebut dipertegas dalam pasal 27 ayat 2 yang berbunyi bahwa hasil pendidikan bikinan keluarga diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.

 

Faktor Pendukung dan Penghambat “Home Schooling”

Sebelum melaksanakan program “Semi Home Schooling”, sebaiknya para orang tua mengetahui beberapa faktor pendukung dan penghambat dalam melaksanakan program “Semi Home Schooling”. Faktor-faktor pendukung dan penghambat ini penulis kutip dari majalah Ummi Edisi Khusus I Tahun 2004 tentang “Home Schooling”.

1. Faktor Pendukung

2. Faktor Penghambat

  1. Biaya. Bila di sekolah diibaratkan pasar grosir dengan produk keluarannya yang bersifat masal, maka biaya yang dikeluarkanpun bisa ditekan lebih rendah. Dalam hal ini, kurikulum, alat bantu belajar, guru, tempat bermain, metode hingga ekstra kurikuler yang tersedia merupakan satu paket yang dapat dinikmati 20 hingga 40 anak secara bersamaan. Sementara home schooling yang bersifat eklusif sedikit banyak akan memancing munculnya biaya-biaya ekstra seperti dana untuk mencari rujukan, alat bantu belajar, buku dll. Padahal, bersamaan dengan itu home schooling yang ideal membutuhkan salah satu dari kedua orang tua untuk tinggal dirumah. Bila selama ini kedua orang tua untuk tinggal dirumah. Bila selama ini kedua orang tua adalah penopang perekonomian keluarga, tinggalnya salah satu dari pencari nafkah bisa berarti berkurangnya pemasukan keluarga.
  2. Pengawasan. Home schooling membutuhkan perencanaan dan pengawasan optimal. Disiplin dan konsistensi orang tua dalam mengajar juga akan mempengaruhi sukses tidaknya home schooling yang dijalani.
  3. Kapabilitas Orang Tua. Kapabilitas orang tua tidak hanya berkaitan dengan kemampuan mengajar anak tetapi juga kemauan orang tua untuk terus belajar dan mengembangkan diri.

Memutuskan untuk menerapkan home schooling berarti mengambil tanggung jawab untuk menyiapkan program belajar mandiri bagi anak. Ini berarti orang tua harus siap untuk mempelajari mata pelajaran anak-anak belajar cara mengajar, berkreasi meramu berbagai macam pelajaran dalam satu tema besar, berkreasi membuat metode belajar yang menyenangkan, belajar cara mendidik yang baik, belajar mendelegasikan tugas dan siap menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.

Kita sadar betul bahwa untuk melaksanakan full home schooling bagi para orang tua di Indonesia masih sangat berat. Tapi wacana home scooling diatas, dengan segala keuntungan dan kelemahannya, paling tidak akan memberikan semangat terhadap orang tua akan pentingnya sebuah program belajar yang dapat dilaksanakan dirumah. Wacana “Semi Home Schooling” sebagai pengganti “Full Home Schooling” yang tidak akan dapat kita adopsi 100% barangkali merupakan jalan tengah terbaik. Orang tua harus sadar bahwa mereka mempunyai tanggung jawab mengajarkan pada anak-anak mereka, apa yang tidak diajarkan oleh sekolah.

 

Delapan Langkah Menuju “Home Schooling”/ ”Semi Home Schooling”

 

“Sungguh bodoh mengasumsikan bahwa pendidikan

yang diberikan oleh sistem sekolah akan menyiapkan

anak-anak anda untuk suatu dunia yang akan mereka

hadapi setelah lulus nanti. Setiap anak membutuhkan

lebih banyak pendidikan. Pendidikan yang berbeda,

yang lain dari yang diberikan oleh sekolah-sekolah”

(Robert T. Kiyosaki)

Setelah mempertimbangkan faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan home schooling, maka perlu untuk mengetahui langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan apabila kita ingin melaksanakan semi home schooling. Ada 8 langkah yang dapat membantu para orang tua apabila akan melaksanakan home schooling/ semi home schooling, yaitu :

1. Pertegas alasan dan tujuan anda. Mula-mula pertegas alasan dan tujuan anda dalam memilih home schoolin/semi home schooling. Apakah karena anda merasa bahwa sistem pendidikan disekolah belum memuaskan? Apakah ingin membentengi anak dari pengaruh buruk lingkungan? Apakah ingin anak mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya secara utuh? Perlu diingat bahwa melaksanakan semi home schooling bukan berarti membiarkan anak anda untuk tidak berangkat ke sekolah, tetapi merupakan sebuah rencana belajar dirumah yang disusun orang tua untuk mendukung proses belajar anak di sekolah dan memperkaya ketrampilan anak yang tidak diperolehnya di sekolah. Jadi perlu rencana yang matang dan target-target yang terukur.

2. Persiapan diri Orang tua dan Anak. Keputusan untuk melakukan home schooling/semi home schooling hendaknya tetap melibatkan anak. Anak perlu dijelaskan mengapa harus mempelajari dan melakukan ini itu dirumah. Persiapan secara fisik, akal dan mental orang tua dan anak juga mesti dipertimbangkan. Pertanyaan-pertanyaan sederhana dapat dilakukan untuk memastikan kesiapan orang tua dan anak dalam melakukan semi home schooling. Siapkah orang tua untuk belajar lagi ? Siapkah anak untuk tampil “berbeda” dari anak lain ? Cukupkah sarana dan prasarana dalam membangun semi “sekolahan” dirumah ?.

3. Cari Rujukan. Setelah anda memastikan kesiapan untuk melakukan semi/full home schooling carilah rujukan-rujukan yang dapat membimbing anda dalam melakukan semi home schooling. Rujukan-rujukan yang mungkin anda dapatkan adalah mengenai home schooling. Buku-buku tentang home schooling cukup banyak tersedia, meski masih merupakan terbitan luar negeri. Sementara berbagai situs di internet menyediakan jutaan alat bantu belajar baik berupa lembar kerja, rencana studi maupun bahan-bahan pengajaran yang siap dipakai secara gratis. Anda dapat mencarinya dan memilih yang sesuai dan sejalan dengan kurikulum sekolah dimana anak anda sekolah.

4. Cari Dukungan. Secara resmi di Indonesia full home schooling belum menjadi pilihan belajar yang diakui secara legal. Para orang tua dapat melakukan semi home schooling seperti yang telah dipaparkan di atas. Untuk itu orang tua dapat menjadikan sekolah dan dinas pendidikan sebagai mitra kerja. Tujuan utamanya adalah untuk menyelaraskan bahan ajar yang akan kita pilih, selain orang tua juga mempunyai kurikulum/bahan ajar sendiri bagi anak-anak mereka. Bila memungkinkan carilah orang tua lain yang telah melakukan atau sama-sama melakukan full/semi home schooling, serta mereka-mereka yang punya kepedulian dan perhatian yang cukup memadai soal home schooling ini untuk memperoleh support tambahan.

5. Siapkan Kurikulum dan Metode Belajar. Melaksanakan semi home schooling tidak begitu rumit. Untuk kurikulum standart, para orang tua tinggal mengikuti saja kurikulum di sekolah. Tetapi orang tua dapat membuat kurikulum sendiri untuk memperkaya kurikulum sekolah. Begitu juga soal metode belajar, orang tua memiliki keleluasaan untuk mencari metode yang paling relevan sesuai dengan bahan ajar yang akan diberikan kepada anak-anaknya.

6. Manejemen Yang Tertata. Melaksanakan semi/full home schooling perlu perencanaan yang matang, pengawasan yang optimal dan evaluasi yang berkala. Turunkan rencana-rencana global anda dalam melakukan semi home schooling ke dalam rencana-rencana kecil yang lebih fokus, baik berupa rencana harian, mingguan atau bulanan. Apa target yang ingin dicapai dalam tahun ini? Apa rencana tahun depan? Sampai tingkat apa semi home schooling akan dijalani?.

7. Evaluasi Secara Berkala. Lakukan evaluasi program semi home schooling anda secara berkala. Selain evaluasi terhadap kemajuan belajar anak, evaluasi juga metode dan pencapaian target belajar. Anda bisa membuat revisi-revisi bila satu cara atau target tidak berjalan sesuai dengan rencana.

8. Kembangkan Jaringan. Jangan berhenti pada tahap menerapkan semi home schooling dirumah anda. Membangun dan mengembangkan jaringan akan sangat membantu kesuksesan program semi home schooling. Sehingga suatu saat nanti tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan full home schooling. Kontaklah selalu sekolah dimana anak anda belajar untuk mengetahui perkembangan sistem Kegiatan Belajar Mengajar disana. Sesekali waktu perlu ke Diknas setempat untuk memperoleh informasi tentang kurikulum terbaru. Serta bila memungkinkan bentuklah kelompok-kelompok orang tua siswa. Tak dapat dipungkiri, tak ada orang yang tahu segalanya. Karenanya dengan menjalin kemitraan anda juga dapat bahu membahu dalam memberikan pengajaran pada anak untuk bidang-bidang yang tidak anda kuasai. (Majalah Ummi, Edisi Khusus I, 2004)

Mengembangkan Nilai-nilai Lokal Melalui Semi “Home Schooling”

Harus diingat bahwa misi sekolah dasar dan menengah tingkat pertama adalah memberi anak suatu pendidikan sekolah yang sangat terbatas, terutama untuk mengembangkan ketrampilan membaca, menulis, menghitung dan sedikit mengetahui sejarah dan ilmu eksak. Mungkin untuk memberikan gambaran arti lingkup terbatas ini kita dapat mempelajari melalui pertanyaan berapa jam anak kita berada di sekolah?. Seperti kita ketahui bahwa wajib belajar (Pendidikan Dasar) saat ini berlangsung selama 9 tahun untuk anak usia 7-16 tahun. Tetapi waktu yang dihabiskan di sekolah terlalu pendek untuk saat ini. Dalam satu tahun rata-rata hari efektif sekolah kurang lebih 250 hari, yang berarti 115 hari adalah hari libur (diluar sekolah). Lama belajar di sekolah dalam satu harinya rata-rata 6 jam dari waktu 24 jam sehari atau ¼ hari yang berlangsung selama 6 hari. Pendek kata bahwa sebenarnya waktu anak di sekolah jauh lebih sedikit dibandingkan waktu anak diluar sekolah.

Dengan asumsi diatas saya ingin mengungkapkan adanya sentuhan manusiawi yang melatarbelakangi analisis tentang sekolah sebagai lembaga. Dalam waktu yang lama kewajiban untuk mendidik anak sangat terbatas, baik mengenai bahan pelajaran maupun waktu. Hampir semua kewajiban yang berkaitan dengan memasyarakatkan anak-anak kita berlangsung diluar sekolah. Kewajiban itu melibatkan mengajar anak untuk bertanggung jawab dan mencukupi kebutuhannya sendiri, dengan kata lain mendewasakannya. Dimasa lalu tugas seperti itu dilakukan oleh keluarga. Anak-anak belajar dan berperan sebagai orang dewasa dalam hubungan kekeluargaan di masyarakat, yang merupakan masyarakat kerja. Bagaimana dengan masa sekarang?.

Torsten Hussen dalam bukunya Masyarakat Belajar mengatakan bahwa siswa dimasyarakat perkotaan (dan sekarang sudah sampai ke desa-desa) dewasa ini dibentuk oleh keadaan yang “kaya akan informasi tetapi miskin karya”. Dulu anak-anak diserap kedalam dunia dewasa, mulai berdiskusi setelah sekolah beberapa tahun, dan mereka nulai dini juga mulai bekerja bersama-sama orang dewasa didalam keluarga. Sekarang ini mereka terasingkan diluarnya disegala bidang. Justru karena dunia orang dewasa terpisah dari dunia anak-anak (remaja) akibat peraturan sekolah sendiri. Anak-anak seringkali tidak tahu apa yang dilakukan orang tua mereka , mereka mempunyai pengalaman yang sangat sedikit tentang apa yang terjadi di dunia dewasa. Dan menurut saya begitu pula sebaliknya, orang dewasa (orang tua) hanya tahu sedikit tentang apa yang terjadi di dunia anak-anak (remaja).

Sekarang marilah kita berbagi pengalaman. Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Orang tua saya saat itu telah memberikan tanggung jawab kepada masing-masing anaknya. Ada yang bertugas menyapu halaman, mengepel, mengisi bak mandi, membantu ibu di dapur, menyalakan lampu (dulu masih lampu minyak), memberi makan hewan piaraan, sampai tugas-tuigas orang dewasapun terkadang diwakilkan kepada anak-anaknya. Kegiatan itu berlangsung sampai memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Semakin hari beban tugas yang diberikan oleh orang tua semakin bertambah baik kuantitasnya maupun kualitasnya. Ketika saya diserahi untuk mengurus kebun jeruk milik keluarga, ketika itulah saya benar-benar belajar, mulai dari belajar bagaimana teknik okulasi, pembibitan, penanaman, pemupukan hingga menangani penyakit-penyakit tanaman. Saya jadi mengerti macam dan kegunaan pupuk untuk tanaman, mengerti fungsi dari berbagai jenis pestisida. Pokoknya saya jadi mengerti dari A sampai Z tentang seluk beluk bertanam buah jeruk. Dan yang penting lagi, bahwa semua itu saya dapatkan dirumah/dalam keluarga, bukan di sekolah.

Banyak anak-anak kita yang menyerap langsung ilmu pengetahuan dari para orang tuanya. Jika orang tuanya seorang pedagang, maka kepada anak-anaknya diajarkan teknik-teknik berdagang yang baik dan benar, jika orang tuanya seorang mortir, maka kepada anaknyapun diajarkan teknik otomatif. Kebiasaan menurunkan ilmu kepada seorang anak sudah terjadi sejak dahulu kala. Pada masa-masa seperti itulah kita “ bekerja untuk belajar, bukan bekerja untuk uang”. Dan sekarang?, semi home schooling merupakan sebuah ide untuk membelajarkan setiap anak akan pentingnya memiliki kecakapan hidup (life skills). Mengenai Pendidikan kecakapan hidup yang menurut PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 16 ayat 2 menyebutkan bahwa Pendidikan Kecakapan Hidup mencakup kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Orang tua dapat berperan didalamnya, mendukung dan membelajarkan anak-anak mereka untuk dapat mengoptimalkan dirinya dalam rangka mendapatkan ketrampilan kecakapan hidup (life skills). Di dalam konteks kecakapan personal untuk dapat berusaha mandiri, maka relevansi “semi home schooling” yang diterapkan oleh para orang tua akan sejalan dengan misi Pendidikan Nasional dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan tantangan global.

Ketika “semi home schooling” dijalankan oleh para orang tua, ketika itu pulalah para orang tua dapat memasukkan ajaran-ajaran nilai lokal dalam program pembelajarannya. Nilai-nilai lokal yang dapat dikembangkan dilingkungan keluarga dan masyarakat menyangkut kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya. Program belajar yang disusun oleh orang tua tidak perlu muluk-muluk dulu, yang penting berjalan dan anak merasa senang menjalaninya. Memberikan tekanan yang lebih besar dalam membelajarkan anak-anak terhadap nilai-nilai lokal merupakan sebuah prioritas sebagai benteng identitas diri.

 

Mendesain Lingkungan Keluarga Sebagai Tempat Belajar Yang Menyenangkan.

“ Rumahlah - bukan sekolah - yang menjadi

Lembaga Pendidikan terpenting.

Dan Orang Tualah - bukan guru - yang berperan

Sebagai pendidik pertama dan utama”.

(Gordon Dryden & Jeannette Vos )

Peran orang tua dalam mendidik anaknya tidak bisa dilepaskan walaupun si anak telah memasuki gerbang sekolah . “ Berangkatnya anak kesekolah bukan berarti tugas mendidik anak pindah seluruhnya ke pundak para guru. Orang tua tetap pendidik utama bagi anak - anaknya “.

“ Rumahlah - bukan sekolah - yang menjadi lembaga pendidikan terpenting. Dan orang tualah - bukan guru yang berperan sebagai pendidik pertama dan utama”.

Pada prinsipnya orang tua dapat “menyekolahkan” anaknya dirumah. “Menyekolahkan” disini memiliki makna bahwa setiap keluarga/orang tua seharusnya dapat membelajarkan anak-anak mereka dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan (afektif, kognitif dan psikomotorik) yang lebih bermakna dan lebih mendalam di rumahnya. Anak-anak adalah guru terbaik bagi mereka sendiri, dan orang tuan adalah guru pertama terbaik mereka.

Model-model pembelajaran yang inovatif tidak mesti selalu made in sekolahan saja (para guru), tetapi model-model pembelajaran yang inovatif juga dapat diciptakan/didesain di dalam keluarga (oleh orang tua). Sebenarnya sudah banyak orang tua yang mampu mengajari anak-anak mereka “lebih baik” dari pada sistem belajar di sekolah, artinya bahwa sebenarnya para orang tua telah mampu mendesain sebuah model pembelajaran yang cocok untuk anak mereka walaupun terkadang tanpa disadarnya, karena secara psikologis orang tualah yang paling mengerti perkembangan anak- anaknya, sayangnya metode-metode dalam membelajarkan anak-anak mereka di rumah jarang sekali mereka tuliskan/arsipkan dengan baik, apalagi dipublikasikan.

Seperti yang kita ketahui dan rasakan saat ini, bahwa ketrampilan yang bisa diharapkan dari sistem sekolah kita hanyalah terbatas pada keterampilan ranah kognitif (intelektual) saja. Sementara untuk ketrampilan ranah afektif dan ranah psikomotorik masih kurang dikembangkan. Sehingga peran orang tua/keluarga dalam mengembangkan keterampilan afektif dan psikomotorik anak-anak mereka masih terbuka lebar. Kurang bijaksana rasanya apabila para orang tua hanya mengandalkan sistem sekolahan 100 % untuk mengembangkan ke tiga keterampilan diatas (afektif, kognitif dan psikomotorik) dan memang faktanya, bahwa sekolah-sekolah kita belum mampu secara maksimal untuk mengembangkan ketiga keterampilan tersebut. Simbiosis mutualisme diharapkan terjalin antara sistem pembelajaran di sekolah dan sistem pembelajaran di rumah, sehingga anak-anak kita dapat berkembang secara maksimal .

Merujuk pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang sekarang diterapkan disekolah-sekolah kita, yang salah satu substansinya adalah mengembangkan keterampilan hidup (life skills) bagi peserta didik. Walau kita belum tahu sampai sejauh mana keefektifan dan kehandalan Sistem KBK ini. Bukannya kita Apriori, tetapi KBK sendiri masih baru berjalan, butuh waktu dan kerja keras untuk bisa membuktikan efisiensi dan efektifitas dari Kurikulum kita yang baru ini, meski ada beberapa kalangan yang menyebutnya sebagai Kurikulum Berbasis Kebingungan, KBK juga!. Tetapi paling tidak melalui KBK, akan banyak diperlukan model-model pembelajaran yang inovatif dan kreatif sehingga dapat menjembataninya. Disinilah diperlukan peran serta orang tua/keluarga/masyarakat yang sangat besar. Daya dukung yang diberikan para orang tua kepada anak-anak mereka akan bergeser, bukan lagi hanya mendorong anak-anak mereka untuk berangkat ke sekolah dan berprestasi baik dalam bidang akademiknya, tetapi hendaknya para orang tua juga dapat memfasilitasi proses belajar anak dirumah yang dapat mereka lakukan sehari-hari untuk mendukung teori-teori yang mereka dapatkan disekolah dan yang lebih penting lagi adalah agar keterampilan afektif dan psikomotorik dapat berkembang dengan baik seiring ketrampilan kognitifnya.

Program semi “Home Schoolling” dapat dilakukan oleh orang tua secara “sambilan” tetapi tetap terprogram. Banyak orang berfikir belajar berarti duduk manis menghadapi buku pelajaran atau mendengarkan guru menerangkan Mungkin dulu seperti itu ketika sekolah-sekolah masih lengket dengan sistem pengajaran di kelas-kelas yang penuh sesak dan pengap (sekarangpun masih ada). Dan saat ini terjadi pergeseran paradigma proses pendidikan dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang lebih menitik beratkan peran pendidik/guru dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya begeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki spiritual keagamaan, beraklak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rokhani serta ketrampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sementara itu, dalam “semi home schoolling” sumber-sumber belajar bisa diperoleh mulai dari halaman depan rumah,dapur sampai dikebun, juga bisa dipasar,dikantor pos,diangkot dan dimana saja. Anak akan terus bisa belajar sempurna. Sarana untuk belajarpun macam-macam mulai dari tanaman hias,buah-buahan,sayuran,uang,kertas bekas, acara televisi hingga kaset-kaset vcd.

Orang tua dengan leluasa dapat mendesain lingkungan tempat belajar anak menjadi tempat yang mengasyikkan sekaligus menyenangkan bagi anak-anak mereka. Bahkan untuk mendesain lingkungan belajar di rumah dapat dilakukan bersama-sama dengan si anak. Ini akan memberikan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab pada anak, sehingga pada akhirnya diharapkan anak-anak kita akan belajar lebih baik, aktif dan penuh makna.

Berikut ini adalah contoh bagaimana mendesain lingkungan belajar dan aktivitas belajar di rumah bagi anak-anak kita.

No.

Tempat/Ruangan

Pengaturannya

1.

Ruangan Keluarga

Taruhlah beberapa majalah, koran atau

bacaan-bacaan cerita ringan .

2.

Kamar Tidur

Tempatkan lampu baca didekat tempat tidur yang mudah dimatikan bila akan tidur

Tempatkan meja kecil disebelah tempat tidur untuk menaruh beberapa buku bacaan/pelajaran.

3.

Halaman Depan Rumah

Tanami dengan beberapa tanaman hias/bunga (melati,mawar dll).

Berilah lampu penerangan untuk dapat melihat keindahan taman di malam hari.

Berilah tempat duduk santai dimana kita bisa berdiskusi dengan santai,

4.

Halaman Belakang Rumah

Tanamilah dengan beberapa pohon buah-buahan, sayur-sayuran dan tanaman obat.

Tempatkan sebuah bangku panjang untuk duduk bersantai.

Pelihara beberapa ekor binatang kesayangan.

Pasangi lampu penerangan.

5.

Ruang Makan

Tempatkan diruang makan sebuah radio atau tape recorder.

Luangkan waktu sedikit setelah makan malam untuk saling berbagi cerita tentang kegiatan satu hari yang telah dilewati.

Dengarkan alunan musik atau berita dari radio sambil bercerita.

 

 

Berikut ini beberapa contoh cara mendesain/ menyusun aktivitas belajar dirumah bagi anak kita. Mungkin nampak sederhana namun penuh makna pembelajaran yang berguna dalam membimbing anak menghadapi “soal-soal” pembelajaran kehidupannya.

 

No

Mata Pelajaran

Aktivitas

Dirumah

Diluar Rumah

1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8.

MORAL DAN PENGETAHUAN AGAMA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MATEMATIKA DAN LOGIKA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAHASA DAN KATA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SENI GAMBAR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIOLOGI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

F I SI K A

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GEOGRAFI

 

 

 

 

 

 

 

 

SEJARAH

 

 

 

 

 

 

 

 

Anak dibiasakan berdo’a, sholat tepat waktu, sholat berjamaah dan menerapkan nilai-nilai islam dalam kehidupannya, misalya: mudah minta maaf, suka menolong, cepat beristigfar saat salah dan selalu bertindak jujur.

 

* Sebagai contoh bila kita

mengajarkan tentang pembagian kepada anak-anak dengan bertanya kpd anak sebelum puding dipotong-potong, “Supaya kita sekelurga kebagian semua puding ini kita potong jadi berapa ya ?” lalu, bila puding sudah dipotong-potong angkat 1 bagian dan tanyakan seberapa bagiankah itu ?.

*Milikilah buku harian berdua yang bisa diisi dengan cerita atau kabar-kabar singkat, sehari-sehari. Misalnya: hari ini ibu / bapak senang senang putri bangun pagi dan sholat shubuh berjamaan. Mungkin saja anak sekedar menulis, aku bangun pagi atau lputri mandi dulu, tidak menyapu, kegiatan mengisi buku harian bersama ini bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan. Meski anak baru dapat menulis satu dua kalimat, anak terlatih mengungkapkan perasaan, belajar menulis dan membaca.

 

* Anak bisa berlatih menggambar dan menampilkan hasil karyanya di dinding rumah. Atau mewarnai gambar - gambar dan menunjukkannya disebuah buku khusus.

 

* Sambil berada di dapur anak bisa mendapatkan penjelasan bahwa bayam berakar serabut, kunyit adalah akar pohon, mengapa berakar tunggang dan bawang tumbuh dari umbinya.

 

 

 

 

 

* Buatlah cairan sabun lalu bagi tiga cairan tersebut. Sepertinya diberi sesendok makan gula, sepertiga diberi sesendok makan minyak goreng dan sepertiga dibiarkan saja, beri sedotan pada anak dan mintalah anak membuat gelembung-gelembung sabun. Jelaskan mengapa cairan yang diberi minyak tidak menghasilkan gelembung yang bersabun saja menghasilkan gelembung, sementara yang diberi gula memiliki gelembung sabun yang lebih besar.

 

* Beri peta bergambar atau teka teki bercerita yang akan menuntun anak untuk menemukan benda-benda tersembunyi.

 

 

 

* Ajak anak mellihat televisi yang memiliki program acara khusus, misalnya, tayangan tentang film dokumenter, atau peringatan hari besar Nasional tambahkan sedikit cerita untuk memperluas pengetahuannya.

Ajaklah anak bersila- turahmi mengunjungi kerabat, orang sakit, menyantuni fakir mis- kin, bersifat sopan san- tun, berkata jujur dan banyak lagi. “Betapa bersyukurnya kita diberi kesehatan dan rezeki sehingga dapat berse- kolah” lalu biarkan anak yang memberi sedekah.

* Ajaklah anak berbelanja dan berilah kesempatan mereka bertransaksi dengan para pedagang untuk melatih kemampuan menambah, mengurangi, membagi dan mengalikan angka-angka. Biarkan anak-anak membayarnya.

 

 

 

 

 

 

* Saat dijalan, di toko, dirumah sakit, buat permaian, mencari kata, lalu bisa melanjutkan pada materi lawan kata atau persamaannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

* Sambil berjalan jalan, tunjukkan pada anak bahwa semakin jauh,jajaran tiang listrik itu semakin kecil, disini anak belajar soal perspektif.

 

 

 

* Anak-anak bisa belajar dari melihat orang-orang. Ada yang berkulit putih,hitam, kuning,berambut lurus,keriting,bermata sipit atau bulat. Atau ajak anak kekebun binatang dan jelaskan pada anak mana jenis binatang mamalia,serangga,reptil atau jenis burung dan ikan.

 

* Saat hujan telah berlalu, carilah pelangi dan jelaskan apa itu pelangi dan mengapa pelangi terbentuk sesudah hujan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

* Pada hari libur ajaklah anak bermain ke pegunungan atau ke pantai jelaskan pada anak-anak mengapa tejadi kabut, atau mengapa air laut bisa pasang dan surut.

 

* Ajaklah anak-anak pergi ke museum, atau candi atau tempat - tempat bersejarah.

 

Paparan diatas barangkali masih terlalu ideal, sekali lagi paparan di atas hanya merupakan sebuah ilustrasi. Kemampuan dan daya dukung orang tua berbeda-beda, tidak perlu memaksakan diri untuk sesuatu diluar jangkauan para orang tua. Yang terpenting adalah kemampuan orang tua melibatkan diri dalam membantu membelajarkan anak-anaknya, apapun modelnya dan bagaimanapun caranya. Seandainya orang tua tidak sempat/tidak mampu memerinci suatu program belajar dirumah serta membuatkan jadwal pembelajaran secara tertulis, sebagai langkah awal cukuplah dengan apa yang ada dipikiran para orang tua, dan jalankan!.

Program-program belajar lain yang berkaitan dengan ketrampilan sikap anak-anak dapat dibuat dan dikembangkan sendiri oleh para orang tua. Jadi orang tua harus membuat daftar (pelajaran) apa saja yang tidak diajarkan disekolah. Buatlah pembelajaran dirumah menjadi tempat “praktek” bagi anak-anak anda. Karena pada hakekatnya belajar adalah bekerja, dan bekerja adalah belajar. Program belajar praktek dirumah antara lain:

Daniel Golemen dalam bukunya kecerdasan Emosional (Emosional Inteligensi). Berpendapat bahwa “Kecerdasan Emosional” jauh lebih penting dari pada “Kecerdasan Akademik” dalam mengembangkan kepribadian yang utuh. Dia mengatakan bahwa “Kontribusi IQ dalam menentukan kesuksesan hidup maksimal sekitar 20%, sedangkan 80% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain ”. Andaikata 20% sistem sekolahan mampu memberikan kontribusi 100% terhadap perkembangan kecerdasan Intelektualnya (IQ), maka 80% kecerdasan sisanya adalah tanggung jawab orang tua, masyarakat atau lembaga pendidikan non formal lainnya.

Apabila beberapa kecerdasan yang seharusnya dimiliki anak-anak kita untuk dapat hidup sukseskan bahagia di era informasi saaat ni kita buat tabelnya, maka akan tanpak sebagai berikut.

NO.

JENIS KECERDASAN

%

DI KEMBANGKAN

 

1.

 

2.

 

 

 

 

3.

 

 

 

4.

 

 

5.

 

 

Kecerdasan Intelektual

 

Kecerdasan Emosional

 

 

 

 

Kecerdasan Spiritual

 

 

Kecerdasan Finansial

 

Kecerdasan Lain

 

20 %

 

20 %

 

 

 

 

20 %

 

 

 

20 %

 

 

20 %

 

 

 

 

 

 

 

 

* Pendidikan Formal (sekolah)\

 

* Pendidikan Formal (sekolah)

* Pendidikan Nonformal (masyarakat)

* Pendidikan Informal (rumah)

 

* Pendidikan Nonformal

* Pendidikan Informal

 

 

* Pend.Informal (dirumah)

 

 

* Pendidikan Formal

* Pendidikan Nonformal

* Pendidikan Informal

 

 

 

PENUTUP

 

Dunia anak kita akan jauh berbeda dengan yang pernah ada. Masa depan mereka juga tergantung pada kemampuan mereka dalam menyerap berbagai konsep baru, menentukan berbagai pilihan baru dan belajar serta beradaptasi sepanjang hidup. Yang harus disadari oleh para orang tua dan sekolah adalah bahwa Dunia yang akan ditinggali anak-anak kita berubah empat kali lebih cepat daripada sekolah-sekolah kita.

Menjadi orang tua di era globalisasi saat ini haruslah mengikuti perkembangan tentang ilmu pengetahuan dan tehnologi, bergesernya era industri ke era informasi membuat segala sesuatu berubah begitu cepat. Masa kita menjadi anak-anak dulu sudah jauh berbeda dengan masa anak-anak kita sekarang, cara mendidik ayah kita dulu, juga mengalami pergeseran dengan cara mendidik anak-anak kita sekarang. Jaman berbeda, era berbeda sehingga kebutuhan akan pendidikanpun berubah.

Semi “Home Scholling” merupakan sistim belajar baru yang dapat dikembangkan oleh para orang tua dirumah. Efektifitas dan efisiensinya tergantung bagaiman para orang tua mau dan mampu mengembangkan sistem semi “Home Scholling” secara terus menerus dan terencana.

Para orang tua dapat mencari panduan tentang home schooling ke berbagai sumber yang tersedia, mulai dari internet,buku literatur, maupun lewat orang-orang yang memiliki dan melaksanakan sistem ini.

Beberapa rujukan yang dapat dijadikan sumber belajar bagi para orang tua adalah :

NO.

S U M B E R

ALAMAT/JUDUL

 

1.

 

 

 

2.

 

 

 

 

 

3.

 

Instansi Pemerintah

 

 

 

Internet

 

 

 

 

 

Buku Pegangan

 

1. Diknas

2. Sekolahan

3. Dinas dan Instansi lain.

 

  1. www.puskur.or.id
  2. www.enchantd learning.com
  3. www.school discovery.com
  4. www.learning treasured.com
  • Dan masih banyak lagi

 

  1. Quantum learning
  2. Quantum teaching
  3. Learning Revolution
  4. The Brigth Mind
  5. Emotional Intelegensi
  6. Rich dad, poor dad
  7. Majalah-majalah
  8. Accelerated Learning
  9. Buku - buku paket

 

Disinilah long live education akan benar-benar terwujud dengan ikut sertanya para orang tua menciptakan program belajar semi”Home Schooling”. Para orang tua akan belajar dan memperbanyak diri mereka dengan berbagai pengetahuan untuk mengimbangi kemampuan dan perkembangan belajar anak-anaknya. Orang tua harus tahu pentingnya revolusi belajar untuk mengimbangi revolusi informasi. Revolusi informasi harus disikapi dengan tepat dan bijaksana, karena bagaimanapun juga kita semau tidak dapat menghindarinya.

Revolusi informasi inilah yang dapat membantu orang tua mempelajari segala hal secara lebih cepat dan lebih baik.

Akhir kata semoga gagasan semi home schooling ini dapat berguna untuk memotivasi para orang tua dalam membelajarkan anak-anak mereka di rumah. Penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan terutama sumber daya manusia yang ada pada saat ini masih belum mampu mendukung sepenuhnya wacana home schooling, tetapi penulis yakin jutaan keluarga dengan pendidikan yang sudah mumpuni akan mampu apabila dengan sungguh-sungguh mau belajar dan menerapkan semi home schooling dalam keluarganya. Dan semoga gagasan semi home schooling ini sejalan dengan gagasan bagaimana memasukkan nilai-nilai lokal dalam pembelajaran anak-anak kita terutama di rumah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka Daniel Goleman. Emotional Intelligence, Kecerdasan Emotional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001

Gordon Dryden dan Jeannette Vos. The Learning Revolution : Revolusi Cara Belajar, KAIFA, Bandung, 2000

Majalah UMMI, edisi khusus 1, Artikel Home Scholling, PT. Insan Media Pratama, Jakarta, 2004

Peraturan Pemerintah NO. 19 tahun 2005, Standar Nasional Pendidikan, Fukus Media Bandung, 2005

Robert T. Kiyosaki dan Saron L. Lechter C.P. A. Rich Dad. Poor Dad : Ayah Kaya, Ayah Miskin, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1995

Torsten Hussen, Masyarakat, PT. Raja Grafido, Jakarta, 1995

___________, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas Jakarta, 2003


 

 

 

 

 

 Back To Daftar Isi

 

WAWANCARA

Wawancara Dr. Abd A’la

Pendidikan Kita Memang Gagal

 

Sistem pendidikan di negeri ini, nyaris tidak lagi beranjak dari posisi semula yang tetap terpuruk. Posisi buncit kualitas pendidikan Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara tetangga lainnya, menjadi indikator sangat sederhana tentang rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini. Di Tengah siswa SD di negera tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, telah akrab dengan dunia internet, sebagian guru di negeri ini masih gagap mengoperasikan komputer. Selain itu, di saat negara-negara lain, telah melaju kencang membangun kualitas pendidikannya, bangsa Indonesia masih kebigungan mencari format yang ideal dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di tambah lagi dengan intervensi politik yang telah sangat jauh masuk dalam dunia pendidikan, telah semakin mengaburkan arah dan masa depan kualitas pendidikan Indonesia. Berikut hasil wawancara Mohammad Suhaidi RB, dari Jurnal EDUKASI dengan Dr. Abd. A’la, Asisten Direktur Pasca Sarjana dan dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya.

 

Sudah jamak diperbincangkan bahwa pendidikan kita dianggap penuh dengan masalah. Bahkan ada yang menilai, pendidikan kita telah gagal. Bagaimana menurut Bapak?

 

Ya, dalam realitasnya memang gagal. Pendidikan pesantrenpun menurut saya kurang berhasil, bisa dilihat dari aspek kecerdasan spritual, emosional, apalagi intelektual. Salah satu contoh, kemarin ketika tes ujian proyek S2 di Surabaya, kebetulan pada waktu saya melakukan monitoring, ada peserta dari salah satu perguruan tinggi di pesantren, bilang begini sama saya : “Pak, saya dari PT ini. Ini nomor saya”. Kalau lulusan semacam ini (lulusan salah satu perguruan tinggi pesantren, red), kerjanya masih mau dengan KKN, lalu bagaimana? Menurut saya, inilah bentuk ketidakberhasilan kecerdasan spritual di pesantren. Ini telah menjadi gejala umum. Ketika ada di pasca sarajanapun, banyak sekali telepon masuk, mau titip ini dan itu. Sebenarnya, ini salah satu bentuk kegagalan pengembangan kecerdasan spritual, yang ujung-ujungnya pada al-akhlak al-karimah. Kalau di S1, mungkin masih lumayan, karena mungkin masih labil atau bagaimana? Kalau sudah lulus S1 atau sudah menjadi guru, soalnya dia mengaku sebagai guru. Kalau kenyataannya semacam ini, dia sebagai seorang guru, mau lulus seenaknya saja. Menurut saya, ini merupakan salah satu contoh bahwa pendidikan kita memang gagal.

 

Seperti yang kita ketahui, pendidikan pesantren merupakan basis pengembangan kecerdasan spritualitas dan moralitas. Apa kira-kira kelemahannya?

 

Menurut saya begini, ketika pesantren mencoba mengembangkan pendidikannya ke sekolah fomal, di satu sisi hal itu merupakan sebuah kreatifitas tersendiri bagi pesantren. Karena dulu pesantren masih informal, tapi masih sangat transformatif sekali. Karena dari pendidikan pesantren yang informal tersebut, lahirlah syekh Nawawi al-Bantani dan at-Tirmisi, dengan karya-karyanya yang luar bisa. Itu menunjukkan, bahwa pendidikan semacam itu mampu melihat realitas, sesuai dengan konteks zamannya. Syekh Nawawi telah melahirkan karya tafsir Marah Labit, dimana great tradition, coba dikontekstualisasi ke dalam konteks lokal. Ini merupakan catatan tersendiri bagi pesantren, kemudian mereka juga terlibat dalam jaringan ulama internasional. Ketika pesantren mengembangkan pendidikannya ke arah formal dengan sistem madrasi, seharusnya jauh lebih baik, karena sudah ada kurikulum.

Dengan adanya kurikulum, sebenarnya visi dan misi pesantren sudah jelas. Akan tetapi, tanpa sadar, pesantren telah terjebak pada hegemoni dari luar, entah negara, sehingga kurikulum yang ada, tidak didesain sesuai dengan kondisi lokal yang ada, dan sesuai dengan visi yang kadang tidak tertulis, sehingga pada gilirannya justeru menjadi bumerang bagi pengembangan formalitas tadi.

 

Kurikulum pesantren tidak kondisional?

 

Kurikulum tidak didesain dengan kebutuhan masyarakat lokal setempat dan tenaga pengajarnya juga formalistis semua. Misalnya, ketika berdiri sebuah perguruan tinggi, maka pengajarnya juga harus terdiri dari guru besar, tanpa mau diketahui, apakah guru besar tersebut memiliki kualitas atau tidak ? Sebab, tidak semua guru berkualitas, dan tidak semua doktor berkualitas, ia kan? Inilah masalahnya. Di Indonesia, yang saya ketahui, ada beberapa guru besar dan doktor yang penekanannya hanya pada formalitas, sehingga pendidikan ke arah pengembangan kecerdasan intelektual dan spritual, hampir dikatakan kurang menyentuh.

 

Lemahnya kecerdasaan spritualitas lulusan pesantren, seperti yang digambarkan barusan, apakah memang karena dampak formalitas itu sendiri ?

 

Betul. Ketika formalisme dikembangkan di pesantren, maka santri hanya dibuai dengan mimpi indah, bahwa hanya dengan selembar kertas (ijazah, red) akan mendapatkan fasilitas ini dan itu. Mereka tidak tahu bahwa fasilitas itu sebenarnya diperoleh dengan cara kerja keras, dan ilmu yang dikembangkan. Sialnya, di Indonesia bukan pada praksis ini, tetapi pada selembar kertas. Ketika seorang santri sudah memiliki selembar ijazah, berarti dianggap sudah lulus, tetapi ketika tidak punya selembar ijazah, sejak awal ia sudah mengalami diskriminasi, walaupun kemampuan dia cukup bisa diandalkan dalam bidang-bidang yang lain.

 

Dengan kata lain, formalisasi pendidikan di pesantren, itu yang menjadi akar kelemahan pendidikan pesantren, terutama dalam mlahirkan out put sesuai dengan harapan?

 

Akarnya sebenarnya, bukan pada formalisasi, tetapi mengapa terjadi formalisasi? Salah satu akarnya adalah pragmatisme. Ini yang menimbulkan persoalan-persoalan lain, seperti formalisasi itu tadi. Pragmatisme misalnya, agar pesantren ini bisa diakui harus dikembangkan pendidikan formal, agar pendidikan formal ini dapat akreditasi A misalnya, maka harus membohongi publik dengan cara membuat sejumlah kebohongan-kebohongan.

 

Kalau ditarik dengan masalah pendidikan Indonesia secara umum, dimana kualitas pendidikan selalu berada pada posisi paling buncit. Sementara setiap periode kepemimpinan di Indonesia, menteri pendidikan kita selalu dirubah. Bagaimana menurut pak A’la?

 

Soalnya menterinya sendiri punya kepentingan. Seperti yang saya tulis di Jawa Pos kemarin, bahwa budaya politik dalam pendidikan kita masih sangat kuat sekali.

 

Artinya, intervensi politik telah menjadi penyebab buruknya dunia pendidikan kita?

 

Ya, politik kekuasaan. Dan ujung-ujungnya lagi, pada pragmatisme, ketika kekuasaan sangat pragmatis sekali, sehingga mata kita menjadi rabun. Yang dilihat hanya uang saja, bukan bagaimana memperoleh uang dengan moral, tapi yang penting ada duit. Saya masih ingat, kata Emha Ainun Najib bahwa seharusnya uang yang mencari kita, bukan bagaimana kita harus mencari uang. Artinya, kita harus berkualitas. Tapi dalam konteks Indonesia, fenomena yang sangat kuat adalah yang penting dapat uang dengan cara apapun?

 

Terkait dengan kualitas pendidikan terutama jumlah pengangguran yang semakin tidak teratasi. Tahun 2006 kemarin saja sekitar 3 juta sarjana kita menganggur? Masalah apa kira-kira yang menjadi penyebab?

 

Pertama, memang karena kurikulum. Walaupun ada muatan lokal, tapi kenyataannya kurikulum kita tetap asal-asalan, tidak mampu membaca realitas. Kedua, guru ataupun dosen banyak yang sebenarnya tidak mempunyai rasa pengabdian untuk menjadi guru ataupun dosen. Seharusnya guru itu menjadi teladan, mampu mengembangkan bagaimana manusia untuk to be, bukan hanya to have, dan untuk kesejatian diri, bukan hanya sekedar hanya memiliki keterampilan dan semacamnya. Guru seharusnya menyampaikan nilai-nilai semacam itu, tetapi ketika gurunya juga bermasalah, lalu bagaimana hasil anak didiknya?

 

Ada asumsi pendidikan kita hanya melahirkan orang-orang yang lemah, karena mereka masih sangat bergantung pada pihak lain, terutama dalam pekerjaan, padahal dengan pendidikan yang telah dijalani, mereka harus memiliki kreatifitas dan kualitas untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi?

 

Seharusnya memang begitu, mereka harus bisa menciptakan kerja. Akan tetapi, masalahnya karena negara juga tidak sungguh-sunguh dalam membenahi dunia pendidikan. Negara tidak punya niatan yang tulus untuk mengembangkan pendidikan yang berkualitas. Misalnya ketika dalam setiap pergantian menteri pendidikan saja, tapi pendidikan tetap saja tidak mengalami perubahan. Hal itu terjadi, karena dasar dari paradigma pendidikan kita atau visi dan misinya masih sangat ketinggalan zaman. Contohnynya, bahwa pemerintah memang tidak mempunyai komitmen untuk mengembangkan kualitas pendidikan, masalah ujian nasional beberapa tahun yang lalu, yang notabene menjadi masalah. Itu merupakan bukti, betapa dominannya pengaruh negara dalam pendidikan di Indonesia. Padahal, antara satu daerah dengan daerah yang lain, kemampuannya tidak sama dan cara mengukurnya juga harus holistik. (jadi tidak bisa diukur hanya dengan Ujian Nasional yang notebene hanya menyeragamkan masalah, red)

 

Dengan kata lain, pak A’la tidak sepakat dengan pelaksanaan UN, karena tidak bisa dijadikan sebagai ukuran kualitas anak didik?

 

Ya, salah satunya memang demikian.

 

Apa mungkin tahun depan UN sudah harus dibubarkan?

 

Seharusnya yang paling tahu hal itu adalah guru. Sekarang yang terpenting adalah mencari guru yang berkualitas. Itulah sebenarnya yang paling berhak menilai kualitas murid, karena dia yang tahu betul dari awal pelajaran hingga akhir.

 

Sementara yang menjadi masalah dalam dunia pendidikan kita, kualitas guru juga menjadi masalah yang sangat mendasar?

 

Memang pendidikan Indonesia sudah seperti lingkaran syetan. Untuk memutus ini, kita harus merubah paradigma di dalam melihat anak didik, yaitu bahwa anak didik ini merupakan subyek. Negara dan guru harus memfalisitasi subyek ini.

 

Jadi negara tidak bisa intervensi terlalu jauh mengatur pendidikan?

 

Ya, negara tidak boleh terlalu jauh. Kompetensi di tingkat nasional harus minim sekali. Misalnya kompetensi sikap, pengetahuan dan sikap, harus minim. Negara hanya memberikan dasar-dasarnya, kemudian dijabarkan lebih jauh, dan harus terukur oleh lembaga masin-masing, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

 

Terkait dengan kebijakan setifikasi, apakah hal itu juga bisa menjadi garansi perbaikan kualitas pendidikan kita?

 

Saya tidak yakin itu akan terjadi. Kebijakan itu tidak akan banyak merubah wajah pendidikan kita.

 

Selama ini telah banyak program-program pemerintah tuntuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti full day school dan sekolah-sekolah pluss. Apakah program-program semacamitu bisa dijadikan solusi untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita?

 

Bisa, tapi dalam derajat tertentu. Kebijakan itu juga pada gilirannya akan menjadi persoalan tersendiri, ketika yang mengelola (guru-gurunya) full day school tidak tahu persis, seperti apakah kemampuan siswa dan apa yang dikehendaki siswa? Saya tidak mau mengatakan program-program ini jelek, banyak yang bagus juga, ketika guru-gurunya profesional dan pendidikannya didesain dengan baik.

 

Terkait dengan rencana besar atau bahkan mimpi yang melangit pemerintah untuk membuat sekolah berstandar internasional, di tengah kualitas pendidikan kita diragukan?

 

Lagi-lagi kita harus memperjelas standar nasional itu ukurannnya seperti apa? Jangan-jangan hanya ada kepentingan politis di balik program itu. Kalau tidak jelas, bisa-bisa hanya akan merusak kebebasan anak, yang diiming-imingi oleh mimpi indah yang tidak akan pernah menjadi realitas.

 

Bisa jadi ini merupakan program yang keterlaluan?

 

Saya tidak mengatakan keterlaluan.Coba kita lihat, tapi repotnya di Indonesia kadang-kadang masih sangat latah. Misalnya, ketika Ciputra membuat sekolah internasional, dimana guru-gurunya dari USA, di sana juga akan membuat sekolah yang sama. Padahal untuk menilai apakah ini berhasil atau tidak, tentunya membutuhkan waktu yang lama. Coba kita lihat juga, ketika Ciputera membuat sekolah Pelita Harapan , yang harus dipahami juga, apa tujuan sekolah itu dibuat? Di satu sisi yang juga harus dipikirkan, jangan-jangan nantinya karena sudah menganggap internasional orangnya (anak didiknya, red ) tidak mau bergaul dengan anak kampung. Itu kan persoalan baru lagi.

 

Bapak tidak setuju dengan program-program ini?

 

Saya tidak bersikap dikotomis : setuju dan tidak setuju. Tapi saya lebih melihat pada substansinya, kalau misalnya hanya akan menjadi masalah, mengapa harus dikembangkan, apalagi kalau ujung-ujungnya hanya latah dan pragmatisme, lebih baik jangan dilaksanakan.

 

Seandainya sekolah berstandar internasional itu dilaksanakan di Sumenep. Sebagai orang Sumenep bagaimana menurut pak A’la?

 

Lagi-lagi bagi saya, internasional itu apa? Kalau hanya akan membuat anak tercerabut dari lingkungan budaya dan kearifan lokal, lebih baik jangan dilaksanakan. Jangan-jangan, sekolah standar internasional itu, hanya bagian dari gurita globalisasi dan kapitalisasi.

 

Mungkin Bapak punya tawaran, bagaimana mendesain pendidikan kita agar berkualitas?

 

Intinya menurut saya adalah tetap melihat pada kemampuan manusia, yaitu bagaimana mengembangkan manusia dengan segala potensinnya. Setelah itu, yang harus dikembangkan adalah kurikulum. Bukan kurikulum dulu dan bukan kebijakan dulu, tetapi betul-betul berangkat dari kemampuan dan potensi manusia dan kelebihan serta kekurangannya. Dari sana, kemudian akan dikembangkan kurikulum guru yang benar-benar mengabdi pada kepentingan pendidikan, yaitu memanusiakan manusia, bukan untuk menjadikan manusia sebagai bagian dari mesin globalisasi dan bukan bagian dari robot kapitalisasi.

 

Ada pesan khusus bagi pengelola pendidikan formal di Sumenep?

 

Bagi saya, inti kemajuan reformasi adalah pada pendidikan. Oleh karena itu, mengelola pendidikan tidak gampang. Segala kepentingan-kepentingan subyektif harus dibuang, baik politik dan semacamnya, harus dihilangkan. Pendidikan harus dikelola oleh orang yang penuh dengan kearifan. Dari sana akan dapat dibangun sistem pendidikan yang benar-benar berorientasi pada kependidikan dan berorientasi pada anak didik sebagai subyek, bukan sebagai obyek.

 

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL LEPAS

Pendidikan Pluralisme di Pesantren

(Kontekstualisasi Sistem Pendidikan Pesantren yang Inklusif)

Oleh: Mulyadi Wasik

Mulyadi Wasik, S.Pdi., lahir di Cangkreng Lenteng Sumenep. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempauh di Cangkreng Kecamatan Lenteng, sementara pendidikan Aliyah dan S1-nya ditempuh di Pondok Pesantren Annuqayah. Pernah memiliki pengalaman mengajar di beberapa sekolah swasta di Sumenep. Saat ini sebagai ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia [PMII] Sumenep masa khidmat 2006-200

Pendahluan

Berbagai aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama, kerapkali terjadi dalam kehidupan kita. Aksi terorisme, fatwa mati karena perbedaan persepsi, ataupun sikap-sikap tidak bersaudara terhadap penganut agama lain, telah menjadi sesuatu yang tidak pernah basi dalam kehidupan bangsa kita, sejak beberapa tahun terakhir ini. Yang lebih parah , ketika kekerasaan itu dilakukan atas dasar membela agama dan atas nama Tuhan terhadap orang-orang yang memiliki keyakinan yang sama dan atas dasar nama pendidikan, inilah yang menurut hemat penulis menjadi masalah sangat krusial dalam konteks pendidikan kita selama ini. Sebab, menurut hemat penulis apa yang terjadi tersebut, tidak bisa dilepaskan dari pendidikan yang telah dikembangkan, karena bagaimanapun beragam aksi kekerasaan yang telah terjadi – diakui ataupun tidak - memiliki keterkaitan dengan pendidikan

Ada sesuatu yang salah dengan proses pendidikan keagamaan yang telah dilakukan, sehingga melahirkan asumsi yang salah kaprah terhadap perbedaan. Pendidikan yang memiliki orientasi dasar untuk membebaskan individu dari segala belenggu, kebodohan dan egoisme, tampaknya masih belum bisa diberikan dengan maksimal. Pendidikan agama, pada gilirannya tidak ubahnya, hanya rumusan materi yang tidak sejalan dengan target pendidikan, yaitu untuk melahirkan individu-individu bebas dan sadar secara maksimal, karena kekerasan di dalam pendidikan dan kekerasan yang dilahirkan oleh pendidikan, jelas merupakan sesuatu yang mengundang banyak pertanyaan.

Dan, pesantren yang notabene sebagai salah satu lembaga dominan, tetap memiliki tanggung jawab yang sama dalam mencetak generasi-generasi bangsa yang ramah dan rahmah. Dengan kata lain, pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis nilai-nilai Islam, jelas tidak bisa menutup mata atas semua kekekerasan berbasis agama, yang rentan terjadi dalam kehidupan masyarakat kita, karena predikat pesantren sebagai lembaga dakwah dan pendidikan, seyogyanya harus bisa menciptakan kehidupan yang tanpa kekerasan dengan alasan apapun. Pada wilayah inilah, peran dan kiprah pendidikan pesantren sangat strategis dalam menciptakaan kehidupan yang damai dengan cara memperkuat pendidikan pluralitas yang maksimal.

Pesantren & Paradigma Pendidikan Pluralisme

Jika pluralisme dipahami sebagai sikap yang mengakui dan menghargai keadaan yang plural secara etis, kebudayaan dan keagamaan tertentu, maka sikap ini harus ditumbuhkembangkan pada diri generasi muda melalui pendidikan. Dengan kata lain pendidikan pluralisme sangat diperlukan untuk menciptakan dan memelihara kerukunan antar sesama yang seagama dan antar umat beragama. Hal itu harus dilakukan, karena posisi pendidikan selama ini, masih diyakini sebagai usaha sadar, terarah dan di sertai dengan pemahaman yang baik untuk menciptakan perubahan-perubahan yang diharapkan pada perilaku individu, dan selanjutnya pada perilaku jamaah atau komunitas di mana individu itu hidup. Dengan kata lain, pendidikan yang menganut asas pluralisme atau dengan paradigma kebersamaan dalam perbedaan, menjadi wajib hukumnya untuk dikembangkan, ketika dihadapkan pada realitas sosial yang majemuk dan plural, baik kemajemukan suku, etnis, budaya, ras maupun agama seperti yang terjadi dalam konteks masyarakat Indonesia.

Dalam kerangka inilah, pendidikan yang seharusnya berperan untuk menumbuhkan nilai-nilai positif manusia tentang kecerdasan, daya kreatif, dan keluhuran budi harus mampu di terjemahkan dalam realitas nyata, bukan seperti sekarang, pendidikan kita masih menjadi tanda tanya besar-untuk tidak mengatakan telah gagal sama sekali, terutama pendidikan keagamaan, dan pendidikan tentang makna penting perbedaan, baik agama, etnis dan perbedaan-perbedaan yang lain.

Padahal pendidikan agama harus mampu memberikan pemahaman yang utuh mengenai agama yang universal, yaitu pemahaman keagamaan yang menekankan pada basis riil keuniversalan agama, terutama dalam memahami perbedaan yang terjadi. Pendidikan agama seharusnya diarahkan bukan hanya untuk memperkuat pemahaman ilmu-ilmu agama an sich, tetapi secara substansial pendidikan agama juga diberikan dengan usaha menggali nilai-nilai universal agama, terutama agama sebagai sarana untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan dan hidup dalam keharmonisan.

Pemahaman tentang agama seperti itu, akan mengajarkan tentang kedewasaan dan sekaligus keterbukaan pada pikiran kita, sehingga agama tidak di pahami hanya sebatas lima jenis, seperti yang dikenal dewasa ini. Yaitu Islam, kristen, katolik, hindu, dan Budha. Tapi setiap upaya Pencarian Tuhan, kebenaran, kebaikan, cinta kasih, dan pemuliaan terhadap sesama manusia dan alam semesta itupun dapat dipahami sebagai agama. Artinya, pendidikan keagamaan tidak bisa diajarkan dengan logika membenarkan apa yang hanya menjadi keyakinannya, dengan menganggap agama orang lain tidak benar, karena cara pandang semacam ini akan melahirkan kesimpulan sempit tentang pluralitas agama. Pendidikan agama, menurut hemat penulis harus diberikan dengan dasar dan cara pandang yang terbuka, yaitu dengan menjadikan agama lain sebagai bagian dari kehidupan, dan bukan menganggap agama yang berbeda tersebut sebagai musuh yang harus dihancurkan. Sebab, pendidikan agama yang demikian, pada gilirannya hanya akan menjadi embrio awal mengentalnya kekerasan dan anarkhisme dalam kehidupan nyata.

Dalam keterkaitan ini, sakah satu satu bentuk kegagalan pendidikan kita adalah kegagalan dalam mentransformasikan nilai-nilai kebajikan dalam mewujudkan toleransi antar agama. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sistem pendidikan yang masih bersifat ideologis-otoriter. Kedua, pendidikan agama hanya diajarkan secara literer-formalistik, sehingga wawasan pluralisme yang menjadi realitas masyarakat kita tidak tampak. Ketiga, materi plajaran, hanya diajarkan secara terpisah-pisah, tidak memenuhi sifat-sifat integrality, holistic, continuity, dan consistency, sehingga materi ajar lepas dari nilai-nilai agama dan hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal dan tidak menyentuh pada pengembangan emosi dan spritual.

Kegagalan pendidikan agama-agama (termasuk Islam) dalam mentransformasikan nilai-nilai ajaran agama yang universal ini harus menjadi bahan renungan serta evaluasi kritis kita, termasuk juga pesantren. Karena bagaimanapun pesantren adalah salah satu – kalau tidak mau di bilang satu-satunya- lembaga pendidikan agama (pusat penggemblengan kader-kader muslim) yang ada di Indonesia dan telah mendapatkan legalitas dan legitimasi oleh banyak kalangan, baik pemerintah maupun masyarakat.

Refleksi kritis terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan tersebut, bukan dalam rangka mendiskriditkan atau memojokkan lembaga ini. Tetapi hal ini dimaksudkan sebagai kritik konstruktif demi penyempurnaan sistem pendidikan pesantren, karena disadari atau tidak, pesantren sebagai institusi pendidikan yang mempunyai banyak keunikan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap orang-orang yang ada di dalamnya (santri ), kemana mereka akan diarahkan dan akan di bawa? Selain segudang harapan besar yang diamanahkan kepada lembaga tradisional ini oleh masyarakat sebagai solusi yang tepat dalam menjawab kebutuhan masyarakat saat ini.

Pesantren dalam kapasitasnya sebagai lembaga pendidikan yang lebih menekankan kepada pendidikan ke-agama-an, selama ini lebih berperan menjadi agen ortodoksi yang lebih cenderung dan mengarah kepada ajaran yang lebih dogmatis. Artinya, tradisi pendidikan yang ada hanya menanamkan kepatuhan dan kesalihan individual berdasarkan aturan-aturan fiqih dan tasawuf. Artinya, pembelajaran yang dilakukan sama sekali tidak dikaitkan untuk menjawab masalah-masalah riil yang terjadi dalam kehidupan nyata masyarakat. Sehingga pembelajaran, baik fiqh ataupun tasauf terkesan hanya menjadi seperangkat konsep, bukan diarahkan dalam rangka sebagai sarana untuk menjembatani kerenggangan sosial yang terjadi di luar pesantren. Inilah paradigma teologis-doktrinal yang masih mengental dalam pendidikan pesantren yang lebih menitik beratkan pada aspek normatif hukum formal Islam—yang sering dimaknai secara kaku—“ hitam putih” seperti halal haram, pahala dan dosa, neraka dan surga.

Materi-materi ajaran yang diberikan kepada peserta didik (santri) kurang mencermati apa fungsional-praktisnya dalam setiap aspek kehidupan yang dapat dipetik dari materi ajaran itu sendiri. Sehingga melahirkan paradigma baru bahwa arah pembelajaran yang diberikan terkesan sangat tekstual dan sepihak.

Dalam konteks ini, yang perlu ditekankan adalah penataan kembali konsepsi pendidikan pesantren sebagai refleksi dari misi dan pesan universal Islam sebagai agama yang ramhmatan lil alamin, sehingga pesantren benar-benar menjadi wadah solusi alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi dewasa ini, sekaligus sebagai jawaban konkrit atas berbagai tuduhan miring yang dialamatkan pada pesantren sebagai wadah yang hanya memproduksi teroris, kaum fundamentalis, radikalis atau apapun namanya yang diidentikkan dengan kekerasan serta pendangan keagamaan yang radikal (seperti anti pluralisme).

Pesantren dan Pendidikan Pluralitas

Kelahiran pesantren tidak lepas dari kondisi sosial budaya masyarakat yang plural, baik agama, suku, etnis dan lain-lain. Dengan kondisi bangsa yang plural ini, maka konsekwensi logisnya, pesantren harus bisa bersikap fleksibel dalam merespon persoalan-persoalan yang bermunculan, baik masalah agama, sosial dan budaya, dengan sikap yang mengedepankan nilai-nilai tawasuth (moderat), i’tidal (proposional), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan). Dengan cara yang demikian, pesantren akan dapat eksis di dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan (education), perjuangan (struggle) dan lembaga pelayanan masyarakat (social institution) di dalam komunitas atau masyarakat yang plural, terutama pluralitas agama. Artinya pesantren sebagai lembaga transformasi, dapat melihat konteks keagamaan dan problem-problem sosial yang terjadi di masyarakat dengan cermat, sehingga benturan kebudayaan, anakhisme dan radikalisme agama akan dapat dihindari.

Di samping itu, bila dilihat dalam proses islamisasi yang terjadi di Indonesia, sama sekali tidak digerakkan dengan cara-cara kekerasan (violence), ancaman atau penyerbuan (invation), tetapi lebih bersifat asimilatif terhadap tradisi-tradisi yang ada demi mencapai proses Islamisasi, seperti yang telah dikembangkan oleh walisongo. Hal ini membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak menjadi kekerasaan sebagai agenda pembebasannya. Islam dihadirkan sebagai agama rahmatan lil alamin yang mejadikan kedamaian dan ketenteraman sebagai bagian integral dalam gerak penyebarannya. Oleh karena itu, pesantren yang sejak awal telah memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan untuk melahirkan generasi-generasi muslim yang berpendidikan dan memiliki kualitas moral yang kaffah, memiliki tanggungjawab yang utuh dalam menerjemahkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan visi kedatangan Islam itu sendiri, yaitu Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, dimana perbedaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk mendiskriminasi, baik perbedaan pendapat, agama, budaya dan perbedaan-perbedaan yang lain.

Dalam keterkaitan ini, pesantren juga merupakan wadah — peradaban diproduksi, kontrol sosial masyarakat — pengembangan agenda reinterpretasi pesan-pesan agama (teks suci), yaitu dari interpretasi normatif a-historis menjadi teoritis histories, dalil-dalil normatif yang tertulis dalam Al-Qur’an dan hadits di-break down ke dalam konsep-konsep sosial yang dapat diimplimentasikan. Pesan-pesan mistik a-historis yang ada dikontekstualisasikan agar berperan historis, kekinian, membumi dan humanis. Maka, perbedaan pendapat akibat interpretasi yang berbeda tersebut merupakan fenomena yang lazim, baik perbedaan pendapat yang berbentuk subtantif maupun skriptual. Ketika subtansi yang menjadi dasar perbedaan cara pandang terhadap suatu pendirian atau keyakinan, maka komitmen atau keyakinan yang diambil akan menjadi syarat utama, agar perbedaan yang terjadi dijadikan sebagai sesuatu yang biasa dan saling melengkapi.

Artinya, perbedaan interpretasi dalam kehidupan pesantren merupakan sesuatu yang wajar, karena dalam konteks kehidupan pesantren berkembang adagium li kulli ra’sin ra’yun (setiap kepala, ada pendapat), sehingga memaknai perbedaanpun tetap harus ditempatkan pada asumsi ini. Kemampuan santri dalam memahami perbedaan yang terjadi dalam kehidupan pesantren, pada hakikatnya merupakan cermin utuh apa yang akan terjadi di masyarakat pesantren.

Hal seperti itulah yang menjadi tradisi dalam pendidikan pesantren, sehingga apabila santri keluar dari pesantren, mereka akan menemukan berbagai fakta keragaman yang tidak terbantahkan, misalnya ada banyak aliran dan agama yang dianut oleh masyarakat. Fakta ini memberi peluang untuk merefleksi keberagamaannya dan mengembangkan proses penghayatan agama serta tidak mengabaikan realitas sosial, mereka akan bertransformasi dari corak inklusif menuju pluralis.

Berdasarkan corak interpretasi terhadap pesan-pesan keagamaan yang plural tersebut, maka pesantren di Indonesia dalam orientasi perjuangannya (pendidikan) secara global dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama, pesantren tradisionalis, yaitu pesantren yang memahami tradisi-tradisi sebagai bagian dari pemahaman keagamaannya (al-adat al- muhakkamat) untuk mencapai nilai-nilai kebenaran yang universal dan toleran. Dengan tetap mengkaji kembali tradisi-tradisi tadi dalam kerangka keagamaan (manahij al diniyah).

Pesantren seperti ini disebut juga dengan pesantren model tradisional, yang dikenal dngan kajian kitab kuning sebagi rujukan –tentunya setelah Al-Qur’an dan hadits—dalam memecahkan masalah keagamaan. Tradisi kajian ini terus dipertahankan secara dinamis dengan mengadaptasikan kurikulum dengan perkembangan zaman. Akibatnya, pesantren pada gilirannya melahirkan beberapa alumni yang mempunyai kapasitas keilmuan selalu fleksibel, dapat mendialogkan tradisi-tradisi dengan agama. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan tradisi-tradisi plural dengan interpretasi klasik, bahkan dengan menggunakan teori-teori modern kekinian sebagai alat analisa untuk memahami agama sebagai proses dialektika, dari tesa-sintesa, antitesa dan seterusnya, karena itu ilmu agama akan terus dinamis tanpa mengalami pembusukan.

Kedua adalah pesantren radikalis, yaitu pesantren yang tidak bertoleransi dengan tradisi-tradisi lokal (turats)dan segala sesuatu yang datang dari Barat. Pesantren ini juga sangat anti terhadap pluralisme serta memahami secara literal teks-teks agama. Pesantren ini (santri dan kiyainya) menolak pendekatan tafsir atau hermeneutik atas teks agama. Dalam sosialisasinya, pesantren seperti ini sering menggulirkan isu-isu TBC (Taklid, Bid’ah, danC khurafat) dengan dalih pemurnian Islam. Pemahaman keagamaannya membentuk basis intelektual yang radikal atau fundamental, tanpa modifikasi pemikiran baru ke arah pemikiran keislaman yang meng-Indonesia. Pesantren ini memahami agama sebagai solusi dan agama yang sempurna, yaitu dengan kembali ke Al-Qur’an dan Hadits untuk memecahkan berbagai problem, tanpa harus berkutat dengan teori-teori dari Barat, inilah yang menurut mereka disebut dengan Islam kaffah.

Dengan demikian, sebagai lembaga pendidikan Islam yang memang dijadikan sebagai wadah penggemblengan kader-kader muslim yang berfikir salihun fi kulli zamanin, maka struktur kehidupan pesantren yang unik, akibat keberagamaan yang ada di dalamnya, pada hakikatnya merupakan salah satu dasar pembentukan jati diri santri yang pluralis. Pembelajaran agama yang diajarkan di pesantren, secara substansial harus diarahkan pada arah dasar visi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Sehingga akan dapat melahirkan output kader-kader yang mampu memegang kuat nilai-nilai tawasut, tawazun dan i’tidal pesantren. Yaitu, kader-kader pesantren yang mampu menjadikan pluralitas sebagai sesuatu yang alamiah dan sudah menjadi ketentuan Tuhan, sehingga memperlakukan perbedaan dengan cara-cara yang tidak rasional merupakan wujud kongkrit penolakan terhadap apa yang telah menjadi kehendak Tuhan.

Sebab, menurut hemat penulis, kultur dan kehidupan pesantren merupakan cerminan utuh tentang pluralitas, sementara visi pendidikan pesantren secara fundamental tidak bisa dilepaskan dari visi Islam sebagai agama damai dan agama yang menjadikan perbedaan sebagai sarana li ta’arafu. Oleh karena itu, pembelajaran di pesantren, harus menekankan pada usaha bagaimana nilai-nilai kedamaian dan perbedaan agama menjadi rumusan ideal yang mesti diciptakan secara kongkret.

Reformulasi Konsep Pendidikan Pesantren : Kontekstualisasi Pembelajaran

Proses pembelajaran di pesantren berdurasi 24 jam, pembelajaran ini bukan hanya untuk mengembangkan kecerdasan akal (intelektual), tapi juga kecerdasan emosional, moral, spritual dan sosial. Namun demikian, hal ini sangat bergantung dari para pengasuh pesantren -- sebagai figur sentral di pesantren—apakah ia memiliki integritas dan wawasan akademik Islami atau tidak, dan sekaligus mampu mengaktualisasikannya dalam proses belajar-mengajar di pesantren. Karena tanpa disadari, kharisma dan otoritas pimpinan pesantren, sering kali menghambat kreatifitas santri, perkembangan semangat dan kemampuan mengkritisi dan merespon masalah di lingkungannya. Untuk menutupi kelemahan ini sangat penting untuk menggagas kontektualisasi pembelajaran di pesantren.

Dalam konteks ini, kontekstualisasi pembelajaran merupakan salah satu usaha obyektif dalam memahami pembelajaran di pesantren. Maka metodeContextual Teaching And Learning (Ctl) , menurut penulis memiliki signifikansi yang tepat dalam mempola pembelajaran keagamaan di pesantren.

Contextual Teaching and Learning merupakan bentuk pendekatan kontekstual dalam pembelajaran. Contextual Teaching and and learning merupakan konsep pembelajaran yang memandu guru (pendidik) menghubungkan materi yang diajarkannya dengan kondisi kehidupan santri (peserta didik ) dan memotivasinya untuk menghubungkan antara pengatahuan yang dipahami dengan menerapkannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Misalnya, pembelajaran tentang berbuat baik kepada sesama. Seorang pendidik, tidak hanya memberikan informasi bahwa berbuat baik kepada sesama itu wajib, maka bila dilanggar akan mendapatkan dosa, tetapi juga yang harus dilakukan adalah menjelaskan realitas peserta didik tentang kehidupannya dalam suatu komunitas, bahwa berbuat baik, bukan hanya terbatas pada sesama kaum muslim an sich , tetapi juga pada non muslim yang ada di sekitar kita, seperti yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW : “ Seseorang tidak masuk surga disebabkan tetangganya tidak aman dari perbuatan jahatnya”

Dengan mempertanyakan, apa yang harus dilakukan bila temannya yang bukan Islam butuh makanan, sementara ia tidak mempunyai persediaan makan, bagaimana pula bila ada kerja bakti di desa atau di kampung, sedangkan penduduknya sebagian non Islam dan permasalahan-permasalah yang lainnya. Sehingga tercipta kondisi dialogis antara konsep agama dengan realitas. Selain itu, pembelajaran kontekstual merupakan usaha untuk mengembangkan potensi fitrah peserta didik, sebagai manusia yang memiliki potensi dan kereatifitas dalam memahami sesuatu serta melakukan sesuatu.

Pembelajaran CTL memiliki beberapa komponen yang dijadikan sebagai prinsip dasar, yaitu; konstruktifisme ( contructvism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning) masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilain sebenarnya (authentic assessment).

Kontsruktivisme merupakan salah satu filasafat pengetahuan yang menitik beratkan pada satu kesimpulan bahwa pengetahuan kita adalah kontruksi (bentukan) kita sendiri, konstruktivisme menyatakan bahwa setiap individu “membaca” sesuatu yang ada di lingkungannya, dan atas pembacaan itu ia membentuk (mengkonstruk) pemahamannya, lalu bertindak atas pemahaman itu. Konstruktivisme merupakan landasan filosofis pendekatan CTL. Dengan kata lain, bahwa pengetahuan dibentuk oleh manusia sedikit demi sedikit, yang pada gilirannya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau aqidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruski pengetahuan itu sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam hal ini, pembelajaran harus di bawa ke arah proses “mengkonstruksi” bukan mendublikasi pengetahuan. Oleh karena itu, peserta didik perlu diarahkan untuk terbiasa menyelesaikan masalah, menemukan sesuatu yang bermanfaat terhadap dirinya dan selalu akrab dengan ide-ide atau konsep.

Ingquiry merupakan salah satu bagian konponen CTL yang menekankan anak didik untuk menemukan sendiri seperangkat fakta-fakta pengetahuan, yang kemudian pengetahuan atau keterampilan yang didapat peserta didik dari mengingat seperangkat fakta-fakta tersebut, atau sebatas teori yang disalin dari buku. Kegiatan ingquiry merupakan sebuah siklus, yang terdiri dari lima langkah ; observasi (oservation ), bertanya (questioning ), mengajukan dengan dugaan (hypotheis ), pengumpulan data (data gathering ), dan penyimpulan ( conclusion ).

Questioning (bertanya) merupakan induk dari strategi pembelajaran kontekstual, awal dari pengatahuan, jantung dari pengetahuan aspek dari pembelajaran. Bertanya merupakan strategi pembelajaran CTL yang sesuai untuk mengukur kemampuan berpikir beserta didik. Pertanyaan disini biasanya dari pendidik ke peserta didik (santri), pertanyaan antar peserta didik dan lainnya.

 

Prinsip yang memfokuskan pada hasil pembelajaran yang didapat dari hasil kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dengan cara melakukan sharing antar teman, antar kelompok, dan antar mereka yang mengerti dengan mereka yang berlum mengerti. Prinsip ini akan berjalan efektif, jika tidak ada pihak yang dominan atau menguasai dalam sebuah proses komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan bertanya, dan tidak ada yang merasa paling tahu.

Pemodelan ialah memberikan contoh-contoh yang lebih kongkrit terhadap sebuah teori atau konsep. Contohnya, bagaimana cara sholat, mengkafani mayat, mengeluarkan zakat, dan lain-lain. Pemodelan disini tidak hanya dilakukan oleh pendidik, tapi oleh santri yang mempunyai kemampuan dan pemahaman untuk memperlihatkan terhadap teman-temanya. Sehingga proses pembelajaran mandiri bukan hanya pada jam pelajaran, tetapi juga di luar jam pelajaran.

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang telah kita selesaikan di masa lampau. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru saja diterima. Santri mengendapkan sesuatu yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.

Perinsip ini merupakan proses bermacam data yang dapat memberikan petunjuk tentang perkembangan belajar santri. Gambaran perkembangan santri perlu dipantau oleh pendidik agar dapat meyakinkan bahwa ia (peserta didik) mengalami proses pembelajaran yang diharapkan, dan seorang pendidik dapat mengambil langkah dan tindakan, apabila ada peserta didik yang mengalami permasalahan berlajar. Penilaian dibutuhkan selama proses pembelajaran, sehingga hal tersebut bukan hanya akan dilaksanakan di akhir priode, namun dilaksanakan secara integral dan komprehensif dalam setiap aktivitas pembelajaran. Karena assessment ini menitikberatkan pada proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus didapat dari aktivitas nyata yang dilakukan peserta didik pada waktu proses pembelajaran berlangsung. Sehingga maju dan tidaknya anak didik, tidak hanya dipandang dari hasil tes, tetapi yang sangat penting ialah kemajuan yang diperoleh dan ditunjukkan siswa saat proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, data yang dikumpulkan bukan hanya dari kelas, tetapi juga dari luar kelas, sikap dan perilaku anak didik di masyarakat, sehingga akan didapatkan penilaian yang autentik.

Dengan beberapa perinsip di atas, maka pembelajaran bebasis kontektual (CTL) adalah pembelajaran yang memfokuskan pada aktivitas dan kreativitas peserta didik. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran – terhadap berbagai materi kitab kuning—lebih mengarah pada pribadi atau pengalaman peserta didik itu sendiri, karena pada dasarnya, peserta didik merupakan manusia unik, yang mempunyai kreatifitas, pengalaman-pengalaman, dan latar belakang yang beragam dalam kehidupan nyata.

Pengalaman-pengalaman tersebut, pada gilirannya dihubungkan dengan berbagai konsep atau teori yang mereka pelajari. Sehingga akan terjadi keutuhan dan keselarasan antara konsep dengan realitas kehidupan peserta didik di dalam masyarakat. Dengan kata lain, pendekatan CTL ini, memberikan peluang bagi santri dalam mengkaji kitab kuning, dari pembacaan literal dan pemahaman secara tekstual ke arah pembelajaran content analysis terhadap isi kitab (dirosah tahliyah ), pembacaan kontektual (qiro’ah siyaqiyyah ) serta kritik terhadap isi kitab dan produk pemikiran tersebut.

Oleh karena itu, yang diharapkan dari hasil pelaksanaan pendekatan CTL ini adalah anak didik akan lebih toleran dalam menjalani hidup dan berdampingan dengan kelompok yang berbeda, baik dari segi agama, etnis, dan budaya. Sehingga keberadaan pesantren ditengah-tengah pluralitas agama, akan semakin dirasakan bahwa pesantren memang sebagai stabilator sosial dan agen transformasi di masyarakat, yang mampu menjembatani berbagai ketimpangan sosial yang terjadi, terutama dalam memahami perbedan (pluralitas) sebagai sesuatu yang alamiah.

Kesimpulan Akhir

Dari uraian di atas, dapat dipetik benang merah bahwa pesantren memiliki peran yang sangat strategis dalam pendidikan di Indonesia. Setidaknya ada beberapa point dari penjelasan di atas. Pertama, pesantren dalam sejarah berdirinya serta proses perkembangannya tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga beperan sebagai lembaga transformasi sosial terhadap masyarakat di sekitarnya. Kedua, mengembangkan pluralisme agama melalui pendidikan pesantren menjadi hal urgen dalam menjawab realitas kehidupan yang penuh warna. Sehingga pesantren akan tetap mampu berdialog dengan perkembangan zaman yang begitu pesat (sholih likulli zaman wa makan). Pendidikan (pembelajaran) yang dimaksud, adalah pembelajaran yang memberikan penyadaran pada anak didik bahwa ia hidup dalam lingkungan yang plural. Serta mempunyai komitmen untuk menerima toleransi dan pluralisme.

 

Tulisan ini disarikan dari Skripsi penulis dengan judul asli : Pluralisme Agama di Pesantren (Menggagas Sistem Pendidikan Pesantren yang inklusif dan Pluralis).

Syamsul Ma’arif, M.Ag.Pendidikan Pluralisme di Indonesia(Yogjakarta, Logung Pustaka,2005) hal.114

ibid. hal.115

Sahal Mahfud, Nuansa fiqg sosial, (Yogyakarta, LKIS,1994), hlm. 268

Wasid Manshur, “Pesantren Tradisionalis Vs Pesantren Radikalis”, dalam Majalah Qimah, XX, No.15 2003, hlm. 9.

Andito, (Ed.), Atas Nama Agama; Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 330.

Novriantoni, “Ekslusif, Inklusif, Pluralis, “ dalam Media Indonesia, 9 Agustus 2005, hlm. 2

Wasid Mansur, lop. Cit. hlm. 10.

Wasid Manshur, ibid. hlm. 10. Pesantren Radikalis sering dikaitkan dengan aksi terorisme, walaupun stigma ii tak dapat digeneralkan. Karena pesantren Radkal tidak selalu terlibat aksi kekerasan atau terror. Lihat A. Maftuh Abegebriel dan A. Yani Abeveiro, Negara Tuhan,740-741. Dan NU Online, Hanya Segelintir Pesantren yang ajarkan Radikalisme, www.nu.or.id/dataprint.asp?id-data

Imam Bawani, “Membangun Tradisi Keilimuan Dalam Perspektif Pendidian Islam” , majalah Misykat, juli,2003, hlm. 64-65.

A. Maftuh Abegeriel dan A. Yani Abeveiro, lop. Cit. hlm. 150-451.

Wasid Manshur, lop. Cit. hlm. 11.

Agar lebih lengkap mendapatkan informasi tentang pembelajaran CTL ini dengan aplikasi dalam pendidikan, lihat Nur Hadi dan Agus Gerrat Senduk, Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK (Malang: UM Press, 2003).

ibid. hlm. 4

hlm. 31.

Fon JGlaserfeld, menyatakan bahwa pengatahuan bukanlah “ duplikasi” dari kenyataan (realitas), pengatahuan bukanlan visualiasasi dari dunia kenyataan yang ada (fakt-fakta). Pengatahuan merupakan akibat dari suatu kontruksi kognitif kenyataan melalui kegitan seseorang dalam membentu sekema, katagori, konsep dan struktur pengatahuan yang dibutuhkan. Kontruktifisme menyatakan bahwa tidak pernah dapat dimengerti realitas yang sebenarnya secara ontologis, yang dimengerti ialah struktur konstruksi kita tentang suatu objek. Liihat Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1997 ), 18, 21.

Nurhadi dan Agus Gerrat Senduk, Pembelajaran Kontekstual… 33.

Nurhadi dan Agus Gerrat Senduk, Pembelajaran Kontekstual… 33-53

Syaichul Hadi Purnomo, ( at.al.), Antologi Kajian Islam, seri 5 ( Surabaya: Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, 2003), hlm. 158.

 

 

 Back To Daftar Isi

MENGGUGAT KEBIJAKAN

SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN

Oleh. Halimi, SE, M.Pdi

(Penulis lahir di Sumenep 1980. Selain aktif menulis di sejumlah tentang pendidikan, ia juga sebagai pengasuh di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Kolor Sumenep, mengajar di MAN 1 Sumenep serta aktif mengisi diskusi-diskusi tentang pendidikan )

 

Dalam dunia pendidikan di Indonesia, perkembangan di level mikro (baca:sekolah dan kelas) tak dapat dilepaskan dari perkembangan di tataran makro. Dalam tataran makro, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan adalah lembaga yang diberi wewenang untuk melakukan kebijakan-kebijakan pendidikan. Beberapa kebijakan tersebut kemudian menuai kontroversi dan debat publik yang berkepanjangan. Sebut saja kebijakan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa, dan –yang menjadi bahasan tulisan ini—kebijakan sertifikasi guru.

Sebagai sebuah kebijakan, sertifikasi guru merupakan salah satu dari beberapa kebijakan pemerintah yang mengandung keanehan dan anomaly dalam isi dan implementasinya. Keanehan ini terjadi ketika logika akal sehat tidak menemukan kaitan antara isi sebuah kebijakan (termasuk metodenya) dan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut.

Pada tahun 2005 yang lalu, pemerintah dengan disetujui DPR mengeluarkan sebuah UU baru yang disebut UU Guru dan Dosen. Ada banyak hal yang dibahas dalam UU ini, namun yang akan menjadi titik pembahasan dalam tulisan ini adalah tentang kebijakan sertifikasi guru dan dosen.

Kebijakan sertifikasi ini sebenarnya memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk meningkatkan profesionalitas guru dan dosen. Dengan sertifikasi, diharapkan akan terseleksi guru/dosen yang profesional, dan dengan modal guru dan dosen yang profesional tersebut, maka kualitas pendidikan pada akhirnya diharapkan akan dapat meningkat. Berdasarkan logika berfikir tersebut, maka tulisan ini akan berusaha untuk melakukan analisis logis terhadap kebijakan sertifikasi dan pengaruhnya terhadap peningkatan profesionalitas guru/dosen. Jika nalar logis membuktikan bahwa sertifikasi akan berujung pada peningkatan profesionalitas guru/dosen, maka kebijakan ini patut dilanjutkan. Namun, jika yang dihasilkan adalah kesimpulan sebaliknya, maka seharusnya pemerintah dan DPR dengan rendah hati membuat penyesuaian-penyesuaian dan revisi terhadap kebijakan tersebut, serta mencari alternatif kebijakan.

Tulisan ini akan membahas 6 isu terkait dengan pelaksanaan sertifikasi. Keenam isu tersebut diharapkan dapat mewakili berbagai pertimbangan yang seyogiyanya diperhatikan sebelum pemerintah benar-benar melaksanakan kebijakan ini.

Permasalahan filosofis muncul terkait dengan dengan orientasi dan tujuan kebijakan sertifikasi guru/dosen (Abduhzen, 2007). Telah menjadi mafhum bahwa kebijakan sertifikasi muncul dalam kerangka upaya peningkatan mutu guru, sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang telah menetapkan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi guru.

Dilihat dari sisi ini, sertifikasi tentu saja harus dipandang tidak semata sebagai upaya untuk memberikan pengakuan legal formal terhadap profesi guru yang kemudian akan berujung pada kenaikan remunerasi guru, namun harus dilihat sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki kinerja guru/dosen sebagai tenaga pendidik dan/atau pengajar. Tentu saja, kenaikan remunerasi semata tak akan mampu untuk memperbaiki kinerja guru / dosen, karena persoalan kinerja tak hanya terkait dengan besar kecil penghasilan, namun juga terkait dengan motivasi kerja guru itu sendiri. Permasalahan motivasi ini terkait dengan filosofi guru, dan inilah masalah filosofis pertama yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan kebijakan sertifikasi.

Berbicara tentang motivasi kerja, harus disadari bahwa profesi sebagai guru bukanlah sebuah profesi yang dianggap prestisius secara sosial ekonomis. Dalam banyak kasus, keinginan untuk menjadi guru seringkali muncul bukan karena pilihan profesional ataupun minat individual yang kuat, namun seringkali muncul karena tuntutan-tuntutan praktis dan ekonomis. Beberapa guru –walau tentu tidak semua—menjadikan profesi guru sebagai pilihan terakhir, ketika pilihan-pilihan profesi yang lain sudah terlalu sulit untuk dimasuki. Berdasar kenyataan ini, maka filosofi (dalam arti tujuan) seseorang menjadi guru tidaklah murni dari kesadaran diri untuk berperan serta secara baik dalam kegiatan pendidikan, namun lebih sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomis sehari-hari.

Jika asumsi di atas dianggap benar, maka upaya sertifikasi yang dikaitkan dengan kenaikan remunerasi bisa menjadi bumerang, karena kenaikan remunerasi ini akan menyebabkan peningkatan penawaran guru. Makin banyak orang yang ingin menjadi guru, bukan karena panggilan profesi, namun lebih disebabkan oleh kebutuhan ekonomi yang mendesak dalam kehidupan yang "dirancang" semakin kompetitif ini. Dengan sistem seleksi yang ada sekarang (yang memililiki banyak permasalahan metodologis dan KKN), kenaikan penawaran (baca : keinginan menjadi guru) ini akan menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran (over supply) yang bisa berakhir pada masuknya sumberdaya-sumberdaya yang tidak kompeten menjadi guru.

Dalam kaitan dengan mereka yang telah menjadi guru, jika asumsi bahwa motivasi menjadi guru yang paling menonjol adalah motivasi ekonomis ini benar, maka mengaitkan sertifikasi dengan kenaikan remunerasi berpeluang untuk menimbulkan politik dagang dalam pembelian sertifikat. Secara mudah bisa digambarkan, bila ada seorang guru dengan gaji Rp. 1.500.000,00 per bulan, dan dengan memiliki sertifikat profesi ia bisa mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 kali gaji, maka bukankah lebih efektif apabila ia kemudian "menyogok" agar bisa mendapatkan sertifikat profesi tersebut ? Di negeri dengan track record KKN seperti Indonesia, kejadian sepert ini tentu saja lebih dari patut untuk diwaspadai.

Masalah filosofis kedua adalah masalah tujuan pendidikan. Seperti dipahami, sertifikasi adalah bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Karena sertifikasi terkait dengan guru, maka pertanyaan paling mendasar adalah guru profesional macam apakah yang diinginkan dan dibutuhkan oleh pelaksanaan pendidikan Indonesia (Abduhzen, 2007).

Tujuan perbaikan mutu guru sebagai tenaga kependidikan tak dapat dilepaskan dari tujuan pendidikan itu sendiri. UU Nomor 20 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional memang telah menjelaskan fungsi dan tujuan pendidikan. Pasal 3 UU tersebut menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasar tujuan ini, maka mudah dikatakan bahwa guru yang diinginkan adalah guru yang beriman, bertakwa, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab dalam pribadinya, serta mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak anak didik. Dalam konteks tujuan ideal ini, di manakah kita meletakkan sertifikasi sebagai upaya peningkatan mutu guru ?. Selain itu, patut dipertimbangkan perdebatan yang muncul belakangan ini bahwa telah terjadi reduksi terhadap praktek pendidikan selama ini, dimana pendidikan lebih terlihat sebagai upaya peningkatan kualitas akademik –terutama dalam kerangka (baca : perangkap) Ujian Nasional—daripada upaya pedagogik yang serius untuk mengembangkan potensi anak didik yang unik (lihat misalnya Bala, 2007). Jika sinyalemen reduksi ini benar, maka sedikit banyak proses sertifikasi guru akan diorientasikan ke arah yang sama. Artinya, penilaian tentang profesionalitas selalu terkait dengan tujuan-tujuan praktis akademik yang sempit, dan bukan menjadikan pendidikan sebagai media untuk menjadikan anak didik sebagai manusia yang berguna seutuhnya.

Dalam konteks ini, kualifikasi guru sebagai pendidik sebenarnya sedang dalam proses reduksi menjadi "sekedar" pengajar, seiring dengan proses transformasi status sekolah sebagai lembaga pendidikan menjadi sekedar lembaga pengajaran. Bila ini yang terjadi, maka upaya sertifikasi tidak akan mengarah pada pencapaian tujuan ideal pendidikan nasional sebagaimana digariskan oleh UU Sisdiknas, namun lebih pada pencapaian kebutuhan praktis "kognitivisme" a la Ujian Nasional.

 

Telah menjadi pemahaman banyak orang yang peduli pada pendidikan, bahwa salah satu masalah paling krusial dan urgen dalam upaya peningkatan mutu pendidikan nasional adalah upaya meningkatkan profesionalitas guru. Untuk itu, salah satu tujuan sertifikasi tak dapat dilepaskan dari kerangka peningkatan profesionalitas.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah sertifikasi bisa mengukur profesionalitas seseorang ?. Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengelaborasi konsep profesionalitas.

Dalam konteks keguruan, Jurnal Educational Leadership (dalam Supriadi, 1998:98) menyatakan bahwa untuk menjadi profesional, seorang guru harus memiliki lima hal :

teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa hingga tes belajar.

dari pengalamannya. Artinya, guru harus selalu melakukan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya.

Dalam kaitan dengan UU No 14 tentang Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa prinsip profesionalitas haruslah mendasari profesi guru dan dosen. Pasal 7 UU tersebut kemudian menjelaskan prinsip profesionalitas dimaksud sebagai berikut :

Apabila dicermati, mudah disimpulkan bahwa banyak point dari prinsip profesionalitas yang nyaris mustahil disertifikasi. Point a (minat, panggilan jiwa, idealisme), point b (komitmen, keimanan, ketakwaan, akhlak mulia), point d (terutama untuk kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial) dan point e (bertanggungjawab) adalah kriterium-kriterium yang sulit dibuktikan dalam tes 1 minggu atau bahkan 1 bulan sekalipun. Point-point tersebut hanya akan terlihat dalam proses kerja guru/dosen selama melaksanakan tugas, dan karena itu sulit sekali disertifikasi. Demikian pula, profesionalisme harus dipahami sebagai sebuah proses pekerjaan yang berkelanjutan, dan bukan sebuah status tetap yang tak bisa berubah sepanjang usia kerja seseorang. Secara mudah dapat dikatakan bahwa orang yang hari ini tergolong profesional, tak bisa dijamin bahwa tahun mendatang ia masih akan profesional. Oleh karena itu, penilaian terhadap profesionalitas guru/dosen adalah sebuah penilaian yang menyeluruh dan berkelanjutan yang bisa dilaksanakan melalui proses supervisi pendidikan yang baik –sebagaimana dilakukan dalam perusahaan-perusahaan yang baik--, dan bukan melalui proses penilaian yang parsial dan insidental seperti sertifikasi.

Adapun jika profesionalitas itu dikaitkan dengan penguasaan kompetensi pedagogik dan akademik, muncul pula permasalahan yang lain. Permasalahan tersebut adalah proses penilaian yang tumpang tindih. Pada pasal 7 point c dikatakan bahwa guru/dosen yang profesional harus memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, yang kemudian dijelaskan dalam pasal 9 bahwa kualifikasi akademik tersebut adalah setara dengan S-1 atau D-4. Pasal ini mengindikasikan secara jelas bahwa seorang guru sudah melalui proses seleksi akademik di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) selama kurang lebih 4 tahun, lalu mengapa ia harus dites ulang melalui proses sertifikasi ? Jawaban terhadap pertanyaan ini hanya salah satu di antara dua, yaitu : a) kebijakan akreditasi adalah kebijakan yang tumpang tindih; b) pemerintah meragukan kualitas lulusan LPTK yang telah dididik dan diseleksi selama 4 tahun, dan karena itu ingin melakukan seleksi ulang melalui proses sertifikasi selama mungkin 1 bulan.

Bila jawaban pertama yang benar, maka kebijakan akreditasi ini termasuk sebuah kebijakan yang mubadzdzir, dan karena itu harus dihentikan. Bila jawaban yang kedua yang dipilih, maka kebijakan sertifikasi bukanlah jawaban yang tepat. Kebijakan yang lebih baik adalah dengan memperbaiki kualitas LPTK yang ada, mungkin dengan menggunakan hasil akreditasi yang telah dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN). Jika ini tidak dilakukan, maka ini mengindikasikan bahwa kinerja BAN sebenarnya tidaklah terlalu dapat dipercaya, bahkan oleh pemerintah sendiri yang telah membentuknya.

Permasalahan profesionalitas guru/dosen sebenarnya bisa diperbaiki dengan memperbaiki proses seleksi dan memperketat supervisi. Seleksi yang dilakukan selama ini, selain terkesan hanya merupakan formalitas, juga sulit untuk bisa dilakukan secara jujur dan adil mengingat sifatnya yang sangat massal dan prosesnya yang sangat memungkinkan terjadinya kecurangan-kecurangan. Hal lain mengenai materi seleksi. Soal-soal yang diberikan pada waktu proses seleksi terkadang terlalu jauh dari urusan belajar mengajar yang merupakan tugas utama guru. Metode seleksi yang menekankan kepada penguasaan pengetahuan secara kognitif secara meluas (dan bukan mendalam) juga seringkali menjadi kendala.

Setelah proses seleksi diperbaiki, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah memperbaiki dan memperketat pengawasan/supervisi. Proses pengawasan tak hanya bertugas untuk menemukan kesalahan guru dan kemudian menghukumnya, namun yang lebih penting adalah menjadikan proses supervisi sebagai sarana perbaikan. Guru yang memiliki kekurangan dalam profesionalitasnya sebaiknya diberikan saran-saran perbaikan yang konstruktif, dan bukan sekedar diberikan teguran. Untuk dapat melaksanakan tugas ini, pemilihan dan proses seleksi pengawas menjadi sangat penting. Jabatan pengawas bukan lagi merupakan jabatan pelengkap dan "tempat buangan" para mantan guru, namun betul-betul ditempati oleh sumber daya manusia dengan kualitas di atas rata-rata para guru yang hendak diawasinya.

Pengawas juga harus menjadi tali penghubung antara guru yang mengajar di front terdepan pendidikan (baca : sekolah) dan mengelola pendidikan dalam konteks mikro dengan birokrasi pendidikan yang mengelola pendidikan secara makro. Jika fungsi penghubung (intermediasi) ini berjalan secara efektif, maka fungsi pengawas akan lebih konstruktif, dan bukan sekedar seperti yang terjadi selama ini dimana pengawas hanya menjalankan fungsi intermediasi sepihak, yakni lebih banyak sebagai penyampai kebijakan birokrasi pendidikan kepada guru di bawah (fungsi sosialisasi) daripada menyampaikan keluhan guru kepada birokrasi pendidikan. Jika proses intermediasi ini bisa berjalan secara efektif, penyesuaian kebijakan pendidikan di tingkat mikro dan makro bisa berjalan seiring dalam proses sinergis yang lebih menjanjikan.

Selain itu, proses pengawasan juga harus dilakukan dalam kerangka stick and carrot mechanism (mekanisme tongkat dan wortel) yang memadai, adil dan terukur. Tujuannya bukan semata menghukum dan memberi hadiah, namun lebih jauh sebagai wahana memperbaiki yang salah, menambah yang kurang dan mengurangi yang berlebihan di satu sisi, serta menghargai prestasi dan memberikan motivasi di sisi lain.

Salah satu persoalan paling krusial dalam pelaksanaan sertifikasi adalah tentang metode yang akan digunakan dalam pelaksanaannya. Paling tidak ada tiga aspek metodologis yang cenderung akan menjadi masalah dalam pelaksanaan sertifikasi.

Yang pertama adalah aspek pemilihan guru/dosen yang akan disertifikasi. Penunjukan peserta sertifikasi sampai hari ini belum menemukan metode yang "pas", dan di beberapa daerah telah menuai keluhan dari mereka yang tak terjaring sebagai peserta. Direktur Peningkatan Mutu Pendidik dan dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Djalal menyataka bahwa prioritas dalam pemilihanb peserta sertifikasi akan didasarkan terutama kepada usia, lalu kemudian kepada jenjang kepangkatan. Jam mengajarpun dipatok sangat tinggi, yakni 24-40 jam pelajaran per minggu (Kompas, 3 April 2007). Jika kebijakan ini yang diambil, maka bisa dipastikan bahwa para guru yang usianya masih sangat muda akan mendapat giliran terakhir untuk disertifikasi. Jika peserta sertifikasi yang ada adalah sekitar 2,7 juta guru, dan setiap tahun diseleksi sekitar 200.000 guru, maka bisa dipastikan bahwa proses sertifikasi akan berjalan sangat panjang dan lama, sementara proses pendidikan tak bisa dihentikan. Dengan asumsi bahwa semua peserta lulus ujian sertifikasi (inipun merupakan asumsi yang lucu), maka proses sertifikasi memerlukan waktu sekitar 13 tahun untuk selesai (berarti jika diawali tahun ini, sertifikasi baru akan berakhir pada tahun 2020, dengan asumsi tambahan tak ada tambahan guru baru yang harus disertifikasi lagi).

Yang menjadi persoalan lain adalah kenyataan bahwa sertifikasi terkait dan dikaitkan dengan kenaikan tunjangan profesi sebanyak 1 kali gaji. Bila terkait dengan penghasilan, maka permainan dalam penentuan peserta sertifikasi menjadi sangat mungkin terjadi. Suap-menyuap, proses kongkalikong, pertimbangan like and dislike, kedekatan kekeluargaan dan politik percaloan akan sangat mungkin terjadi. Ini akan memperpanjang sejarah jilat menjilat dan budaya ABS (Asal Bapak Senang) yang memang sudah panjang dio negeri ini. Mekanisme kolusi merupakan alternatif yang cepat dan aman, dan selama metode ini yang menjadi pertimbangan kebijakan pemilihan peserta sertifikasi, maka keadilan sulit didapatkan dan kemungkinan terjadi keluhan, kecaman atau bahkan konflik kepentingan antar guru dan antara guru dengan birokrasi pendidikan di atasnya menjadi semakin terbuka. Gurupun akan terlalu sibuk mengurus "nasibnya" daripada mengurus nasib murid-muridnya. Pihak pemerintah mungkin saja akan menyatakan bahwa tak akan ada kecurangan, namun jika kita mau melihat secara lebih obyektif, negara ini sudah memiliki sejarah panjang dalam kecurangan. Bukankah kata sastrawan Santayana : mereka yang tak belajar dari sejarah akan dihukum dengan melakukan kesalahan yang sama ?

Aspek metodologis kedua adalah mengenai aspek penilaian yang akan dijadikan pertimbangan dalam menentukan apakah seorang guru berhak mendapatkan sertifikat pendidik atau tidak ?. Beberapa waktu lalu berkembang wacana bahwa pemberian sertifikat pendidik akan didasarkan pada hasil tes terhadap kompetensi pedagogis dan penguasaan materi guru (satu hal yang sebenarnya sudah diuji pada waktu kuliah dalam periode yang lebih panjang, yakni sekitar 4 tahun) dan ujian ini berdasarkan UU akan diserahkan pada perguruan tinggi yang ditunjuk. Namun, belakangan wacana yang berkembang berubah. Pertimbangan utama sertifikasi akan mengutamakan portofolio/riwayat hidupguru (Kompas, 11 April 2007). Jika kebijakan portofolio ini hendak diteruskan, ada beberapa pertimbangan yang seharusnya dikaji :

 

Aspek ketiga yang merupaka sumber masalah metodologis dalam kebijakan sertifikasi adalah mengenai sertifikator. Sesuai dengan UU No. 14 tentang Guru dan Dosen pasal 11 (2) menyatakan bahwa penyelenggara sertifikasi adalah perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Ini berarti bahwa yang akan menyeleksi adalah dosen-dosen perguruan tinggi yang dipilih. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam kebijakan ini :

Seringkali diberitakan bahwa proses sertifikasi ini adalah sebuah proses yang harus dilakukan untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Memang benar bahwa peningkatan mutu pendidikan terutama hanya bisa dilakukan secara efektif bila ada peningkatan mutu guru. Tanpa guru yang bermutu, mustahil pendidikan bisa bermutu. Hanyasaja, permasalahannya adalah terletak pada pertanyaan mendasar : Bisakah sertifikasi meningkatkan mutu guru?

Sebenarnya, tanpa sertifikasi seorang guru umumnya telah memiliki sertifikat sebagai pendidik (baca : pengajar) sesuai dengan kualifikasi bidang ajarnya. Sertifikat berupa ijazah itu diperoleh dari hasil belajar di sebuah LPTK. Jadi, kecuali guru yang belum lulus LPTK, pada umumnya hampir semua guru telah memiliki ijazah sebagai pengajar dan sertifikat Akta IV sebagai "SIM" (Surat Izin Mengajar). Lebih-lebih mereka yang telah berstatus PNS sebenarnya juga telah melewati proses seleksi yang sebenarnya juga telah dilaksanakan oleh pemerintah, baik seleksi akademik maupun seleksi administratif. Jika kemudian semua sertifikat, ijazah dan seleksi ini tidak dianggap memadai untuk menilai kepantasan dan kepatutan seseorang menjadi seorang guru, padahal untuk mendapatkan sertifikat, ijazah dan seleksi ini seorang guru telah melalui proses yang panjang dan diakui oleh pemerintah, maka akan lebih baik jika institusi LPTK dan seleksi PNS guru dihapus dan diganti dengan sertifikasi. Dalam konteks ini, kebijakan sertifikasi di satu sisi telah "melecehkan" institusi LPTK dan tidak mempercayai proses seleksi PNS guru, dan di sisi lain merupakan –satu lagi—kebijakan pemerintah yang tumpang tindih.

Bahwa kemudian setelah lulus dari LPTK atau seleksi PNS masih banyak guru yang perlu diup-grade, maka disinilah tugas Ditjen Dikti, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan juga lembaga kepengawasan. Sebagai lembaga yang mengawasi perguruan tinggi, Ditjen Dikti perlu melakukan akreditasi sebagai penilaian dan terus meningkatkan kualitas LPTK. Sebagai lembaga yang bertugas meningkatkan mutu pendidik, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan harus memperbaiki kualitas pendidikan dan pelatihan yang ia selenggarakan, disamping terus mengembangkan mekanisme supervisi dan up-grading yang efektif. Sebagai supervisor, pengawas juga perlu memperbaiki kinerjanya agar bisa melaksanakan tugas kepengawasan secara efektif, disamping menjalankan tugas sosialisasi kebijakan pemerintah dan juga penyambung lidah para guru di lapangan. Aktivasi dan peningkatan efektivitas tiga unsur kebijakan yang memang sudah ada dan tersedia ini mungkin akan jauh lebih efektif dalam upaya memperbaiki kualitas guru daripada memberikan label pendidik bersertifikat pada pendidik tertentu.

Selain itu, upaya meningkatkan mutu pendidikan harus berjalan secara integral dan tidak parsial. Bahkan, unsur-unsur non-persekolahan juga harus dilibatkan dalam upaya meningkatkan pendidikan. Pendidikan tak hanya harus dipandang sebagai sebuah ranah dan lembaga yang steril dari pengaruh kemasyarakatan, namun harus dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan Indonesia. Mengutip Prof Fuad Hassan, mantan Mendikbud di masa Orde Baru, "Para pengamat pendidikan yang selalu menuntut kenaikan anggaran pendidikan itu sebetulnya tidak tahu permasalahan. Seandainya anggaran pendidikan dinaikkan, lalu mau ngapain ?. Kalau jalan-jalan yang menghubungkan antar-daerah itu masih buruk, kalau semua daerah belum terlayani listrik dan telepon, atau fasilitas lain yang proses belajar murid ? Jadi, peningkatan kualitas pendidikan tidak hanya tergantung pada besarnya dana yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan saja, tapi juga dipengaruhi oleh sektor-sektor lainnya" (dalam Darmaningtyas, 2005: 6)

Dari awal, tujuan sertifikasi secara implisit sebenarnya ada dua hal. Yang pertama adalah peningkatan mutu guru sebagai seorang tenaga profesional, dan yang kedua adalah upaya untuk meningkatkan gaji guru yang profesional (baca : bersertifikat).

Dalam bahasan sebelum ini telah dibuktikan secara logis bahwa tujuan pertama akan sulit dicapai dengan kebijakan sertifikasi, karena berbagai kendala filosofis dan terutama metodologis. Kebijakan sertifikasi akan sangat sulit mencapai target yang pertama mengingat bahwa kebijakan ini dilahirkan dengan asumsi-asumsi teoretis yang tak dapat dipenuhi dalam praktek di lapangan. Dalam kaitan dengan tujuan yang kedua, beberapa waktu lalu, pihak Depdiknas mengumumkan bahwa ada kemungkinan tunjangan profesi untuk guru yang telah bersertifikasi akan ditunda lagi. Penyebabnya adalah belum ada jaminan penyediaan anggaran dari Departemen Keuangan (Kompas, 2 April 2007). Berita ini sebenarnya menunjukkan bahwa rencana pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru tidak melalui proses sertifikasi tidaklah didukung oleh perencanaan dan koordinasi yang matang, terutama dengan Departemen Keuangan selaku penyedia anggaran. Ini membuat tunjangan profesi satu kali gaji, untuk sementara akan sulit dinikmati oleh guru yang sudah bersertifikat profesional (walaupun belum tentu profesional), apalagi oleh mereka yang belum termasuk dalam daftar guru yang akan disertirfikasi. Hal ini sebenarnya "lumayan" aneh, mengingat Menteri Pendidikan Nasional kita saat ini (Prof Bambang Sudibyo) adalah mantan Menteri Keuangan, yang seharusnya memahami kemungkinan munculnya kendala anggaran dalam pemberian tunjangan 1 kali gaji bagi guru bersertifikasi. Kendala anggaran ini tak hanya akan dihadapi pasca proses sertifikasi. Dalam proses sertifikasi saja anggaran untuk penilaian tentu saja dibutuhkan. Bila peserta sertifikasi adalah 2,7 juta (Kompas, 5 April 2007) dan untuk setiap peserta diasumsikan memerlukan biaya tes 100.000,- maka dana yang dibutuhkan untuk biaya sertifikasi bisa mencapai 27 milyar. Bila rata-rata gaji guru adalah 1.000.000,- per bulan, maka jumlah dana tambahan yang harus disediakan pemerintah untuk membayar tunjangan profesi setiap bulannya adalah 2,7 triliun. Untuk tahun ini, jumlah guru yang ditargetkan mendapat tunjangan profesi adalah 20.000, maka dana tambahan yang dibutuhkan adalah sekitar 20 milyar per bulan (dengan asumsi per guru mendapat tunjangan profesi 1 juta). Tentu saja ini akan menambah beban anggaran.

Terlepas dari kendala anggaran tersebut, isu kesejahteraan guru dalam kaitan dengan sertifikasi ini perlu mendapat pandangan yang lebih serius. Beberapa catatan penting yang dapat diberikan antara lain :

Jadi, dalam konteks sertifikasi, pemberian tunjangan profesi sebesar 1 kali gaji memang akan mensejahterakan sebagian guru (yakni, guru bersertifikat dan terutama PNS) namun akan semakin membuat sebagian guru yang lain (yakni, guru tak bersertifikat dan terutama dari golongan Guru Tidak Tetap) sakit hati dan kurang termotivasi karena iri.

SIMPULAN DAN SARAN

Sertifikasi sebenarnya adalah sebuah kebijakan yang memiliki tujuan baik, namun sebagaimana dicoba-buktikan dalam pembahasan di atas, kebijakan ini memiliki kendala-kendala yang serius disamping implikasi-implikasi yang tidak terlalu baik terhadap kondisi pendidikan di Indonesia. Tujuan sertifikasi untuk meningkatkan mutu guru sebagai tenaga pendidik sebenarnya dapat dilakukan dengan beberapa cara alih alih dengan melakukan sertifikasi :

Sedangkan untuk tujuan kesejahteraan guru, bisa dicari skema alternatif daripada menggunakan skema guru profesional – tidak profesional a la sertifikasi. Pengelompokan ini misalnya bisa menggunakan pengelompokan guru sejahtera – guru belum sejahtera.

Alternatif kebijakan-kebijakan ini sebenarnya jauh lebih murah (efficient), berkelanjutan (sustainable) dan menjanjikan (effective) dibanding kebijakan sertifikasi guru yang biayanya lebih mahal, berorientasi jangka pendek dan kurang menjanjikan keberhasilan memperbaiki mutu guru. Jika telah jelas problematika yang melingkupi kebijakan sertifikasi –baik dalam tataran filosofis, metodologis maupun aksiologis—dan pemerintah tetap memilih kebijakan ini, tak salah kalau kebijakan sertifikasi disebut –sebagaimana judul tulisan ini—sebagai sebuah kebijakan yang aneh.

Wa Allah a’lam (Sumenep, 20 April 2007)

 

Daftar Bacaan

UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Harian Kompas , berbagai edisi.

Abduhzen, Muhammad. 2007. Filosofi Sertifikasi Guru, dalam Harian Kompas, 9 April 2007

Bala, Robert. 2007. "Reengineering" Proses Pendidikan?, dalam Harian Kompas, 17 April 2007

Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak-rusakan. Yogyakarta : LKiS

Supriadi, Dedi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta : Adicita Karya Nusa.

Suroso. 2004. In Memoriam Guru. Yogyakarta : Penerbit Jendela

 

 

 Back To Daftar Isi

KECERDASAN SPIRITUAL SEBAGAI PIJAKAN KUALITAS

Anatomi Model Pendidikan SQ Nabi saw

Ach. Maimun Syamsuddin

Setelah SQ Nabi: Aplikasi Strategi & Model Kecerdasan Spiritual (SQ) Rasulullah di Masa Kini karya Abdul Wahid Hasan terbit di akhir 2006, saya beruntung karena termasuk orang pertama yang menerima buku itu. Saya bersemangat untuk membacanya lebih jauh, walaupun file buku itu sudah saya miliki sejak 2003. Awalnya saya yakin tema itu menarik karena lebih jelas memperlihatkan arti penting perspektif yang didukung kerangka teoritik keilmuan baru dalam melihat aspek-aspek ilmu keislaman. Karena ia akan melahirkan pemaknaan baru sekaligus pengetahuan yang lebih kaya. Itulah yang kembali mengingatkan saya pada Mohammed Arkoun –salah seorang pemikir Islam kontemporer—yang selalu menyerukan “pembacaan produktif” (al-qirâ’ah al-muntijah) atas khazanah warisan keilmuan Islam dan tidak terjebak dalam “pembacaan reproduktif” (al-qirâ’ah al-mutakarrirah). Buku yang ditulis oleh seorang dosen kreatif STIK Annuqayah tersebut adalah salah satu contoh bagaimana membaca sejarah Nabi Muhammad saw berikut beberapa haditsnya dengan perspektif psikologi transpersonal dengan meminjam teore Spiritual Quotient (SQ) Danah Zohar dan Ian Marshall. Dari pembacaan itulah pemaknaan terhadap hadits-hadits yang biasa saya dengar dan sejarah hidup Nabi saw sering saya baca terasa lebih kaya dan lebih berenergi. Dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan, para pakar dan pemegang kebijakan terus mencari-cari. Salah satu yang dapat dilirik adalah menggarap potensi kecerdasan spiritual pada anak didik. Dalam pendidikan Islam, rujukan itu sebenarnya telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Nilai ini yang menjadi semangat baru saya membaca lebih detail buku tersebut.  

Pergeseran Makna Kecerdasan

Teori tentang SQ menyeruak terutama setelah pasangan suami istri Zohar dan Marshall menerbitkan bukunya SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intellegence tahun 2000. Buku ini sejatinya adalah bagian terakhir dari triloginya tentang holisme kuantum yang aplikatif untuk kehidupan sehari-hari. Tentu saja teori ini merupakan revolusi kecerdasan manusia setelah kecerdasan intelektual (IQ) rintisan Binet dan kecerdasan emosional (EQ) rumusan Goleman. Teori ini memperlihatkan apa yang disebut Thomas Kuhn dengan ”pergeseran paradigma” (paradigm sift) melalui revolusi setelah munculnya anomali-anomali yang selanjutnya melahirkan krisis dalam sebuah teori yang dianut masyarakat luas dalam dunia ilmu pengetahuan. Ini juga menjadi bukti tambahan bahwa sains tidak mengenal finalitas dan selalu memunculkan pengetahuan-pengetahuan baru terutama melalui kemampuannya untuk selalu melakukan revisi internal.

Pada mulanya setiap kali berbicara kecerdasan manusia, orang-orang selalu memahaminya dengan kecerdasan intelektual dalam arti kemampuan rasional. Pandangan itu memang memiliki akarnya pada pandangan dasar tentang manusia sejak Aristoteles, bahwa manusia adalah “binatang rasional” (rational animal) atau dalam tradisi pemikiran Islam hayawân nâthiq, karena terdapat nafs nâthiqah dalam diri manusia. Kemampuan berpikir rasional ini yang membedakan manusia dari makhluk lain. Pandangan dasar tentang manusia kemudian mempengaruhi dunia pendidikan sehingga proses pendidikan lebih banyak menekankan pada aspek kognitif. Lebih lanjut diyakini bahwa kecerdasan intelektual adalah segalanya dalam usaha mencetak manusia berkualitas melalui pendidikan. Karena itu, ilmu-ilmu yang berkaitan langsung dengan rasionalitas menjadi ratu ilmu sekaligus menjadi standar kepandaian. Karena arti penting kecerdasan intelektual itu pula alat ukur kecerdasan digunakan di pelbagai lembaga pendidikan yang melahirkan klasifikasi kelas unggulan dan kelas biasa, termasuk fasilitas dan pelayanan. Walaupun tidak jarang klasifikasi itu justru memunculkan diskriminasi di lembaga pendidikan berdasar standar nilai tes kecerdasan IQ.

Harus diakui bahwa kenyataan ini adalah reduksi besar atas potensi utuh manusia. Apalagi sejak Revolusi Industri, signifikansi pragmatis sains semakin kentara sehingga kemampuan kognitif untuk menguasai sains yang bertumpu pada kecerdasan intelektual sangat dibutuhkan. Kecerdasan intelektual itu pun bergerak menyempit pada model berpikir serial semata sebagai kebutuhan untuk penguasaan sains. Dengan demikian, yang terjadi adalah reduksi potensi dasar manusia pada potensi kecerdasan semata. Potensi kecerdasan itupun direduksi lagi pada kecerdasan kognitif yang selanjutnya mengalami reduksi lagi menjadi kemampuan model berpikir serial saja. Reduksi-reduksi tersebut jelas-jelas mengesampingkan potensi lain dalam diri manusia yang berakibat pada tidak adanya keseimbangan dalam diri sehingga berakibat pada munculnya berbagai krisis. Krisis multidimensi yang kentara di Barat akhir-akhir ini ditengarai Capra berakar dari krisis persepsi, yakni krisis yang berakar pada pandangan dunia (worldview). Krisis moral dirasakan begitu mencolok dengan meningkatnya angka kejahatan sehingga kekhawatiran akan keamanan menjadi masalah utama warga kota-kota besar Eropa dan Amerika Utara. Data usang FBI tahun 1965 saja memperlihatkan bahwa di Amerika terjadi kejahatan setiap 12 detik, pembunuhan hampir tiap jam, pemerkosaan setiap 25 menit, perampokan setiap 5 menit dan pencurian mobil setiap menit. Para pemikir dan pemegang kebijakan telah merasakan adanya sesuatu yang tidak beres dalam manusia modern yang secara kognitif telah cerdas dan terdidik dengan baik. Yang menjadi kasus pemicu revolusi kecerdasan adalah usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Jason H –seorang siswa di Florida AS—atas guru fisikanya karena kecewa dengan nilai B yang diberikannya. Padahal ia adalah siswa yang selalu mendapat nilai A dan bercita-cita melanjutkan ke kedokteran atau ke Harvard. Kasus ini yang ditegaskan Daniel Goleman sebagai bukti bahwa kecerdasan intelektual (IQ) bukan segalanya dan bukan jaminan kualitas manusia dalam segala aspeknya. Artinya, manusia juga memerlukan kemampuan untuk mengendalikan emosi yang kemudian ia sebut Emotional Quotient (EQ). Bahkan dikatakan bahwa kecerdasan emosional dinilai lebih penting dalam menentukan kesuksesan jalan hidup seseorang.

Tapi rupanya, kecerdasan kedua ini juga mengidap reduksi atas potensi manusia seperti kecerdasan intelektual. Potensi diri manusia masih direduksi pada dua macam kecerdasan semata yang tidak memberi tempat pada yang lain. Krisis makna hidup yang ditandai dengan melonjaknya angka bunuh diri di negara-negara maju dan meningkatkan pengidap pelbagai bentuk penyakit mental belum tersentuh oleh wacana dua kecerdasan di atas. Belum lagi materialisasi segala aspek kehidupan sehingga kerja hanya dimaknai dengan uang yang sering membuat orang “buta” dan menempuh jalan pintas. Inilah yang menggelisahkan Zohar dan Marshall sehingga mengilhami munculnya kecerdasan ketiga: Kecerdasan Spiritual (Spritual Quotient/SQ). Yang patut dicermati, kecerdasan spiritual yang dimaksud adalah 

…the intelligence with which we address and solve problems of meaning and value, he intelligence with which we can place our actions and our lives in a wider, richer, meaning and-givng context, the intelligence with which we can assess that one course of action or one life-path is more meaningful than other.

(…kecerdasan yang dengannya kita bisa mengarahkan dan memecahkan persoalan-persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan yang dengannya kita bisa menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan lebih kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain).

Yang menjadi inti dari kecerdasan spiritual adalah kecerdasan membangun makna hidup secara lebih dalam dan luas, tidak dangkal dan kering atau tunggal. Karena pemaknaan yang lebih luas dan dalam menjalani hidup dengan profesi apapun, seseorang akan mendapatkan energi lebih dahsyat untuk menjalani hidupnya, menjadi pribadi yang demikian tangguh diterpa berbagai rintangan serta konsisten terhadap nilai-nilai yang sejalan dengan makna hidup yang dibangunnya. Dengan pengertian demikian, Zohar dan Marshall tidak merasa penting dengan agama formal. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan membangun makna dengan melintasi agama batas-batas agama. Karena itu ia menjadi semacam ”spiritualitas-lintas-agama” yang juga bisa mencakup spiritualitas teistik dan ateistik sekaligus. Zohar dan Marshall menegaskan:

SQ has no necessary connection to religion. For some people, SQ may find a mode of expression through formal religion, but being religious doesn’t guarantee high SQ. Many humanists and atheists have very high SQ; many actively and vociferously religious people have very low SQ.

(SQ tidak musti berhubungan dengan agama. Bagi sementara orang, SQ dapat menemukan bentuk ekspresinya melalui agama formal. Tapi menjadi religius tidak menjamin SQ yang tinggi. Banyak kalangan humanis dan ateis yang memiliki SQ sangat tinggi. Tapi banyak juga orang yang beragama dengan aktif dan tekun yang memiliki SQ sangat rendah).

Yang jelas Zohar dan Marshall menggabungkan seluruh potensi intelegensi manusia: intelektual dan emosional, sehingga diyakini sebagai kecerdasan tertinggi (ultimate intelligence). Semuanya memperlihatkan pergeseran makna kecerdasan, yang pada mulanya hanya bermakna kemampuan kognitif dengan model berpikir serial, lalu muncul makna baru dengan ditemukannya potensi emosional dengan pola berpikir asosiatif hingga kecerdasan spiritual dengan model berpikir unitif. Hal itu tidak lepas dari paradigma keilmuan yang memberikan penekanan pada satu aspek dari potensi manusia yang mereduksi potensi lainnya. Penekanan pada satu aspek yang mereduksi aspek lain itu yang menyebabkan munculnya anomali yang kian menumpuk sehingga pandangan yang dianut tentang kecerdasan selama ini dipertanyakan ulang. Rupanya dunia pendidikan belum sepenuhnya memberikan respon pada pergeseran tersebut, khususnya di Indonesia. Karena penekanan pada aspek kognitif yang dilengkapi dengan keterampilan teknis masih begitu dominan dengan menyingkirkan potensi kecerdasan lain. Kalaupun ada perhatian pada potensi kecerdasan lain, hal itu dilakukan sebagai suplemen saja yang tak jarang diwujudkan secara asal-asalnya.

Model Pendidikan SQ Nabi saw

Jika kecerdasan spiritual dipahami sebagai kemampuan membangun makna hidup yang luas dan dalam serta dapat mewujudkannya dalam prilaku luhur, maka bukti berupa hadits-hadits dan catatan para ahli sejarah dengan otentisitas ilmiah yang tangguh memperlihatkan bahwa beliau adalah seorang yang memiliki kecerdasan spiritual puncak. Sebagai seorang rasûl tentu saja beliau adalah spiritualis sejati, apalagi beliau memang diutus untuk menyempurnakan nilai-nilai luhur umat manusia (makârim al-akhlâq). Tapi lebih penting adalah kapasitasnya sebagai seorang rasûl yang bertugas mendidik umat manusia. Dari sisi ini semakin tampak bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang spiritualis dan pendidikan dasarnya adalah pendidikan spiritualitas. Karena kenyataannya beliau bukan seorang ilmuwan yang mengajarkan ilmu pengetahuan yang memerlukan kecerdasan kognitif seperti fisika, matematika, kedokteran dan lainnya sebagaimana sudah maju terutama sejak Yunani Kuno.

Nabi Muhammad saw memang telah memenuhi kapasitas dirinya untuk menjadi seorang pendidik spiritualitas. Secara umum visi pendidikan beliau adalah terciptanya masyarakat agung (khair ummah) yang saling menghargai, mencintai, membantu dan berlomba untuk melakukan kebajikan dengan berdasar kepada keimanan. Visi tersebut sangat tipikal kecerdasan spritualitas sehingga dapat dikatakan bahwa fondasi keseluruhan proses pendidikan Nabi Muhammad saw adalah pendidikan spiritualitas. Semua itu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, menyatu dengan aktivitas hidup yang riil dengan memanfaatkan setiap momen, di luar kelas dan tidak formal. Keuntungan utama proses pendidikan seperti ini adalah aplikatif dan menyatu persoalan nyata yang sedang dihadapi sehingga langsung dirasakan arti pentingnya sekaligus lebih menggugah kesadaran. Bagi Nabi Muhammad saw, setiap tempat, suasana dan peristiwa adalah medan pendidikan yang dimanfaatkan dengan maksimal untuk mendidik umatnya.

Di medan itulah materi-materi disampaikan, dicontohkan atau dipraktikkan untuk dapat dipahami dan dilaksanakan oleh peserta didiknya. Sebagai proses pendidikan yang berbasis spiritualitas, maka materi spiritualitas menjadi materi utama. Materi berupa keyakinan dasar (’aqîdah) yang menentukan corak pandangan dunia, makna dan orientasi hidup menjadi materi fundamental. Kemantapan materi fundamental itulah yang membentuk pribadi-pribadi tangguh secara spiritual: orang-orang yang teguh memegang nilai-nilai luhur, menjalankannya secara konsisten dalam segenap kegiatan hidupnya serta penuh semangat karena kekayaan makna yang tertanam dalam batinya. Materi fundamental itu didukung dengan materi yang mengarahkan pada keseimbangan hidup yang memanfaatkan segenap potensi, menjaga hak dan kewajiban secara komprehensif dalam kehidupan nyata di dunia. Sekalipun pendidikan fundamentalnya adalah spiritualitas, Nabi Muhammad saw tidak mengajarkan umatnya untuk beribadah terus atau hanya berhubungan dengan Tuhan semata. Tapi kehidupan riil yang dihadapi dalam kehidupan harus juga disikapi secara positif sebagai media mewujudkan tugas kekhalifahan.

Materi-materi dasar itu didukung dengan pembentukan kesadaran melalui motivasi, rangsangan dan dukungan untuk terus memperbaiki kualitas diri secara penuh, tidak hanya pada aspek spiritual, tapi juga intelektual dan moral atau emosional. Hal itu antara lain dilakukan dengan menggambarkan imbalan atau ancaman sanksi, yang terutama diberikan kepada para pemula dalam beragama. Karena bagaimanapun, para pemula yang belum sepenuhnya merasakan nikmatnya spiritualitas Islam, memerlukan dorongan berupa imbalan atau sanksi. Imbalan surga dengan segala kenikmatannya banyak disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Demikian halnya dengan sanksi neraka dengan segala siksanya yang dahsyat. Dengan itu diharapkan kesadaran yang masih belum kokoh akan terdorong melaksanakan ajarannya atau takut melanggarnya. Kesadaran seperti ini yang dalam ”tahapan moralitas” Lawrence Kohlberg disebut moralitas pra-konvensional dengan orientasi egoistik-hedonistik-murni, sebagaimana moralitas anak kecil. Orang-orang yang tingkat spiritualitasnya masih rendah sama dengan moralitas anak kecil, yang akan berbuat sesuatu jika ada imbalannya atau takut kepada ancamannya. Karena itu, bagi penganut agama demikian, surga dan neraka menjadi begitu penting. Karena itu bisa menjadi alasan utama melaksanakan ajaran. Tapi bagi orang-orang yang tingkat spiritualitasnya sudah matang, imbalan dan ancaman itu tidak lagi dominan, tapi dikalahkan oleh motivasi lain, yakni liqâ’ wajh Rabbih (bertemu dengan Tuhannya). Motiviasi ini menjadi lebih kuat dari keinginan pada surga atau ketakutan kepada neraka.

Semua materi itu tidak disampaikan dengan metode tunggal, misalnya hanya dengan metode ceramah sebagaimana umum dilakukan oleh para juru dakwah yang sering mengklaim sebagai ”pewaris para nabi” (waratsah al-anbiyâ’). Bahkan para guru sekalipun masih banyak yang menjadikan metode ceramah sebagai metode favorit. Materi kompleks yang berbasis spiritualitas tersebut disampaikan Nabi Muhammad saw dengan variasi metode. Dengan mencermati berbagai haditsnya, dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan dapat dibagi menjadi dua metode umum: tindakan (al-af’âl) yang lalu disebut keteladanan (al-qudwah) dan perkataan (al-aqwâl) yang kemudian disebut nasehat (al-mau’idhah). Keteladanan memang menjadi metode paling efektif dalam mengantar keberhasilan dakwah Nabi Muhammad saw. Semua yang diajarkannya telah dicontohkan lebih dahulu, karena itu pengetahuan para sahabat sebagai peserta didik tidak menjadi pengetahuan teoritis dan abstrak semata. Dengan demikian, pemahaman yang ditanamkan menjadi lebih mendalam, tidak mudah dilupakan dan lebih memungkinkan untuk ditiru karena telah ada contoh konkritnya. Tidak salah jika kepribadian Nabi Muhammad saw. adalah contoh terbaik tentang ajarannya, contoh riil bagaimana menjadi manusia yang sebenarnya, manusia yang manusiawi, yang memahami manusia dan memanusiakan manusia.

Sedang metode kedua berupa metode pemberian nasehat dengan kata-kata. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw tidak terkenal sebagai penceramah yang selalu menyampaikan ajarannya dengan ceramah berjam-jam, walaupun beliau bisa dan pernah membuktikan kecerdasannya dengan ceramah sehari penuh dan hanya break untuk shalat dari Subuh hingga Maghrib. Pesan-pesan spiritual yang menjadi fondasi ajarannya disampaikan dengan beberapa model, antara lain dengan cara dialog, pemberian perumpamaan atau ilustrasi serta melalui cerita. Banyak hadits yang menunjukkan penggunaan metode-metode tersebut di atas. Dalam banyak kesempatan, Nabi Muhammad saw berdialog dengan para sahabatnya sebagai bentuk dorongan partisipasi aktif peserta didik serta pemberian kesempatan turut menggunakan kemampuan berpikirnya. Pola ini memperlihatkan bahwa beliau tidak menganggap para sahabat tidak tahu apa-apa dan hanya cukup mendengarkan saja. Hadits tentang orang bangkrut adalah salah satu contohnya.

Pemberian pengertian melalui perumpamaan atau ilustrasi, terutama tentang hal-hal yang abstrak yang kadang tidak sesuai dengan pandangan umum masyarakat Arab adalah metode lain yang kerap digunakan. Hal itu menjadi penting karena dapat menanamkan pengertian yang lebih jelas, khususnya bagi kalangan yang tidak terbiasa melakukan abstraksi sebagai proses berpikir, apalagi tentang hal-hal yang terkait dengan spiritualitas adalah materi-materi yang sangat abstrak. Nabi Muhammad saw sangat terampil memberikan ilustrasi atau perumpamaan. Pengumpamaan kekayaan duniawi dengan bangkai anak kambing (jady) adalah salah satu contohnya. Ilustrasi dengan sebuah cerita tentang ajaran spiritual menjadi pilihan metode yang juga digunakan oleh Nabi Muhammad saw. Kisah tentang tiga orang yang terjebak dalam gua karena ada batu besar yang menutup jalan keluarnya adalah salah satu kisah penting yang mengandung ajaran spiritual mendalam.

Secara keseluruhan, metode-metode yang diaplikasikan oleh Nabi Muhammad saw. telah memperlihatkan keberhasilan. Tulisan ini tidak akan melihat peran Allah atau Malaikat Jibril as. karena itu di luar kemampuan tulisan ini dan bukan karena dianggap tidak penting. Tapi tulisan ini lebih melihat Nabi Muhammad saw. secara lebih manusiawi dan menyangkut hal-hal yang mungkin ditiru umatnya sebagaimana dalam diri beliau terdapat uswah hasanah. Metode-metode tersebut adalah contoh yang dapat ditiru oleh para umatnya sekaligus dikembangkan secara lebih kreatif dan bervariasi dalam konteks locus-tempos yang berbeda. Sementara meteri yang disajikan memperlihatkan bahwa spiritualitas sejatinya harus menjadi basis kualitas yang harus ditanamkan secara kokoh, karena ia menentukan semangat untuk berkreasi, bekerja keras dan konsistensi pada moralitas dalam prilaku dan penerapan pengetahuan yang dimiliki. Kapasitas itu dapat dimiliki karena pemaknaan yang kaya dan dalam atas pengetahuan dan peran dalam kehidupan. Dengan demikian, spiritualitas adalah bagian yang menentukan kecerdasan lain sekaligus sangat menentukan kesuksesan sejati berikut kesejahteraan hidup lahir batin. Maka, kecerdasan spiritual hakikatnya lebih penting dari semua kecerdasan lain, baik untuk kehidupan dunia, apalagi akhirat.

Spiritualitas Monoteistik viaKhulwat

Hanya saja spiritualitas yang dibawa Nabi Muhammad saw. adalah spiritualitas monoteistik yang jelas-jelas berbeda dengan spiritualitas yang dibicarakan Zohar dan Marshall. Karena spiritualitas yang ditampilkan kedua orang sarjana Yahudi itu adalah spiritualitas sekular karena tidak mengaitkan pada ”agama formal” tertentu. Karena keduanya hanya melihat pada aspek pemaknaan dan nilai. Sedang spiritualitas yang dibangun oleh Nabi Muhammad berpangkal dari tau hîd berupa keyakinan atas keesaan Allah sebagai asal dan tujuan segalanya. Dari pangkal inilah segenap pemaknaan atas segala hal termasuk moralitas mendapat akarnya yang kokoh. Lalu spiritualitas yang dibangun Zohar dan Marshall terasa dangkal. Karena di balik pelbagai bentuk pemaknaan masih terdapat keyakinan yang mendasarinya, yang menentukan kekokohan, kekayaan dan kelanggengannya. Keyakinan yang mendasari ini adalah bagian yang menentukan pemaknaan dan nilai tersebut. Hal ini seharusnya menjadi kajian mendalam, tapi tidak banyak dibicarakan kedua ilmuwan yang berbeda latar belakang keilmuan ini.

Nabi Muhammad saw justru menegaskan dasarnya, yakni keyakinan dasar (’aqîdah) yang benar, yang berpusat pada Allah swt semata. Hal ini menjadi bagian terpenting proses pendidikan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw serta memposisikan nilai-nilai dan pemaknaan kehidupan bertumpu pada keyakinan dasar tersebut. Ayat pertama menegaskan ketuhanan yang benar, sebagai asal segalanya melalui proses penciptaan. Artinya proses belajar secara keseluruhan yang menjadi kegiatan kecerdasan harus jelas-jelas bertumpu pada ketuhanan yang benar. Karena tanpa itu, segala pemaknaan dan nilai-nilai tidak memiliki dasar dan orientasi yang kokoh, stabil dan dalam. Maka proses pencerdasan spiritual yang dilakukan Nabi Muhammad saw sesungguhnya telah begitu canggih dan terbukti melahirkan para sahabat yang kecerdasan spiritualnya tidak perlu diragukan.

Kecerdasan spiritual yang bertumpu kepada tau hîd dielaborasi oleh para pemikir muslim berikutnya melalui kajian atas potensi manusia dengan berdasarkan pada ajaran Alquran dan hadits. Kecerdasan spiritual tidak bisa dilepaskan dari daya spiritual yang ada diri manusia berupa nafs sebagai dimensi batin yang berasal dari ’aql (sebagai daya yang berasal dari Allah). Dalam nafs tersebut terdapat qalb yang memiliki kemampuan untuk menyerap pengetahuan yang ”melimpah” berasal dari Allah (faydl). Itu bisa terjadi ketika qalb mampu ”mendekatkan diri” kepada pusat pengetahuan, yakni Allah sendiri. Dengan pengetahuan perolehan atau pancaran langsung (al-’ilm al- hudlûrî) manusia dapat menangkap kebenaran sejati yang dirasakan langsung. Dari sinilah pemaknaan dan nilai-nilai menjadi pengetahuan yang mengikuti ”pengenalan” atas pusat pengetahuan dan kebenaran: al- Haqq, sebagai salah satu asma-Allah. Ia menjadi jenis pengetahuan non-representatif yang menyatu dengan diri sehingga ia menjadi kepribadian, bukan sekedar pengetahuan kognitif yang diketahui melalui representasi. Kemampuan untuk memperoleh akses langsung atas kebenaran hakiki itu merupakan tingkat tertinggi kemampuan manusia yang oleh Ibnu Sina disebut al-’aql al-mustafâd, di atas al-’aql bi al-fi’l, sebagai daya memperoleh pengetahuan yang bersifat kognitif.

Untuk sampai ke tingkat pengetahuan demikian diperlukan proses yang tidak ringan, yang lebih menekankan kepada penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) daripada olah pikiran. Tentu saja Nabi Muhammad saw mengajarkan pengetahuan tentang spiritualitas melalui penjelasan-penjelasan kognitif, penyadaran dan contoh berupa pola hidup. Yang perlu juga ditekankan di sini adalah metode khulwat yang pernah dilakukan pra-kenabian yang kemudian dalam tradisi Islam disebut ’uzlah. Metode ini dimaksudkan untuk berkontemplasi, mendekatkan diri, menyadari kelemahan diri serta ketulusan mencari kebenaran hakiki, dengan membuang jauh-jauh kepongahan dan kesombongan. Khulwat yang biasa dilakukan Nabi Muhammad saw sejak kecil hanya dilakukan di waktu-waktu tertentu, terutama malam hari Bulan Ramadlan, bukan sepanjang waktu atau kebanyakan waktunya. Dalam usaha membangun kecerdasan spiritual dengan meniru Nabi Muhammad saw tidak cukup hanya dengan mengkaji sabda-sabdanya, tapi juga qudwah yang diberikan. Beliau benar-benar telah memanfaatkan keheningan malam sebagai proses kontemplasi spiritual. Di sini tahajjud dapat menjadi salah satu model khulwat. Bahkan hakikatnya shalat adalah media pendidikan spiritual yang begitu efektif jika dilaksanakan secara maksimal. Setidaknya, dalam satu hari, manusia melakukan khulwat shugrâ (pengasingan kecil), karena relatif pendek dan siang hari. Itulah yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw bahwa shalat adalah mi’râj al-mu’min (kenaikan spiritual seorang mukmin menuju Allah). Sementara khulwat kubrâ dapat dilakukan pada malam hari, saat manusia benar-benar bisa menyepi, mengasingkan diri dari keduniawian, yang sering disimbolisasikan dengan pengasingan ke tempat-tempat sepi. Dalam kesempatan hening ini, kata Abu Hamid al-Ghazali, seseorang dituntut untuk shiyânah al-jawâri h wa farâgh al-qalb wa suqûth huqûq al-khalq wa ighlâq abwâb al-dunyâ wa kasr silâ h al-syaithân wa’imârat al-dzâhir wa al-bâthin (menjaga anggota tubuh, mengosongkan hati, menyelesaikan tanggungan kepada kepada makhluk, menutup rapat pintu keduniawiyan, merusak instrumen godaan syetan dan mengelola diri lahir batin).

Keyakinan dasar yang diajarkan secara kognitif melalui penjelasan-penjelasan rasional adalah bahan dasar untuk melalukukan upaya pendalaman spiritual sehingga mencapai kecerdasan spiritual berupa mukâsyafah atau musyâhadah sehingga bisa benar-benar mengetahui secara utuh. Pengetahuan utuh melalui mukâsyafah atau musyâhadah adalah pengetahuan yang menyentuh rasa (dzawq), karena itu langsung tanpa representasi simbol-simbol bahasa. Dari pengetahuan utuh tersebut keyakinan akan kokoh karena telah mencapai kebenaran hakiki. Hal itu akan mengejewantah dalam kekayaan pemaknaan dan prilaku yang konsisten pada nilai-nilai. Maka kriteria kecerdasan yang dirumuskan Zohar dan Marshall dalam matra Islam hanya sebatas pengejewantahan keyakinan dasar atas Allah yang dicapai melalui pengembaraan spirutal sehingga mencapai kemampuan mukâsyafah atau musyâhadah. Bagaimana pendidikan kita bisa mempertimbangkan ini?

Buku pertamanya The Quantum Self (1990) yang mendobrak elitisme fisika kuantum yang dilebur Fritjof Capra dengan mistik Timur dalam bukunya The Tao of Physics. Buku keduanya adalah The Quantum Society (1994) yang berisi usulan untuk membangun masyarakat baru yang ia sebut masyarakat kuantum.

Thomas Samuel Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: The University of Chicago Press, 1970.

Kemampuan ini dianggap sebagai ciri khas manusia yang tidak dimiliki makhluk lain atau binatang genus yang sama karena nafs nâthiqah tersebut. Disebut demikian karena aktivitas utamanya yang spesifik adalah berpikir logis. Persisnya Ibnu Sina menyatakan Idz kâna asyhar af’âlihâ wa awwal atsârihâ al-khâshshah bihâ al-nuthq. Abu Ali Ibn Sina, ’Uyûn al- Hikmah, Beirut: Dar al-Qalam, 1980, hlm. 40.

Walaupun pada mulanya di tahun 1905, pembuatan konsep tes kecerdasan terstandarisasi oleh Alfred Binet–seorang psikolog asal Perancis—dimaksudkan untuk mengidentifikasi para muridnya yang memerlukan bantuan khusus. Selanjutnya konsep itu dikembangkan oleh Lewis Terman dengan memformulasikan skor nilai. Setelah itu, tes IQ digunakan di mana-mana, termasuk dalam penyaringan karyawan suatu perusahaan atau aparatur negara. Lihat Lucky Adhipurna, “Ulasan Kritis Terhadap Model-Model Kecerdasan Berbasis Neuroscience: IQ, EQ dan SQ”, dalam Journal of Psyche, Vol. 1 No. 2; dikutip Abdul Wahid Hasan dalam SQ Nabi, Aplikasi Strategi & Model Kecerdasan Spiritual (SQ) Rasulullah di Masa Kini, Jogjakarta: IRCiSoD, 2006, hlm. 78..

Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, terj. M. Thoyibi, Jogjakarta: Bentang, 2000, hlm.=======

Alija ‘Ali’ Izetbegovic, Membangun Jalan Tengah, terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, Bandung: Mizan, 1992, hlm. 87.

Lihat Daniel Goleman, EmosionalIntelligence, Kecerdasan Emotional, Mengapa EI lebih Penting daripada IQ, terj. T. Hermaya, Jakarta: Gramedia, 1999.

Ulasan menarik berikut data-datanya –walaupun data lama—dapat dilihat dalam Eric Fromm, Masyarakat yang Sehat, terj. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.

Zohar dan Marshall, SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intellegence, London: Bloomsbury, 2000, hlm. 3-4.

Ibid., hlm. 9.

Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi, hlm. 160.

Ibid., hlm. 161-174.

Nabi Muhammad saw juga selalu menekankan pada pentingnya memperhatikan aktivitas duniawi tapi dengan catatan harus dijadikan sebagai media untuk akhirat. Beliau tidak menilai baik kepada orang yang hanya memfokuskn diri pada ritualitas. Hadits riwayat Anas adalah salah satu ilustrasinya, yaitu tentang tiga orang yang berjanji akan fokus pada ibadah. Beliau menegaskan dirinya sebagai figur yang terbaik, tapi tidak selamanya berpuasa, tidak shalat semalam suntuk dan tidak menghindari pernikahan demi konsentrasi pada ’ibadah. Dikutip Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi, hlm. 179.

Ulasan singkat tentang teori ini dapat dilihat dalam Franz Magnes-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, Yogyakarta, Kanisius, 2000, Bab 8, khususnya hlm. 157 dst.

Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi, hlm. 184.

Hal itu seperti diceritakan oleh Amr bin Akhthab al-Anshari. Kemampuan berceramah seharian dengan tema tingkat tinggi hingga yang berkaitan dengan Hari Kiamat. Bagi orang Arab, hal itu menunjukkan kecerdasan luar biasa Nabi Muhammad, karena juga menunjukkan kekuatan hafalannya. Dan orang yang paling kuat hafalannya adalah orang terpandai. Tentu saja isi cermahnya sangat menarik, karena menurut riwayat itu, para sahabat asyik mendengarkannya dan tidak beranjak. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalm bâb al-futûn wa al-‘asyrat al-sâ’ah, dikutip oleh Abdul Wahid dalam SQ Nabi, hlm. 118.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim. Lihat Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi, hlm. 193-194.

Hadits cukup panjang tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bâb al-zuhd wa al-raqâ’iq; dikutip Abdul Wahid Hasan dalam SQ Nabi, hlm. 201.

Hadits panjang yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dikutip oleh Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi, hlm. 209-211.

Lihat. S.M. Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala lumpur, ISTAC, 1995), hlm. 159-160

Mohammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, Jakarta: Lentera AntarNusa, cet. Ke-27, 2002, hlm. 75-78.

Abu Hamid al-Ghazali, Minhâj al-Sâlikîn dalam Majmû’ah Rasâ’l li al-Imâm al-Ghazâlî, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, 220.

 

 

 Back To Daftar Isi

Dominasi di Balik Teks: Mengungkap Ideologi Dominan Dalam Buku Ajar

Oleh A. Dardiri Zubairi

Alumni Fakultas Tarbiyah IAIN (sekarang UIN) Jakarta dan FKIP jurusan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Malang. Selama menjadi Mahasiswa aktif di PMII Cabang Ciputat, menjadi Redaktur Majalah "Institut", juga terlibat mendirikan Kelompok Kajian PiramidaCircle, sebuah wadah komunitas kaum muda NU di Jakarta. Pernah menulis di harian Republika, Pelita, Surabaya Post, Terbit, Simponi, Aula, dan MPA. Saat ini [belajar] menjadi Kepala Madrasah Aliyah "Nasy'atul Muta'allimin (NASA)" Gapura Timur Sumenep, sambil aktif di Lakpesdam NU Sumenep, juga sebagai anggota Dewan Redaksi Jurnal Edukasi.

 

Beberapa tahun lalu, ada seorang siswa MTs menangis karena PPKn yang "diwariskan" kakaknya ternyata tidak sama dengan PPKn yang dipegang gurunya. Meski isi buku tak jauh berbeda, tetapi karena tidak sama dengan gurunya ia menuntut untuk dibelikan lagi.

Setidaknya setiap tahun ajaran baru banyak kritik yang dilontarkan oleh, terutama, orang tua terhadap buku ajar. Pokok permasalahan kritik itu disebabkan oleh gonta-gantinya buku ajar setiap tahunnya. Bisa dipastikan setiap tahun orang tua perlu mengeluarkan uang untuk membeli buku ajar baru. Baru tahun ini ada "fatwa" Mendiknas bahwa buku ajar setidak-tidaknya harus bisa dipakai hingga lima tahun. Meski demikian, buku ajar sepertinya akan tetap menjadi sekelumit persoalan dari sekian persoalan pendidikan di Indonesia.

Tulisan ini tidak bermaksud mengurai seringnya buku ajar gonta-ganti. Tetapi ingin menyoroti buku ajar dari perspektif lain secara lebih kritis. Tegasnya terhadap isi [content] buku ajar yang diam-diam [atau didiamkan?] melanggengkan kelompok dominan [entah Barat, kapitalisme global, negara, atau kelompok modernis]. Strategi dominasi [kelompok dominan] ini secara bersamaan menyingkirkan "yang lain" dan "yang berbeda" [entah kelompok tradisional, rakyat yang terpinggirkan, atau masyarakat pedesaan, dsb.]. Suatu strategi bermakna ganda, melanggengkan [kekuasaan] sekaligus menguasai. Dalam tulisan ini saya akan mengurai bagaimana praktik dominasi beroperasi dalam buku ajar Sosiologi dan Antropologi, dua bidang yang beberapa tahun hingga sekarang ini menjadi pegangan saya di Madrasah Aliyah NASA. Tetapi terlebih dahulu akan dijelaskan perpektif yang digunakan dalam tulisan ini untuk bisa mengungkap ideologi dominan dalam buku ajar yang saya maksudkan.

Berhutang pada "Analisis Wacana Kritis"

Untuk membongkar ideologi dominan dan praktik dominasi dalam buku ajar, saya menggunakan perspektif analisis wacana kritis. Perspektif ini menjadi energi yang tidak habis-habisnya untuk mengintrogasi teks [buku ajar], bagaimana teks itu diproduksi, ideologi apa [siapa] yang bermain dibalik teks, bagaimana praktik dominasi dilakukan, serta kelompok mana yang "diuntungkan" atau "dibuntungkan" oleh teks itu.

Apa analisis wacana kritis? Menurut Teun A. Van Dijk, analisis wacana kritis adalah "jenis penelitian wacana yang fokusnya mempelajari bagaimana penyalahgunaan kekuasaan, dominasi dan ketidaksetaraan sosial dibentuk, direproduksi dan dipertahankan oleh teks dalam konteks sosial-politik tertentu. Posisi analisis wacana kritis sangat jelas yaitu ingin memahami, mengungkap, dan akhirnya menolak ketidaksetaraan sosial".

Medan analisis wacana kritis terutama adalah bahasa. Bahasa barangkali bisa dianggap sebagai sistem tanda terpenting yang dimiliki oleh [kebudayaan] manusia. Dengan bahasa manusia bisa berkomunikasi, seperti yang sering kita dengar bahwa bahasa merupakan alat komunikasi. Ini juga yang seringkali saya dengar dari guru bahasa. Pengandaian ini sebenarnya tidak keliru. Masalahnya akan menjadi lain jika bahasa dianggap sebagai sesuatu yang given, apa adanya, atau kita tinggal "comot" kemudian kita gunakan sebagai alat komunikasi, sebagai praktik [ber]wacana. Kira-kira istilah akademisnya, bahasa itu "netral" dan "bebas nilai".

Di tangan analisis wacana kritis, bahasa dipandang berbeda. Bahasa tidaklah netral atau bebas nilai. Bahasa juga tidak given, tetapi merupakan hasil konstruksi budaya. Karena itu bahasa harus dicurigai, apalagi bahasa bisa menjadi medan bagi kelompok dominan untuk mengukuhkan kekuasaanya yang disebar melalui wacana. Melalui bahasa, kelompok dominan bisa menyebarkan "kebenaran". Melalui bahasa kelompok dominan bisa mengontrol dan mengatur, apa yang boleh diwacanakan atau tidak. Melalui bahasa pula kelompok dominan dengan leluasa bisa merepresentasikan kelompok yang didominasi dengan menghegemoni, membelokkan, atau membengkokkan makna. Menjadi terang benderang bahwa bahasa hekikatnya bukan sekedar menjadi alat komunikasi, tetapi secara bersamaan juga menjadi alat [ber]kuasa. Mohon maaf bagi yang gandrung dan penganjur "bebas nilai" tak ada tempat dalam analisis wacana kritis.

Tesis netralitas bahasa juga bisa gugur jika kita melihat faktanya bahwa bahasa bisa menjalankan fungsi secara "saling-silang", melawan atau berkuasa. Dulu ketika masa kolonialisme, misalnya, bahasa menjadi kekuatan politik sebagai alat pemersatu bangsa. Di sini bahasa hadir melebihi "fungsi netralnya" [sebagai alat komunikasi] dengan merambah wilayah politik. Sementara sebagai kekuatan ekonomi bisa kita saksikan, hampir semua perusahaan saat ini menyaratkan kemampuan bahasa Inggris [ahir-ahir ini juga bahasa Mandarin] dalam melakukan rekruitmen karyawannya. Dus, bahasa ternyata menjadi persoalan kompleks dalam arti bukan sekedar persoalan pernyataan [proposisi], kurang koma, paragrapnya terlalu panjang atau isitilah-istilah tehnis-linguistik lain sebagaimana yang biasa –mohon maaf—diajar[i]kan oleh dosen atau mahasiswa jurusan bahasa.

Bahasa hakikatnya hadir untuk merepresentasikan realitas. Dan inilah musykil-nya, karena representasi bukan realitas itu sendiri. Dengan demikian adalah "kesembronoan" ketika bahasa diyakini mampu merepsentasikan realitas seepenuhnya, sebagaimana ia meng-ada. Persis sebagaimana saya menemukan kata "kopiah [yang berukuran] tinggi" maka pikiran saya langsung menunjuk pada bajingan, sebagai realitas yang ditunjuk oleh kata itu. Tetapi apakah "kopiah tinggi" adalah realitas bajingan itu sendiri? Sederhananya, apakah orang yang menggunakan kopiah tinggi, secara otomatis juga bajingan?

Ilustrasi lain bisa disajikaan di sini. Seringkali pesantren [lebih-lebih pesantren salaf yang hanya mengajarkan kitab kuning] direpresentasikan oleh kelompok dominan [negara, kelompok modernis, pejabat resmi pendidikan] sebagai "tradisional', "kolot", "tidak disiplin" [hanya karena komunitasnya menggunakan pakaian sarung]. Apakah bahasa –tepatnya katagori—"tradisional', "kolot", "tidak disiplin", kalau pun hal ini benar [?],secara ajeg bisa dilekatkan pada komunitas pesantren? Bukankah katagori ini bisa berubah maknanya dari waktu ke waktu, dari satu budaya ke konteks budaya lainnya?

Bukan tidak mungkin katagori "tradisional', "kolot", "tidak disiplin" dengan segala makna pejoratifnya suatu saat justru balik menyerang kelompok dominan. Dan ini bukan mengada-ada. Karena, meminjam bahasa postrukruralis, realitas tidak melulu dikonstruk secara linguistik tetapi sekaligus merupakan konsep yang tidak stabil. Tak hentinya-hentinya bahasa secara mencengangkan membentuk [ulang] dunia [realitas?], sehingga sangat terbuka untuk memain-mainkan tanda-tanda yang dikonstruksi oleh sejarah, filsafat, ilmu pengetahuan atau subjektivitas manusia itu sendiri.

Belum lagi jika "representasi sengaja" terhadap pesantren dengan menyebar katagorisasi "tradisional', "kolot", "tidak disiplin" ditempatkan dalam konteks kuasa, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, persoalannya menjadi lebih tidak sederhana. Ini sekedar ilustrasi begitu musykil-nya bahasa merepresentasikan realitas. Dengan demikian, tak ada korelasi yang tegas dan pasti antara realitas dan representasi/bahasa.

Kata, kalimat, pemikiran, dan gambaran, adalah seluruh representasi yang mengandaikan hubungan antara dua hal [misalnya x merepresentasikan y]. Tetapi adanya hubungan dua hal tersebut tidak serta merta memerlukan adanya suatu hal yang direpresentasikan. Katagori "tradisional" dan "kolot" yang dilekatkan pada pesantren bisa jadi tidak memerlukan adanya suatu hal yang direpresentasikan. Tetapi sekedar representasi dan citra yang dibangun, dibentuk, dan dipermainkan untuk kepentingan kelompok dominan. Ketika katagori "tradisional" dan "kolot" diterima sebagai kode dan konvensi, maka ia diterima secara natural. Dus, katagori itu kehilangan status bentukannya. Ia akan diterima sebagai sesuatu given, apa adanya, dan diasumsikan benar-benar ada, tanpa perlu dipertanyakan.

Selanjutnya ketika katagori itu "ter[di]alamiahkan"[naturalized], maka ideologi kelompok dominan menemukan pijakannya untuk menindas. Penindasan tidak lagi dalam pengertian fisik, seperti nenek moyang kita mengalami masa penjajahan yang mengerikan pada era kolonialisme. Tetapi melalui penjinakan alam pikir, sehingga realitas yang dibangun dan dibentuk dianggap sebagai absah secara taken for granted. Inilah yang dimaksud hegemoni menurut Gramsci, suatu teori yang menegaskan bahwa penindasan kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi berlangsung bukan melalui kekerasan dan paksaan, tetapi dengan persetujuan melalui kepemimpinan moral dan intelektual.

Dalam konteks pesantren yang direpresentasikan "tradisional" dan "kolot" tadi, komunitas pesantren pun masuk perangkap ideologi dominan, sekali lagi tidak melalui kekerasan tetapi dengan persetujuan. Hal ini nampak dari kecenderungan pesantren "memodernkan" lembaganya sehingga saat ini bertebaran pesantren yang bangga mengklaim sebagai pesantren modern. Atau setidak-tidaknya pesantren saat ini banyak memasukkan kurikulum kelompok dominan [baca: negara], yang ternyata menjadikan pesantren kehilangan jati dirinya. Sementara pada sisi lain, melalui kurikulum kelompok dominan, pesantren telah ikut mempercepat proyek besar-besaran modernisasi, sekularisasi, atau bahkan liberalisasi, sesuatu yang seharusnya ditolaknya.

Cukup panjang saya menjelaskan karakeristik utama dalam analisi wacana kritis, terutama bahasa yang menjadi faktor penting dalam analisis ini. Terahir yang ingin saya jelaskan menyangkut konsep kunci dalam analisis wacana kritis, yaitu relasi pengetahuan dan kekuasaan.

Kuasa di mana-mana

Tesis Michel Foucault tentang relasi kekuasaan dan pengetahuan sangat membantu membongkar praktik dominasi dalam buku ajar, seperti akan dijelaskan kemudian. Foucault, dalam bukunya Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writing 1972-1977, berujar :

"Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus menciptakan pengetahuan, dan sebaliknya, pengetahuan tak henti-hentinya menimbulkan efek kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama lain. Kita tidak bisa membayangkan suatu ketika pengetahuan tidak lagi bergantung pada kekuasaan. Mustahil menyelenggarakan kekuasaan tanpa pengetahuan, sebagaimana halnya mustahil pengetahuan tak mengandung kekuasaan"

 

Pengetahuan ternyata tidak lahir dalam ruang hampa. Pengetahuan dikonstruk, dicipta, dan di[re]produksi dalam ruang kuasa. Kehadirannya, dengan demikian, erat terkait dengan kekuasaan. Bukankah tidak mungkin kekuasaan tegak tanpa ada legitimasi moralnya? Di sinilah pengetahuan hadir untuk membenarkan–atau lebih tepatnya "merasionalkan"—bagaimana kekuasaan ber[di]operasi[kan]. Sebaliknya, hadirnya pengetahuan sangat jelas memberi efek kuasa. Atau dalam istilah Nietzsche, kehendak untuk tahu [the will to know] pada hakekatnya adalah kehendak untuk berkuasa [the will to power].

Tesis Foucault di atas sungguh sangat bertolak belakang dengan tesis filosof pencerahan yang percaya begitu saja terhadap pemilahan yang tegas antara pengetahuan sejati dan murni [rasional, obyektif, dan tidak terdistorsi oleh mitos atau hubungan yang menindas] dengan pengetahuan palsu dan tidak murni [irrasional, subjektif dan ideologis/cerminan dari kekuasaan tertentu]. Dengan demikian, kebenaran ada pada yang pertama, sementara yang kedua palsu karena sifatnya yang mistis dan ideologis. Di mata filosof pencerahan, meminjam istilah Sahal, kebenaran seolah-olah terletak di "seberang sana", di luar relasi kuasa. Di mata Foucault justru sebaliknya, kebenaran tidak terletak di luar, tetapi di dalam kuasa. Kebenaran tak lain adalah kuasa itu sendiri.

Kembali ke katagori "tradisional" dan "kolot" yang dilekatkan kepada pesantren tadi, sebenarnya mengandaikan adanya sesuatu yang "modern" dan "maju/tidak kolot". Kira-kira semacam kehidupan yang menjanjikan kebudayaan dan peradaban adi luhung. Inilah pandangan hidup dunia modern yang terkungkung oleh logosentrisme. Ciri logosentrisme selalu ditandai oleh cara berpikir oposisi biner, seperti contoh di atas, modern/tradisional, maju/kolot dsb. di mana yang pertama merupakan "pusat" yang harus dituju, sementara yang kedua adalah "pinggir" yang harus meleburkan diri.

Inilah problematiknya, katagori "tradisional" dan "kolot" hakikatnya juga adalah kontrol. Dengan kata lain, wacana atau pengetahuan tentang pesantren yang direpresentasikan sebagai "tradisional" dan "kolot" hakekatnya adalah kehendak untuk mengatur, mengontrol, dan akhirnya menguasainya. Tegasnya menarik "dengan cara halus" pesantren dari "tradisional" dan "kolot" menjadi "modern" dan "maju". Inilah maksud pernyataan Nietzsche bahwa kehendak untuk tahu [ thewill to know] pada hakekatnya adalah kehendak untuk berkuasa [thewill to power]. Suatu watak congkak pengetahuan modern dengan berlagak universal dan terus-menerus dikhotbahkan untuk dijadikan etika di sembarang tempat dan waktu. Seolah-olah cocok –pinjam istilah pesantren—likullli zaman wa makan.

Menariknya, kuasa dalam pandangan Foucault bukan dalam pengertian kepemilikan subjektif, seperti raja lalim yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Atau kekuasaan struktural seperti negara, suami, laki-laki, atau dalam konteks pendidikan kepala dinas pendikan, kepala sekolah, wali kelas, dan seterusnya. Kekuasaan di sini juga bukan dalam arti kemampuan seseorang untuk memperngaruhi orang lain. Tetapi kekuasaan dalam pandangan Foucault menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana ibarat jaring yang menjerat kita semua. Cara kerja kekuasaan dalam pengertian Foucault tidak refresif atau menindas tetapi publik dikontrol, diatur, dan didisiplinkan melalui wacana. Sifatnya juga produktif karena kekuasaan model ini akan terus-menerus melahirkan pengetahuan, dan pengetahuan akan melahirkan efek kuasa, begitu seterusnya.

Dan jika kita cermati, sejarah kemodernan memang selalu ditandai oleh "rezim disiplin". Tehnologi kuasa modern ini tidak bekerja secara terang-terangan, tetapi anonim. Kira-kira seperti OTB [organisasi tanpa bentuk]—kosa kata politik Orde Baru untuk menghajar lawan-lawannya—yang tak berstruktur, tidak menunjuk kepada subyek, dan tanpa nama. Tetapi kuasanya sungguh mencengkeram ibarat jaring yang hadir dan menjerat dimana-mana. Melawan menjadi perkara sulit, karena kuasanya tidak menunjuk pada struktur dan institusi tertentu. Tehnik disiplin ini, misalnya, meliputi kontrol kegiatan lewat penetapan jadwal dan pelaksanaanya dengan maksud menghasilkan ritme dan keteraturan; juga kontrol terhadap publik melalui aturan, ganjaran bagi yang patuh dan hukuman bagi yang melawan, bahkan juga kontrol mental lewat nilai-nilai moral dan etika kerja.

Kuasa dalam Buku Ajar

Buku ajar yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah buku ajar Sosiologi dan Antropologi yang diajarkan di jurusan Ilmu-ilmu Sosial di SLTA. Sejak mengacu pada Kurikulum 2004, sosiologi dan antropologi digabung dalam satu subjek buku ajar, sebelumnya diajarkan secara terpisah. Tetapi dalam tulisan ini saya juga menggunakan buku ajar berdasar kurikulum 1994, karena content-nya tidak banyak berbeda.

Pilihan terhadap sosiologi dan antropologi untuk dianalisis, setidaknya karena tiga alasan. Pertama, alasan yang sangat subjektif, pelajaran ini sudah beberapa tahun hingga sekarang menjadi pegangan saya di Madrasah tempat saya mengabdi. Kedua, ilmu-ilmu sosial/humaniora semacam sosiologi dan antropologi menjadi "sasaran" kelompok dominan untuk mencengkramkan dominasinya, karena melalui pengetahuan ini wacana dengan kencangnya disebar dan "rekayasa sosial" dilangsungkan. Ketiga, pengetahuan sosiologi dan antropologi yang diperkenalkan kepada siswa sangat positivistik dan barat-sentris, suatu pengetahuan yang melapangkan ideologi developmentalism, sebagai bagian dari jaringan kapitalisme global.

Jika dicermati, meski ganti kurikulum dan ganti rezim, buku ajar sosiologi dan antropologi sangat miskin perspektif karena perspektif yang digunakan belum keluar dari mainstream ilmu-ilmu sosial yang berwatak positivistik. Positivisme beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai, yang oleh Anthony Gidden dijelaskan sebagai berikut : [1] prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam secara langsung bisa diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Gejala subyektivitas manusia, kehendak dan kepentingan tidak mengganggu obeservasi, yaitu tindakan sosial. Dengan cara ini, obyek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah. [2] hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk ”hukum-hukum” seperti dalam ilmu-ilmu alam, [3] ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat tehnis, yaitu menyediakan pengetahuan murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat bebas nilai [value-free].

Marilah kita cermati buku ajar sosiologi yang diajarkan di bangku sekolah biar ditemukan teks-teks yang menyembunyikan kepentingan kelompok dominan. Dalam buku tersebut dijelaskan ciri sosiologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan seperti berikut:

  1. Sosiologi bersifat "empiris" [tanda petik dari penulis], sosiologi dalam melakukan kajian tentang masyarakat didasarkan pada hasil observasi, "tidak spekulatif" dan menggunakan akal sehat [common sense]
  2. Sosiologi bersifat teoritis. Sosiologi berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi. Abstraksi adalah kerangka dari unsur-unsur yang didapat di dalam observasi dan disusun secara logis serta memiliki tujuan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat.
  3. Sosiologi bersifat "non etis" (tanda petik dari penulis). Yang dilakukan sosiologi bukan mencari baik-buruknya suatu fakta, tetapi menjelaskan fakta-fakta tersebut secara analitis. Itulah sebabnya para sosiolog tidak bertugas berkhotbah dan mempergunjingkan baik-buruknya tingkah laku sosial suatu masyarakat.

Kita periksa satu persatu penjelasan di atas. Pertama, kata "empiris" dan "tidak spekulatif" adalah khas istilah pengetahuan modern yang berwatak positivistik. Seolah-olah ketika sesorang mengkaji realitas sosial dengan mudahnya bisa meninggalkan subyektivitas dan kepentingannya. Realitas sosial seakan bisa berbicara sendiri dan kebenaran sudah tersedia di "luar sana", persoalannya tinggal bagaimana realitas sosial itu dijelaskan secara empiris. Maksud kata "empiris" dan "tidak spekulatif" kira-kira begini, kebenaran tidak boleh dikacaukan oleh kepentingan, kehendak, atau keinginan yang bersifat subyektif.

Kedua, pengetahuan modern memiliki keangkuhan untuk diberlakukan secara universal. Jika teori sudah bisa dirumuskan, maka teori tersebut –layaknya hukum alam—bisa diadopsi oleh masyarakat manapun. Tentu saja Barat diuntungkan, karena melalui teori modernisasi yang merasuk ke dalam semua cabang ilmu pengetahuan [termasuk sosiologi dan antropologi], Barat dijadikan kiblat oleh negara-negara dunia ketiga. Khotbahnya, jika negara-negara dunia ketiga ingin maju, ikutilah Barat.

Ketiga, "sesat pikir" kesekian kalinya dari ilmu-ilmu sosial modern adalah diharamkannya pertimbangan etis. Atas nama obyektivitas, etika disingkirkan. Secara diam-diam sebenarnya ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan selama ini membenarkan status quo. Problem kemiskinan, misalnya, seringkali dianalisis secara dangkal dengan "menyalahkan korban" [blaming the victims]. Mereka disalahkan sebagai subyek pasif, tidak memiliki etos kerja, tidak terdidik, tidak terampil, dan seterusnya dengan mengabaikan konteks struktur [kejahatan] kapitalisme global yang diam-diam ilmu-ilmu sosial modern, atas nama "bebas nilai", ikut menyokongnya. Karena alasan ini pula ilmu-ilmu sosial modern memisahkan antara teori dan aksi.

Di bagian lain dalam buku ini menjelaskan perkembangan antropologi sebagai ilmu pengetahuan. Setelah menjelaskan tahapan perkembangan antropologi sebagai ilmu pengetahuan dimana pada tahapan ketiga antropologi menjadi pengetahuan yang mengabdi demi kepentingan penjajah, buku ini kemudian menjelaskan seperti kutipan berikut ini:

"pada tahap empat, antropologi berkembang sangat luas, baik dalam "akurasi bahan pengetahuannya" maupun "ketajaman metode-metode ilmiahnya" [tanda petik dari penulis]. Hal ini berlangsung sekitar pertengahan abad ke-20. Sasaran Antropologi di masa ini bukan lagi "suku bangsa perimitif" dan "bangsa Eropa Barat", tetapi beralih pada "penduduk pedesaan", baik mengenai keaneragaman fisik, masyarakat, maupun kebudayaannya, termasuk bangsa di daerah pedesaan yang ada di Amerika dan Eropa Barat itu sendiri".

Ada tiga hal yang bisa dianalisis dari pernyataan di atas. Pertama, antropologi sejak awal memang hadir dalam relasi kuasa [kolonialisme]. Sebutan "bangsa Eropa Barat" di satu sisi dan "suku bangsa primitif" di sisi yang lain seakan membenarkan bangsa Eropa, sebagai kelompok "yang [mengaku] "tercerahkan" dan "maju", melakukan penjajahan di Asia dan Afrika yang "primitif", "gelap" dan "terbelakang". Misi kolonialisme, dalam benak bangsa eropa barangkali dipahami sebagai pembebasan dan pencerahan. Bukankah kolonialisme terjadi hampir bersamaan dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial, seperti antropologi, dimana para ilmuwan eropa menjelajah dunia untuk mengkaji masyarakat yang masih dianggap memiliki kebudayaan "unik" dan "primitif"? Dalam konteks ini menjadi terang-benderang pernyataan Nietzsche bahwa kehendak untuk tahu [the will to know] hakekatnya adalah kehendak untuk berkuasa [the will to power]. Atau pendapat Foucault tentang tak terpisahkannya antara pengetahuan dan kekuasaan.

Kedua, Penulis buku ini dengan mengutip Koentjaraningrat –antropolog modernis di Indonesia—begitu percaya bahwa paska kolonialisme antropologi sudah "baik dalam akurasi bahan pengetahuannya maupun ketajaman metode-metode ilmiahnya". Seakan pengetahuan antropologi sudah bisa melepaskan warisan masa kolonial, dengan membangun epistemologi yang sama sekali baru dan berbeda. Pada hal sulit bagi negara jajahan, seperti Indonesia masa kini sekalipun, lepas dari sejarah kolonialisme masa lalu. Karena kolonialisme tetap hadir meninggalkan jejak, tidak hanya dalam struktur negara, sistem kemasyarakatan, dan hukum, tetapi juga mentalitas yang meliputi agama, adat, tradisi, warisan pengetahuan dan kesarjanaan, hingga keyakinan pribadi dan ideologi, semuanya pernah atau sampai kini masih tersentuh oleh penjajahan dan kolonialisme.

Ketiga, ketika "suku bangsa yang primitif" sudah dicerahkan dan dimodernkan oleh "bangsa Eropa Barat", tugas antropolog[i] kemudian beralih pada "penduduk pedesaan". Maka bertebaran kajian ilmu-ilmu sosial tentang masyarakat desa dengan kehendak untuk mengontrol dan menguasai. Misalnya masyarakat desa dikatagorikan sebagai "tradisional", "tidak rasional", "emosional", "suka tahayyul", dan "berorientasi ke masa lalu", sementara sandingannya [baca: lawannya] adalah masyarakat kota yang "modern", "rasional", "demokratis" dan "berorientasi ke masa depan". Dengan kata lain adalah tugas antropolog[i] untuk menjadikan masyarakat desa "rasional", "modern", "demokratis" dan "berorientasi ke masa depan" jika masyarakat desa ingin maju seperti ka[la]wannya, masyarakat kota. Dan penundukan inilah sebenarnya yang terjadi sejak pemerintah Orde Baru [bahkan sampai sekarang] dimana konsep desa di atur secara seragam, tanpa mempertimbangan kearifan dan pengetauan lokal. Penundukan ini juga terjadi di negara "kampiun" demokrasi seperti perlakuan Amerika terhadap suku Indian atau pemerintah Australia terhadap masyarakat Aborigin.

Perubahan, Kontrol, dan Kuasa

Hal lain yang penting dianalisis dalam buku ajar sosiologi dan antropologi adalah penjelasannya tentang perubahan. Tepatnya perubahan masyarakat Indonesia yang diarahkan ke satu titik; menjadi masyarakat modern dan bagian dari masyarakat global. Jika ada kritik dalam buku ini terhadap modernisasi dan globalisasi, ini dilakukan sekedar untuk mecari jalan keluar bagaimana modernisasi dan globalisasi dijalankan sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat Indoenesia[?]. Kritik dalam buku ini bukan perlawanan, tetapi layaknya kritik seseorang yang sayang terhadap sahabatnya. Ide dasarnya sudah pasti bahwa masyarakat yang dibayangkan adalah "masyarakat modern" dengan menjadi bagian dari "masyarakat global" yang diyakini bisa membebaskan, mencerahkan, memajukan, dan akhirnya menyejahterakan. Seolah bergerak secara liner, kemajuan ada di "ujung sana" lengkap dengan Barat sebagai kiblatnya. Tak ada pilihan lain. Jika tidak, maka akan tertinggal.

Dalam buku antropologi pada pembahasan tentang "Perubahan Budaya dalam Proses Pembangunan Nasional Indonesia" dimulai dengan penjelasan bahwa negara Indonesia masuk negara berkembang. Selanjutnya dijelaskan 11 ciri negara berkembang, tetapi salah satu ciri negara berkembang yang menarik untuk di sebut di sini adalah orientasinya yang sangat kuat kepada "tradisi" dan "kelompok" [tanda petik dari penulis].

Sebagai negara berkembang adalah keharusan bagi negara Indonesia untuk menjadi negara maju. Maju di sini sekali lagi menurut ukuran Barat, atau dalam istilah sederhanya menjadi negara modern. Barat sudah lengkap sebagai kiblat menyediakan sistem pengetahuan dan tehnologi bagi negara berkembang yang ingin maju. Tentu saja dengan syarat membuang ciri-cirinya sebagai negara berkembang, salah satunya dengan memotong "orientasinya yang kuat terhadap tradisi". Karena tradisi adalah masa lalu yang hakikatnya akan menghambat kemajuan. Hanya dengan memotong tradisi sebuah negara diandaikan menjadi modern dan menjadi bagian dari masyarakat global. Dengan begini, Barat tak perlu capek-capek hadir secara fisik melakukan kolonialisme seperti dahulu. Cukup berkhotbah meyakinkan penduduk dunia tentang pentingnya demokrasi, HAM, pluralisme –atau dalam konteks agama menjadi muslim liberal—maka kuasa Barat sudah menyebar kemana-mana dan menjadi pesona tersendiri bagi negara dunia ketiga.

Tak cukup di atas, khotbah itu juga harus diyakinkan kepada generasi muda. Maka wajar jika dalam buku ajar antropologi banyak penjelasan yang mengurai tahapan dan syarat-syarat menjadi masyarakat modern, ciri masyarakat modern, faktor-faktor yang mempengaruhi modernisasi, penghambat dan pendorong pembangunan, serta "iklan" bahwa modernisasi itu bukan westernisasi. Tentu saja siswa yang kritis akan bertanya-tanya, betulkah modernisasi bukan westernisasi? Begitu mudahkah sejarah modernisasi yang lahir dalam tradisi dan konteks sosial-budaya masyarakat Barat dialihkan begitu saja menjadi sejarah modernisasi di Indonesia? Ada apa sebenarnya di belakang gagasan modernisasi, liberalisasi, atau globalisasi jika bukan "era penjajahan baru?". Pertanyaan itu kadang-kadang muncul dari siswa saya ketika berdiskusi tentang modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi.

Seakan [di]kompak[kan] buku ajar sosiologi juga memberi fatwa tentang pentingnya menjadi masyarakat modern. Dalam buku ajar sosiologi banyak bertebaran penjelasan tentang keharusan menjadi masyarakat modern. Dimulai dengan penjelasan tentang ciri masyarakat tradisional dan modern, pengertian modernisasi, syarat modernisasi, serta capaian dan kemungkinan bangsa Indonesia dalam memodernisasi masyarakatnya melalui bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi, bidang politik dan ideologi, bidang ekonomi, serta agama dan kepercayaan.

Dalam tulisan ini saya akan mencoba menganalisis capaian bangsa Indonesia dalam memodernisasi bidang politik serta agama dan kepercayaan. Dalam buku ini dijelaskan bahwa modernisasi dalam bidang politik saat ini sudah sampai pada perubahan ketiga, yaitu demokrasi Pancasila, setelah dua perubahan sebelumnya, demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, gagal dilangsungkan di Indonesia. Demokrasi Pancasila dianggap merupakan model modernisasi bidang politik yang paling cocok bagi sistem politik di Indonesia.

Sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mendukung Pancasila sebagai common flatform bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Bahkan NU dalam Muktamarnya di Situbondo pada tahun 1984 memutuskan, bahwa negara Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk final perjuangan umat Islam Indonesia. Tetapi Pancasila dalam praktiknya dibelokkan untuk kepentingan kelompok dominan. Dalam konteks Orde Baru kita bisa lihat bagaimana Pancasila dimonopoli maknanya dan digunakan untuk menekan kelompok yang berbeda untuk mengamankan ideologi pembangunanisme [istilah lain dari modernisasi]. Atau dalam konteks sekarang, masihkah Pancasila bisa kita agungkan, ketika sehari-hari dengan mata telanjang bisa kita lihat nilai-nilai liberalisme berseleweran? Bukankah negara sudah kropos karena sudah tergadai? Tetapi dalam buku ajar masih dikhotbahkan dengan manis, layaknya dongeng sebagai pengantar tidur.

Kedua, dalam konteks modernisasi agama, buku ini menjelaskan bahwa modernisasi agama perlu ditekankan untuk "membentuk" dan "membina" [tanda petik dari penulis] kehidupan beragama yang penuh toleransi, beriman, dan bertakwa agar tercipta kehidupan masyarakat yang rukun, stabil, dan mampu menyeleraskan kehidupan agama [rohani] dan duniawi [jasmani]. Akhirnya, modernisasi agama perlu dilakukan sejauh tidak merusak nilai-nilai dasarnya, tetapi tetap relevan dijadikan pegangan setiap zaman, karena agama merupakan penyangga bagi modernisasi bidang-bidang lainnya.

Pernyataan di atas begitu gamblang bahwa agama dibutuhkan untuk memberikan ligitimasi bagi modernisasi. Penafsiran agama yang tidak mendukung, tentu saja perlu dipinggirkran. Maka dikembangkanlah kajian-kajian agama yang rasional seperti buku Akal dan Wahyu dalam Islam, Aliran Modern dalam Islam dsb. yang menjadi bacaan wajib di seluruh IAIN. Atau pengembangan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, keseteraan gender, dan HAM yang dicari dasar ligitimasinya dalam Islam –sebagaimana dilakukan oleh Islam Liberal—[tanpa] disadari telah menjadi dorongan besar bagi pengembagan nilai-nilai liberalisme. Sementara kajian keagamaan model pesantren, yang tidak sophisticated karena tidak cocok dengan nilai-nilai liberal, dilihat dengan sebelah mata.

Inilah kemenangan rezim pengetahuan global yang bertebaran tidak melulu di lapisan elit, di mimbar akademik, universitas, ruang seminar, tetapi juga menyapa generasi muda melalui buku ajar. Tidak melalui paksaan, tetapi melalui persetujuan. Akhirnya, mimpi tentang masyarakat yang dibayangkan pun menjadi seragam. "Menjadi mayarakat modern" dan menjadi bagian dari "masyarakat global". Sebuah perubahan yang berada dalam kontrol dan kuasa kelompok dominan. Adakah perlawanan kecil yang bisa kita lakukan?

Terutama paska reformasi buku ajar masuk dalam perangkap industri, semacam industrialisasi atau lebih tepat kapitalisasi buku ajar. Tak penting makna buku ajar bagi pendidikan seperti apa, yang penting adalah mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari bisnis buku ajar. Wajar jika setiap tahun buku ajar selalu berganti-ganti. Dengan judul dan cover yang berbeda, tetapi isi sama. Pengambil kebijakan [pejabat resmi] pendidikan bisa jadi diuntungkan oleh kapitalisasi buku ajar, setidaknya barter denga fatwa, mana buku ajar yang "laik" dipakai dan tidak. Belum lagi pendidikan saat ini "diserang" Lembar Kerja Siswa [LKS] –saya lebih suka menyebutnya "buku ajar instant"—yang anehnya digemari oleh banyak guru. Pada hal LKS telah melakukan reduksi dan pendangkalan besar-besaran terhadap pengetahuan, karena lebih berorientasi hasil ketimbang proses.

Teks aslinya berbunyi begini, "Critical Discourse Analysis is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance and inequality are enacted, reproduced and resisted by text and talk in the social and political context. With such dissident research, critical discourse analysis take explicit position, and thus want to understand, expose, and ultimately to resist social inequality", lihat Teun A. van Dijk "Critical Discourse Analysis". Saya download di internet, tetapi sayang lupa alamatnya, untuk lebih jelasnya cari di www.google.com

Dahulu, ketika Wardiman menjadi Menteri Pendidikan di era Orde Baru, pernah muncul konsep link and match sebagai jawaban terhadap kritik bahwa pendidikan menghasilkan lulusan yang tidak siap kerja. Pada hal link and match sarat dengan kepentingan industrialisasi [kekuataan kapitalisme global?] dimana pendidikan akan diarahkan menghasilkan "lulusan robot" yang mengabdi kepada kepentingan pasar dengan menghilangkan fungsi pendidikan sebagai "pembentuk jati diri" [character building]. Apalagi jika gagasan link and match ini diletakkan dalam konteks ideology "pembangunisme" [developmentalism] Orde Baru, semakin kelihatan kepentingan apa sebenarnya yang disembunyikan dalam bahasa link and match. Ini sekedar ilustrasi, ternyata bahasa memang menyembunyikan kepentingan kelompok dominant.

Dalam pengalaman sehari-hari "kopiah tinggi" dalam masyarakat Madura [Sumenep] sering dilekatkan pada kelompok bajingan. Sebagai sebuah benda, kopiah tinggi barangkali tidak memiliki makna apapun. Tetapi ketika dikenakan, permainan makna akan muncul di situ. Makna sebagai hasil konstruksi yang tanpa kita sadari melekat dalam kepala kita. Ketika di jalan kita bertemu orang berkopiah tinggi, pikiran kita beroperasi layaknya remote yang menghadirkan wajah bajingan. Tiba-tiba saja, tanpa kita sadari.

Lihat Dani Cavallaro, Critical and Cultural Theory [Teori Kritis dan Teori Budaya], Yogyakarta, Niagara, 2004, hal. 47.

Ibid hal. 71

Ideologi dapat didefinisikan baik secara "netral" [tanda petik dari penulis], sebagai seperangkat ide tanpa konotasi-konotasi yang jelas/terang-terangan, maupun secara kritis, sebagai seperangkat ide melalui mana orang membiasakan dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks social-histroris yang spesifik, dan melalui mana kemakmuran kelompok-kelompok tertentu dikedepankan. Ideologi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah yang terahkhir. Lihat Dani Cavallaro, op.cit, hal. 136-137

Katagori pesantren modern biasanya dilekatkan pada pesantren yang pengelolaannya menggunakan prinsip menegemen "modern" [mesk i dalam tanda petik]. Cirinya bisa juga dilihat pada kurikulumnya yang tidak sepenuhnya mengacu pada kitab kuning, taradisi intelektual muslim yang dibangun ulama pada abad pertengahan. Biasanya mewajibkan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa sehari-hari, gedung megah, dan para santri berpenampilan layaknya para profesional berpakaian seragam lengkap dengan dasi.

Dikutip dari tulisan George J. Aditjondro "Pengetahuan-pengetahuan Lokal Yang Tertindas; Meneropong Gerakan Lingkungan di Indonesia Melalui Konsep "Kuasa/Pengetahuan" Foucault" dalam Jurnal Kebudayaan Kalam, Edisi 1-1994.

Baso memberi ilustrasi bagaimana kajian [kehendak untuk tahu] tentang Timur, sebagaimana banyak dikaji oleh para Orientalis, hakekatnya adalah kehendak untuk menguasai, karena kajian tentang Timur di[re]produksi menjadi wacana kolonialisme. Di tangan kaum Orientalis inilah Timur dipelajari, diurai, diolah, diracik, dan ditundukkan sesuai dengan "superioritas" peradaban barat yang mereka agungkan. Selengkapnya baca Ahmad Baso, Agama Paska Kolonialisme: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, Bandung, Mizan, 2005, hal 59-60

Lihat Ahmad Sahal, "Kemudian Di Manakah Emanispasi? Tentang Teori Kritis, Geneologi, dan Dekonstruksi" dalam Jurnal Kebudayaan Kalam, edisi 1-1994, hal 15.

Ibid, hal. 19

Ibid, hal 17

Lihat Eriyanto , Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKiS, 2001, hal 67

Ahmad Sahal. Op.cit hal.

Dikutip dari F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta, Kanisius, 2003, hal. 57

Lihat Kun Maryati dan Juju Suryati, "Sosiologi SMA untuk Kelas X", Jakarta: Esis (Sebuah Imprint dari Penerbit Erlangga), 2004, hal. 3

Ibid, hal 8

Akhir-akhir ini banyak berkembang studi poskolonialisme [postcolonial studies], sebuah studi yang menempatkan diri secara berlawanan dengan sejarah modernisasi. Studi ini tidak mengkaji sesuatu yang modern, yang mencerahkan dan membebaskan, melainkan mengkaji sesuatu "yang kelam" dalam sejarah modernitas, yaitu momen-momen kolonialnya. Karena pada momen-momen inilah modernitas menyebar dan melapangkan jalannya ke seluruh pojok-pojok dunia. Lihat Ahmad Baso. op.cit hal 47-48. Dan buku Baso ini sangat bagus menjelaskan studi dan teori-teori poskolonial ke dalam sejarah pergumulan agama [terutama Islam] dengan kolonialisme Belanda di Indonesia. Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana kelompok subaltern [kelompok yang selama ini dipinggirkan] saat ini melakukan perlawanan terhadap ideology kelompok dominan [kapitalisme global, neo-liberalisme, modernisme, sampai Islam liberal].

Dahulu missi pencerahan dilakukan melalui kolonialisme, saat ini pencerahan dikhotbahkan melalui kampanye besar-besar tentang "tatanan dunia baru" atau "era globalisasi" . Jika dulu penjajahan dilakukan secara fisik, saat ini dilalukan melalui penundukan nalar dan pikiran yang disebar dan dikhotbahkan lewat ilmu pengetahuan di media komunikasi, diajarkan di universitas-universitas, bahkan di sekolah-sekolah tanpa kita sadari dan memberikan perlawanan berarti. Tiba-tiba saja kita, misalnya, menyetujui globalisasi, dan merasa bangga menjadi bagian dari "tatanan dunia baru".

Lihat Posman Simanjuntak, Berkenalan dengan Antropologi [untuk Kelas 3], Jakarta, Erlangga, 1998, hal. 113-114

Ibid, hal. 117-121.

Selengkapnya baca dalam Taufik Rahman Dhohiri dkk, Panduan Belajar Sosiologi untuk Kelas 3 SMA , Jakarta, Yudisthira, 2002, hal. 167-199

Ibid hal. 188-189

Ibid, hal 191

 

 

 Back To Daftar Isi

 

KOLOM

Pendidikan formal: Berkualitaskah?

Norma Qudsi Abdillah adalah alumni STKIP PGRI Sumenep, email:n_012ma@telkom.net

Di era globalisasi yang semakin terbuka saat ini, menuntut manusia untuk berpikir dan bertindak cepat di dalam segala hal. Kesempatan atau peluang harus mampu di baca dengan cerdas dan tepat pada sasarannya. Kemampuan integral menjadi tuntutan setiap sumber daya manusia dewasa ini. Jawaban dari segala tuntutan tersebut tidak lain adalah “pendidikan”. Pendidikan adalah alat yang paling dapat diandalkan, karena dalam pendidikan terjadi proses transformasi informasi dan pengetahuan yang sistematis. Dari pendidikan diharapkan dapat mencetak manusia-manusia yang kelak akan membawa bangsa ini menjadi lebih baik.

Dengan pendidikan, masyarakat akan semakin maju yang akhirnya terjadi kesadaran publik sehingga secara bertahap mengubah bangsa ini dari sikap menghamba dan tunduk menjadi sikap mandiri dan mempunyai harga diri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Membangun manusia seutuhnya merupakan tujuan yang terbaik dalam kewajiban pendidikan. Manusia seutuhnya berarti mengoptimalkan semua sisi potensi yang dimiliki (fisik, hati dan akal). Atau dengan kata lain memadukan antara unsur iman dan taqwa dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak hal yang harus dijalani untuk membentuk sebuah penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Minimal ada 4 kriteria penting sebuah penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, yaitu (1) mutu produk/lulusan, (2) mutu proses pembelajaran, (3) mutu layanan sekolah dan (4) mutu lingkungan sekolah.

Mutu produk/lulusan pendidikan dapat dinilai berdasarkan nilai ujian akhir nasional/sekolah yang tinggi. Tetapi tentunya nilai bukan satu-satunya ukuran, harus didukung dengan ukuran lainnya yaitu lulusan lembaga pendidikan juga mempunyai kecakapan dan keterampilan untuk hidup ( life skills), yang dapat dimanfaaatkan untuk bekal hidup peserta didik di masyarakat. Selain itu tentunya lulusan pendidikan juga mempunyai nilai-nilai kemanusian yang tinggi, yang responsif terhadap persoalan sosial yang ada. Mutu proses pembelajaran sangat ditentukan pada profesionalisme guru. Guru dalam pembelajaran tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan semata tetapi juga mendidik, mengarahkan dan menggerakan siswa agar menjadi manusia seutuhnya, tidak hanya pandai dan terampil tetapi juga berintegritas serta berbudi pekerti yang luhur. Mutu layanan sekolah yang baik tidak hanya layanan kepada siswa akan tetapi kepada orang tua, tamu sekolah dan lain sebagainya. Mutu layanan juga ditentukan dari kemampuan pelaku sekolah untuk dapat menjalin hubungan dan memberikan pelayanan yang terbaik pada suluruh stakeholder sekolah. Mutu lingkungan sekolah ditunjukkan dengan sekolah yang bersih, indah, damai. Dengan lingkungan yang baik akan menciptakan kenyamanan proses belajar mengajar di sekolah.

Mengacu pada standart tersebut diatas, bukan sesuatu yang mudah untuk membentuk sebuah pendidikan yang berkualitas. Realitanya, pendidikan formal yang ada belum cukup menjawab kebutuhan akan pendidikan yang berkulitas. Tentunya butuh sebuah kesinergian antara elemen-elemen yang ada dalam lingkaran pendidikan untuk mewujudkan semua itu. Bukan sesuatu yang mustahil pendidikan yang berkualitas benar-benar ada di Negara kita. Pada dasarnya tergantung pada semua elemennya . Apakah ingin menjadi lebih baik atau hanya berhenti sampai disini.

Sayangnya tidak semua elemen pendidikan mempunyai kesadaran yang sama untuk mewujudkan sebuah pendidikan berkualitas. Penanganan secara komprehensif untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas pada lembaga pendidikan formal belum dapat kita lihat hasilnya secara nyata.

Akibatnya masih banyak kita temukan lulusan sarjana dari pendidikan formal tak mampu untuk sekedar menjadi wirausahawan. Pendidikan formal yang tadinya bertujuan untuk mencerdaskan bangsa menjadi bangsa yang berbudaya, bangsa yang trampil, bangsa yang sikapnya baik dan bangsa yang benar-benar cerdas menjadi carut marut . Itulah fenomena yang terjadi pada pendidikan nasional kita, pendidikan formal menjadi pendidikan formalin. Sekolah menjadi tempat pengawetan masyarakat. Tambah awet di sekolah tambah tak jelas hasil akhirnya. Lulusan sekolah dasar tak ada bedanya dengan lulusan SMP, SMA bahkan lulusan Perguruan Tinggi pun tak jauh beda. Mereka sama-sama tak berdaya dengan bekal pendidikan yang dimilikinya. Tujuan mulia pendidikan agar dapat melahirkan manusia yang mandiri, sampai detik ini belum memberikan hasil kearah yang diharapkan. Kenyataan yang ada pendidikan kita baru sebatas mencetak sarjana-sarjana di belakang meja. Harapan mendapatkan lulusan yang siap terjun pada persaingan bebas belum dapat kita penuhi.

Masalah pendidikan adalah masalah besar yang sesegera mungkin harus diperbaiki. Sejalan dengan reformasi yang bergulir di Negara ini, pendidikan kita tidak hanya sekedar membutuhkan reformasi akan tetapi sudah mendesak untuk “segera” diadakan revolusi di bidang pendidikan.

 

 

 Back To Daftar Isi

PENDIDIKAN DAN PERSPEKTIF PEMBERDAYAAN

Syaf Anton Wr

 

Pasangan suami istri, Jonh Nasibitt dan Patricia Aburdene, pernah mencatat dalam buku yang best seller Mega Trend 2000, bahwa “Tepi Asia Fasifik” telah memperlihatkan kepada semua orang bahwa suatu negara miskin pun bangkit. Bahkan tanpa sumber daya alam yang melimpah, asalkan, negara yang bersangkutan melakukan investasi yang cukup dalam sumber daya manusia. Maka terobosan yang paling menggairahkan dari abad ke 21 akan terjadi bukan karena teknologi, melainkan karena konsep yang meluas tentang apa artinya menjadi manusia itu.

Berangkat dari umgkapan Naisbitt dan Aburdene, lalu aksikan Jepang sebagai contoh kongkritnya. Jepang tampil dalam percaturan kemajuan teknologi dan ekonomi dunia, bukan tergolong negara yang kaya sumber daya alam. Tetapi Jepang yang menderita kekalahan dalam Perang Dunia II adalah termasuk negara yang mampu membangun maupun memanfaatkan sumber daya manusianya.

Bagaimana Indonesia?. Bila dicermati langkah-langkah yang ditempuh oleh Pemerintah dan bangsa Indonesia selama proses pembangunan, – pembangunan merupakan program yang tak akan selesai – sejak Orde Baru yang dikemudian dikenal dengan istilah Repelita, sampai saat ini, sesungguhnya telah diupayakan melalui pembenahan-pembenahan dan pembangunan secara besar-besaran dan “berhasil”.

Namun pertanyaannya sekarang, apakah pembenahan dan pembangunan pendidikan yang dilakukan selama ini sudah mampu menjadi sebuah institusi / lembaga yang melakukan proses pemberdayaan ?. Ketika menempatkan pendidikan sebagai proses pemberdayaan, maka mau tidak mau harus dilakukan refleksi filosofis tentang hakikat manusia. Pertanyaan ini memiliki implikasi bagi pengembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ideologi.

Penempatan manusia sebagai titik sentral tidak berarti bahwa pengaruh dan tuntutan masyarakat beserta lengkungannya sama sekali dilepaskan. Sebab antara manusia dengan masyarakat serta lingkungan ada dialektika yang terus menerus, satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Maka dalam konteks ini pendidikan berfungsi sebagai wacana interaktif antara manusia dengan lingkungannya, dengan kata lain, konsep pendidikan dalam kehidupan masyarakat adalah perubahan. Maka dengan mendekatkan dengan mendekatkan pendidikan terhadap masyarakat, diharapkan manusia yang dihasilkan dari pendidikan mampu berada dalam posisi sentral dalam perubahan yang terjadi dan mampu pula mengarahkan serta mengendalikan perubahan., pendidikan seperti inilah yang barangkali memiliki perspektif pemberdayaan

Untuk menjawab perspektif diatas, tidak sekedar bagaimana memahami pendidikan sebagai bentuk, tapi pendidikan harus mampu menjawab persoalan-persoalan masa yang akan datang. Untuk menjawab persoalan tersebut tentu diperlukan intensitas dan gerakan yang mengarah pada kualitas pendidikan.

Sedang pemahaman “kualitas” sendiri dalam dunia pendidikan kita masih dipahami setengah-setengah. Artinya, untuk mencipta kualitas kerap dihambat oleh persoalan-persoalan internal, yaitu tidak konsistennya metode pengembangan pendidikan dalam menterjemahkan kualitas pendidikan. Sedangkan secara eksternal, prasyarat untuk mencukupi kebutuhan perangkat pendidikan masih selalu mengitari persoalan-persoalan klasik, yaitu kurang adanya dukungan anggaran yang memadai , sehingga mengakibatkan pola pengembangan pendidikan terjebak pada konsep. Pertanyaannya sekarang, sejauh mana lembaga-lembaga pendidikan mampu merekam dinamika kebutuhan masyarakat serta mengemban dirinya secara memadai?

Sebagaimana terjadi di negara-negara berkembang umumnya, selalu dihadapkan problem kualitas, sementara lembaga pendidikan sebagai tumpuan akhir tampaknya masih saja dihadapkan persoalan-persoalan lama. Demikian pula pada problem kuantitas sampai saat ini juga masih belum tuntas, yaitu yang menyangkut buta huruf, kebodohan, dan keterbelakangan merupakan bagian penghambat menuju pendidikan berkualitas yang diharapkan. Sedang yang terjadi, pengelola pendidikan masih belum mampu mengembangkan ilmu-ilmu baru, kecakapan-kecakapan baru dan sikap hidup baru. Pendidikan masih terbatas pada pemberian daya tahan dan sikap positif terhadap perubahan.

Menarik sejarah kebelakang, sekitar tahun 70-an berkembang konsepsi-konsepsi baru tentang pembangunan, misalnya pembangunan yang terpadu yang bertumpu pada manusia (integrated development based on man) yang diaksentuasikan lagi oleh peningkatan permintaan masyarakat akan kesempatan pendidikan, maka kebijaksanaan pendidikan yang menonjol adalah demokratisasi pendidikan dan pendidikan sepanjang hayat (life long education), yaitu pendidikan harus terbuka bagi seluruh masyarakat serta mereka berhak pula menikmati hasilnya dan bukan hanya terbatas pada elite yang mendapat privilege untuk dididik.

Telah disadari, bahwa perkembangan pendidikan pada umumnya adalah resultan interaksi yang kompleks di antar pendidikan dengan berbagai sektor kegiatan masyarakat: ekonomi, politik, dan penghidupan sosial atau kebudayaan. Dan dapat diduga bahwa peran pendidikan yang akan datang akan menjadi lebih kompleks karena beberapa masalah masyarakat kontemporer makin meningkat dan kepentingannya makin menjadi universal; dan ini dianggap sebagai masalah dunia (world problem); pemeliharaan perdamaian; keamanan internasional; berbagai aspek perkembangan sosial dan kebudayaan (seperti pemberantasan kemiskinan, kesenjangan sosial, industrialisasi); kontrol tentang kemajuan dan perkembangan Iptek; proteksi dan pemeliharaan lingkungan; energi; pengangguran; perjuangan untuk menghadapi kelaparan; diversifikasi lahan, dan problem umum lainnya.

Sekarang dan selebihnya, tergantung bagaimana konsepsi pendidikan Indonesia bukan sekedar menawarkan, tapi bagaimana mampu memberikan kebutuhan masyarakat sebagaimana landasan menuju manusia Indonesia seutuhnya, yang cerdas dalam konteks kemajuan.

 

Biodata

Syaf Anton Wr, adalah sastrawan, tinggal di Sumenep. Karya-karyanya banyak dimuat diberbagai media masa dalam bentuk sastra, artikel budaya, dan jurnal. Sejumlah buku telah diterbitkan, pernah menghadiri acara Forum Puisi Indonesia 87, di TIM Jakarta, Pertemuan Sastrawan Nusantara 97, di Padang Sumatera Barat, Festival Seni Surabaya dan sejumlah forum lainnya. Kerap jadi pembicara diberbagai seminar dan forum di sejumlah lembaga. Dan organisasi terakhir sebagai Ketua Dewan Kesenian Sumenep. Alamat rumah: Pesona Satelit Blok O / 9 Sumenep, telp. 669112, E-mail: syafanton@yahoo.com.

 

 

 

 Back To Daftar Isi

RESENSI

SEKOLAH ALTERNATIF, SEKOLAH DEMOKRATIS

oleh Rahmatin (Atin),

pemred Majalah Teratai, SMA 3 Annuqayah, penulis buku “COWOK: M.A.S.K?”, Jogjakarta: Tunas Publishing, 2006.

Judul Buku :

Pendidikan Alternatif Qaryah Tarbiyah

Penerbit : LkiS, Yogjakarta

Tahun : 1, Januari 2007

Tebal :286

Penulis : Ahmad Bahruddin

Dunia pendidikan kita selalu menuai masalah, dan ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun, bukan berarti semua itu sudah menjadi sesuatu yang basi untuk didiskusikan.

Bahruddin, seorang aktivis organisasi pendidikan sekaligus seorang tokoh masyarakat (kiai) desa Kalibening, Kabupaten Salatiga, Jawa Tengah, merupakan sesosok insan yang tak bisa tinggal diam melihat kondisi pendidikan kita yang tak kunjung dapat menermukan titik terangnya ini. Dia menawarkan konsep pendidikan berbasis komunitas, yakni pendidikan yang didasarkan pada kepentingan masyarakat setempat, juga menekankan pada pengembangan potensi siswa agar tidak terpaku pada kurikulum pemerintah yang selalu berubah.

Langkah ini dia ambil berdasarkan anggapan, bahwa saat ini, pendidikan sudah terbius oleh kapitalisme yang jelas-jelas tidak dapat menjadi solusi bagi negara Indonesia yang berkultur kekerabatan. Pemerintah kita telah gagal menyediakan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hingga saat ini, pemerintah belum juga sempat memikirkan pengelolaan pendidikan yang berbasis potensi wilayah di mana pendidikan itu berlangsung. Artinya, hingga saat ini, pendidikan kita masih seragam dan menggunakan teori “pukul rata”.

Keinginannya untuk mendirikan sebuah pendidikan alternatif dan terbuka ini bermula ketika Bahruddin harus menyekolahkan anaknya, Hilmy, ke sekolah SMP unggulan di Kabupaten Salatiga. Dalam sekali daftar, biaya mahal menjadi masalah yang utama.

Melihat kondisi ini, ia merasa prihatin. Dengan masyarakat setempat, ia memulai merancang ide-ide untuk membangun sebuah pendidikan alternatif dan terbuka, hingga lahirlah SMP Alternatif Qaryah Thayyibah (QT) ini.

Awal perjuangan Bahruddin, siswa sekolah yang dia dirikan hanya terdiri dari 12 siswa saja (karena memang ketika pertama kali dia rintis, dari 30 orang kepala rumah tangga, hanya 12 orang saja yang menyetujui konsepnya). Sekarang, sekolah ini telah memiliki empat kelas, yakni 3 tingkat SMP dan satu kelas SMU (Sekolah Menengah Universal).

Berkat bantuan seorang pengusaha, Roy Budhiyanto, teman Bahruddin, murid SMP QT dapat mengakses internet selama 24 jam. Lebih dari itu, mereka juga mendapat bantuan komputer murah dan diletakkan di rumah masing-masing. Setiap hari, mereka membawa uang Rp3000, dengan rincian: Rp1000 untuk makan pagi, Rp1000 untuk cicilan komputer, dan Rp1000 untuk tabungan. SPP-nya pun hanya sebesar 15.000 per bulan dengan peraturan pembayaran yang sama sekali tidak ketat.

Hal mendasar yang dikembangkan di SMP QT ini adalah: mengembalikan pembelajaran kepada pemilik aslinya, yaitu para siswa. Jadi, siswa tidak terpaku dan terpatok oleh guru. Sehingga, kalaupun ada persepsi yang berbeda antara guru-murid, hal ini akan menjadi pemicu semangat guru-murid untuk lebih aktif dalam belajar. Siswa dapat berpikir kritis dan berkreasi. Karena setiap mereka berkonsultasi kepada guru, semua pikiran dan usulan dari murid akan disambut dengan baik oleh guru mereka yang seolah-olah berperan menjadi “teman curhat”-nya.

Secara fisik, SMP QT tidak tampak sebagai sekolah yang “bermutu”. Tak ada pagar, tidak ada ruang kelas yang berjajar rapi, tidak ada bangungan bertingkat. Bahruddin mengoptimalkan bangungan hanya sebatas sarana pendukung, bukan tujuan utama. Jadi, ngapain harus membangun pagar yang tinggi kalau nanti akan juga dlompati. Sekolah alternatif yang didirikan tahun 2003 ini benar-benar mengedepankan kualitas.

Mau bukti?

Ketika Fina, Izza, dan Kana mengikuti UN di SMP 10 Salatiga (sekolah induk SMP QT), nilai mereka mengalahkan siswa sekolah induk dengan nilai tertinggi dalam tidak mata pelajaran yang diujikan.

Penyajian tulisan, serta didukung oleh sejumlah foto, membuat buku ini menarik dan menggugah. Pembaca seakan-akan dibawa langsung ke lokasi/seting cerita. Bahkan, saat membaca buku ini, kita seolah dibawa ke alam dongeng saja, seperti kisah Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela, karya Tetsuko Kuroyanagi itu.

Totto Chan ada seorang siswi pintar yang memiliki keinginan luar biasa untuk mengetahui sesuatu, hal inilah yang membuatnya dianggap siswi nakal oleh gurunya. Karena bertingkah laku aneh untuk seukuran anak seumurnya, dia dikeluarkan dari sekolah. Para guru sudah kewalahan untuk mengurusnya. Kemudian, dia disekolahkan di sekolah yang serupa dengan SMP QT ini.

Di SD Tamoe Gakuen, sekolah yang menggunakan bekas gerbong kereta api sebagai kelasnya ini, Totto Chan menemukan alamnya yang sejati. Di sana ia tidak pernah dikekang melakukan pencarian. Metode pembelajaran di Tamoe Gakuen ini mirip sekali dengan Qaryah Thayyibah, yakni menyerahkan proses pembelajaran kepada murid.

Insan-insan pendidikan, khususnya pengelola, pengamat, juga praktisi pendidikan, tampaknya harus membaca buku ini, agar jika bertemu dengan “Totto Chan” di sekitar mereka, akan segera tahu ke mana ia harus disekolahkan.

 

 

 Back To Daftar Isi